
Terakota.id-Beberapa waktu lalu, WhatsApp Group (WAG) yang saya ikuti banjir informasi soal unjuk rasa mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Akibat dari kejadian itu terus berlanjut. Bahkan sampai terjadi kerusuhan di Papua dengan merusak sejumlah fasilitas umum.
Kejadian sebenarnya dan pemicunya masih simpang siur. Informasi terus berkembang dan berlipat-lipat. Bergulung-gulung sampai tidak diketahui ujung pangkalnya.
Suasana menjadi semakin riuh setelah informasi di Media Sosial (Medsos) berseliweran. Akhirnya, akses Medsos di daerah itu “diblokir”. Alasanya, demi menjaga suasana kondusif, katanya. Tentu saja yang dianggap wajib menjaga suasana adalah aparat keamanan dan pemerintah dengan didukung masyarakat. Maka pemblokiran itu tentu atas inisiatif pemerintah.
Pro kontra pun berkembang. Bukan saat ini saja, pemerintah “mengamputasi” informasi setelah dampak buruk muncul. Kita terbiasa mengatasi masalah bukan dari akar masalah, tetapi sesuatu yang saat itu kita rasakan. Diaggapnya pula, dengan “memblokir” informasi masalah akan cepat selesai.
Beribadah Tanpa llmu
Nah, atas peristiwa itu saya punya pengalaman menarik. Saya tergabung dalam beberapa grup WhatsApp (WA). Namanya juga grup. Isinya macam-macam dari orang yang beragam kepentingan. Juga, beragam pula niatnya. Anda punya grup WA? Jika jawabanya “ya” maka saya tidak perlu menjelaskannya secara mendetail.
Kaitannya dengan grup itu, ada anggota yang sharing berita soal kasus Papua. Ada teman saya yang semangat sekali mengirim informasi soal Papua tersebut. Mereka yang pernah merasakan bergaul dengan orang Papua mengatakan, memang tidak mudah bergaul dengan mereka. Sementara itu ada yang mengatakan bahwa soal Papua jangan diseret ke persoalan rasialisme. Itu murni kesalahan pemerintah sejak dahulu yang tak bisa menjaga perasaan masyarakat Papua.
Nah, ada seseorang yang aktif mengirim pesan berantai bahwa soal Papua itu soal rasialisme. Orang Papua bukan “monyet” sebagaimana dikatakan oleh beberapa kalangan. Semangat teman saya itu bagus. Bahwa memang rasialisme itu harus diatasi dan diberantas. Indonesia adalah negara multietnis.
Tetapi ia hanya berpijak pada soal rasialisme saja. Ternyata, selama ini memang dia pernah menjadi “korban” rasialisme itu. Makanya, terhadap isu rasialisme dia sangat sensitif. Semua persoalan diseretnya ke masalah rasialisme itu. Maka, kasus Papua yang menarik baginya apalagi kalau bukan soal rasialisme. Bukan soal lain. Ini tidak berarti saya setuju soal rasialisme.
Apa yang menarik dari kasus grup WA itu? Yang ingin saya tekankan adalah masih banyaknya orang yang senang dan menjadi agen penyebaran informasi. Beruntung jika informasi yang disebarkan itu memang sumbernya jelas. Datanya juga akurat dan dampak yang ditimbulkan tidak menjadi lebih buruk. Masalahnya, banyak orang maunya hanya menyebar informasi saja sementara ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sering kita menjumpai informasi yang dibagi dalam grup-grup WA itu menyinggung perasaan orang lain. Bagi penyebar, ia telah merasa berhasil dan memandang infomasinya bermanfaat bagi orang lain. Tetapi apakah ia bisa mempertimbangkan bahwa informasi yang disebarkakannya itu tidak menyinggung orang lain? Ini yang lebih penting dari semangat berbagi berbagi. Ada banyak tukang “berbagi” tautan, informasi, gambar di sekitar kita yang tak bisa menjaga perasaan sebagian orang.
