Museum Musik Indonesia meluncurkan buku keanekaragaman keroncong Indonesia, Sabtu 9 Oktober 2021. (Terakota/ Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.idMuseum Musik Indonesia (MMI) melucnurkan buku berjudul “Keanekaragaman Keroncong Indonesia” pada Sabtu, 9 Oktober 2021. Buku berisi 100 album keroncong dipilih dari koleksi berbagai jenis rekaman di MMI. “Dicetak terbatas, akan didistribusikan ke sejumlah museum dan perpustakaan. Versi digital bisa diunduh gratis di website,” kata Ketua MMI, Hengki Herwanto saat peluncuran.

Buku Katalog ini, katanya, mendapat dukungan pendanaan dari Balai Pelestarian Nilai Budaya DI Jogjakarta, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui program Fasilitasi  Pelestarian Budaya Tahun 2021. Sekaligus merupakan kepedulian banyak pihak khususnya masyarakat yang menyumbangkan koleksi rekaman untuk disimpan di MMI. Mengumpulkan seratus album keroncong, kata Hengki, bukan pekerjaan sederhana. Namun memerlukan rasa cinta dan peduli.

“Agar musik keroncong sebagai warisan budaya tak benda ini dapat didokumentasikan dan diarsipkan. Jangan sampai bukti-bukti otentik aset budaya hilang ditelan zaman,” katanya. Musik keroncong lahir di Indonesia, mendapat pengaruh alat musik dari Portugis. Sebagaimana musik dangdut yang dipengaruhi musik India. Sebuah interaksi budaya antar bangsa yang tak dapat dibendung.

Sedangkan, keroncong berkembang di nusantara dengan keanekaragaman, memiliki ciri setiap daerah. Selain keroncong asli, muncul istilah keroncong modern dan keroncong Kontemporer. Selain itu berkembang pula musik yang masih satu keluarga dengan keroncong, yakni stambul, langgam dan keroncong hawaiian.

Salah seorang tokoh keroncong hawaiian George De Fretes, musisi berdarah Maluku kelahiran Bandung. George juga dikenal dengan sebutan Tjok De Fretes ini merupakan salah seorang musisi yang turut mempopulerkan musik keroncong di Belanda dan luar negeri.

Hengki menyebutkan kelemahan album rekaman zaman dulu yang minim atribut informasi di dalam cover album rekaman. Seperti tidak menyebutkan tahun diproduksi, nama pencipta lagu. Termasuk profil penyanyi. “Dari aspek sejarah, dan pendokumentasian sangat disayangkan. Beruntung ada sumber lain yang dapat digunakan untuk melengkapi data,” katanya.

Ia berharap buku katalog ini dapat melengkapi pendataan musik di Indonesia. Sekaligus menjadi bagian dari Sistem Pendataan kebudayaan Terpadu yang sedang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud.

Sejarawan yang juga tim ahli cagar budaya Kota Malang Rakai Hino Galeswangi menyebut jika pemusik sekaligus peneliti Andjar Any menyebut musik keroncong asli Indonesia. Namun ada pula peneliti Paramita Rahayu Abdurrachman menyebut keroncong warisan Portugis. Alasannya alat musik yang digunakan peninggalan Portugis abad akhir 15. “Ada perdebatan apakah keroncong musik asli Indonesia atau impor,” katanya.

Namun, Rakai cenderung mendukung pendapat Andjar yang juga meneliti sampai ke Portugal. Di sana, ia tak menemukan alunan musik seperti keroncong. Setiap zaman, terjadi pasang surut musik keroncong. Saat Orde Lama musik keroncong banyak yang menikmati lantaran Presiden Sukarno menyukainya.

Namun usai tragedi 1965, musik keroncong surut karena diidentikkan dengan Lekra yang merupakan organisasi sayap Partai Komunis Indonesia. Apalagi, lagu genjer-genjer yang dinyanyikan Bing Slamet saat itu berirama keroncong. Namun, saat Orde Baru keroncong kembali bangkit dengan lagu bertema perjuangan. Seperti lagu sepasang mata bola, karya Ismail Marzuki.

“Sekarang juga semakin surut, tak banyak yang menikmati keroncong,” katanya.