Betapa banyaknya orang-orang yang punya semangat berbagi ke sesama. Kalau modalnya hanya semangat saja tentu tidak akan memuaskan semua pihak. Pun, semangat berbagai soal informasi di Papua baik, tetapi apakah sudah dipastikan sumber dan dampaknya tidak justru memperburuk suasana? Jangan sampai kasus Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 terulang kembali. Dampak dan biaya sosialnya sangat mahal.
Ini ibaratnya, seseorang semangat beribadah tetapi tidak memakai ilmu yang cukup. Seseorang yang bersemangat beribadah dengan tidak berilmu tentu tak ada gunanya.
Saya punya tetangga. Setiap tahun dia merasa sudah membayar zakat. Caranya, ia memberikan sejumlah bahan pokok ke orang yang dianggapnya membutuhkan. Dengan cara itu, ia sudah berasa mengeluarkan zakat. Sementara zakat itu ada aturannya, berapa jumlah, kepada siapa, bagaimana pengelolaannya dan lain-lain. Kalau sekadar mengeluarkan harta pada orang yang membutuhkan, itu sama saja dengan shodaqoh. Hanya waktunya menjelang hari hari Idul Fitri saja. Ini contoh dari orang yang ingin beribaah tetapi tak memakai ilmu.
Betapa banyak orang-orang yang beribadah dengan tidak memakai ilmu. Berapa banyak orang yang bermodalkan semangat membagi informasi ke orang lain tanpa ilmu pula. Ibaratnya, mau sholat ratusan roka’at sehari semalam tanpa dibekali ilmu yang cukup, semua akan sia-sia, bukan?
Lihat pula banyak orang yang bermodal semangat menyebar pesan-pesan kebaikan tidak berdasar lagi pada kejelasan sumber dan data akurat, tapi hanya berdasar sesuai kepentingan dan kecenderungan dirinya. Ibaratnya, orang itu bersemangat beribadah tetapi tidak memakai ilmu.
Ada Apa dengan Papua?
Persoalan Papua itu kompleks. Persoalan rasialisme sejak dahulu belum terselesaikan. Masalah rasialisme ini kemudian menyebabkan ketidakadilan dimana mana. Ketidakadilan ini akhirnya menciptakan pemiskinan pada etnis Papua. Bagaimana perasaan warga Papua saat “harta bendanya” dikeruk lalu dibawa ke “pusat” atau ke Luar Negeri? Ini menyangkut perasaan lagi.
Jika perasaan ketidakpuasaan ini menumpuk dan terus menumpuk serta tidak ada salurannyanya, maka ia akan mencari jalannya sendiri. Begitu ada lubang penyaluran, maka penumpukan itu akan menggelontor menjadi gejolak bak air bah yang sedang membutuhkan penyaluran. Kasus Papua sekarang mirip dengan perumpanaan tersebut.

Kondisi seperti itu tak heran jika memunculkan pihak-pihak yang “memancing ikan di air keruh”. Informasi dari seorang mahasiswa Papua yang kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) sudah ikut bermain dalam kekisruhan yang melibatkan etnis Papua tersebut.
Memang tidak mudah menyelesaikan persoalan ketidakadilan yang sudah “mendarahdaging” begitu kuat sejak lama. Ibaratnya mengurai benang ruwet. Setiap penyelesaian tentu akan membawa konsekuensinya sendiri-sendiri. Tugas masyarakat umum ikut menjaga ketenangan dan tak terpancing dengan informasi yang justru memperkeruh suasana.
Pemerintah dan aparat biarlah bekerja menyelesaikan konflik di Papua dengan pengawasan masyarakat. Jangan biarkan pemerintah bekerja sendiri tanpa pengawasan. Khawatirnya, pemerintah hanya akan mementingkan target dari sudut pandangnya sendiri.
Jadi, modal semangat berbagi saja kadang tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Biarlah modal-modal semangat itu hanya dimiliki oleh mereka yang “haus” berkomentar di WAG. Jika sudah terlalu jauh, tinggal “didelele” dari anggota grup. Menahan diri, termasuk tidak berkomentar yang tak berguna, memang sebuah pilihan yang rumit, pelik dan penuh tanggung jawab.