
Terakota.id—Arus lalu lintas jalan raya Madiun-Ponorogo padat. Asap kendaraan berpadu panas yang menyengat. Tepat, di Dusun Ngrawan, Desa Dolopo, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun ditemukan situs Ngurawan. Eskavasi atau penggalian belum tuntas. Sejarah di balik situs Ngurawan masih menjadi misteri.
Selemparan batu dari situs Nguwaran, ada bangunan rumah yang sebagian ruang tamu disulap menjadi ruang penyimpanan benda purbakala. Ruangan selebar 8 meter dan Panjang 12 meter ditata delapan lemari kaca. Setiap lemari berisi aneka benda purbakala dari eskavasi situs Ngurawan.
Suhanto atau yang akrab disapa Gatot pemilik rumah menyapa setiap pengunjung. Dia pemilik rumah, sebagian pekarangan di utara rumah menjadi lokasi penggalian situs Ngurawan. Gatot bercerita mendiang ayahnya, Sarnu, menuturkan jika ada bangunan terpendam di belakang rumah. Kisah ini turun temurun diperoleh Gatot. Warga juga tanpa sengaja menemukan berbagai benda purbakala saat menggali tanah untuk bahan baku batu bata.
Setelah 20 tahun ayahnya meninggal, pada Maret 2016 Gatot menggali sebidang tanah di belakang rumahnya. Lima orang dipekerjakan dibantu warga sekitar. Sebelum menggali, ia meminta izin kepada Pemerintah Desa dan Kepolisian.
“Pemerintah Kabupaten Madiun katanya malah sudah menetapkan. Padahal, tanahnya masih hak milik. Tanah saya sendiri. Pekarangan rumah,” jelas Gatot.
Penggalian pertama dilakukan selama kurang lebih dua bulan kurang dua hari. Ketika proses penggalian, sempat terjadi sedikit ketegangan antara Gatot dengan pemerintah daerah dan militer setempat.
“Beberapa kali mereka datang. Kemungkinan ada yang melaporkan. Apa saya lakukan salah, katanya merusak situs. Padahal, situsnya sendiri awalnya belum ada.” Sehingga Gatot ingin membuktikan.
Selang berapa hari kemudian, datang tim arkeolog dari Yogyakarta. Mereka diminta pemerintah setempat melakukan penggalian. “Saya perbolehkan. Tapi saya tegaskan, ini tanah saya. Tempat yang akan digali juga ditanami sengon laut. Dan sejak itu saya tidak boleh menggali atau menanam,” tambah Gatot.
Dari penggalian pertama, ditemukan semacam bangunan tempat penyimpanan abu jenazah. Terdapat pondasi bangunan berbentuk batu bata besar. Penggalian waktu itu sedalaman delapan meter. Juga ditemukan benda-benda purbakala lain seperti keramik, tempayan, jaladwara (saluran air), ukel, umpak, wuwungan, pot, kepeng, giring-giring, patung nandi, miniatur bangunan, dan lain sebagainya.
Benda purbakala yang ditemukan tak lagi utuh. Kini hasil penemuan disimpan di lemari kaca. Pekarangan rumah bekas penggalian situs itu kini dipagar bamboo, rumput dan lumut menutup batu bata situs di bekas galian. “Sekarang masih dibiarkan seperti ini,” ujar Gatot.

Sekitar 15 meter dari bekas galian, terdapat dua batu umpak berukuran besar berjejer di kebun warga. Penggalian selanjutnya, dilakukan pada Mei 2016 dan menjelang hari raya 2017. Setelah itu tak ada penggalian lagi. Dari penggalian kedua ditemukan patung dan serpihan gerabah.
Misteri Sejarah Situs Ngurawan
Tim arkeolog terus mengidentifikasi situs Ngurawan. Gatot menjelaskan jika penggalian situs butuh waktu lama. Bahkan bias sampai puluhan tahun. Sehingga sampai saat ini belum ada kepastian sejarah di balik situs Ngurawan.
Buku “Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan dari Abad XIV hingga Awal Abad XXI”(2017: 20) ditulis tim peneliti Balai Arkeologi Universitas Gajahmada (BALAR UGM) sedikit membuka tabir. Berdasar penggalian dan eskavasi pada 2016, mereka menyimpulkan sejumlah benda purbakala itu berasal dari abad ke-14 dan 15. Tepat pada periode kejayaan Kerajaan Majapahit.
Mereka berpijak dari sebuah umpak batu andesit berangka Caka 1320 (1398 Masehi). Pada masa itu, Majapahit tengah diperintah Raja Hayamwuruk dengan patih Gajahmada. Umpak merupakan penopang bangunan. Ukuran besar sehingga bias dibayangkan luas bangunannya. Selain itu, tim arkelolog juga berpijak pada penemuan tembikar berhias dan uang kepeng.

Secara khusus, tim Arkeolog Yogyakarta menyebut Situs Ngurawan sebagai situs pemukiman masa klasik. Tempayan, tembikar, piring, dan kendi menunjukkan kekhasan periode Majapahit. Ditemukan juga periuk belanga dari Dinasti Ming, sekitar abad 14 dan15 Masehi.
Situs pemukiman klasik juga mengacu pada bangunan berdinding batu bata. Para arkeolog menduga bangunan ini merupakan bangunan hidrologi. Berkaitan dengan pengelolaan air. Karena tidak jauh dari bangunan, memang terdapat sungai. Sampai kini sungai masih deras mengalir.
Dulu, masyarakat yang bermukim beragama Syiwa atau Hindu. Di sekitar Masjid Ngrawan ditemukan arca Dewi Parwati. Menurut mitologi Hindu, Parwati merupakan puteri raja gunung dari Himalaya bernama Himawan. Parwati juga dianggap istri kedua Siwa.
Di sekitar makam belakang masjid ditemukan Yoni setinggi 60 sentimeter dan panjang 90 sentimeter. Yoni merupakan lambang kesuburan. Pada masa perkembangan Hindu, Yoni merupakan simbol dari Dewi Parwati istri dari Dewa Siwa. Yoni adalah tumpuan bagi lingga atau arca.
Selain itu, juga ditemukan topinim yang memperkuat ada sebuah kerajaan di kawasan tersebut. Yaitu kawasan yang disebut dengan “Kedaton” atau puntuk dhaton. Toponim lain yang lebih kuat adalah nama kawasan itu sendiri. Dusun Ngrawan. Mengingatkan pada nama Ngurawan.
Menurut T.M. Rita Istari, Ketua Tim Arkeolog Yogyakarta (2017: 21), setidaknya terdapat tiga prasasti yang menyebut nama Ngurawan atau nama mirip Ngurawan. Pertama, Prasasti Mula-Malurung (1177 Caka atau 1255 Masehi). Prasasti berupa 10 buah lempengan tembaga yang dikeluarkan oleh Kerajaan Kadiri dan dianugrahkan kepada Desa Mula dan Desa Malurung.
Dalam Prasasti disebutkan bahwa kerajaan Gelang-gelang berada di “Bhumi Wuruwan” sedang kerajaan Daha berada di “Bhumi Kadiri”. Naskah dalam prasasti ini dianggap lebih kuat daripada naskah Pararathon maupun Nagarakertagama.
Kedua, prasasti Taji (823 Caka atau 901 Masehi). Prasasti berbahasa Jawa Kuno ini dikeluarkan oleh Rakryan I Watu Tihan Mpu Sanggramadurandara untuk meresmikan asrama pendeta atau kabikuan di Dusun Taji, Desa Gelang Panaraga. Prasasti ini jelas menyebut pejabat di daerah Bhurawan. Identik dengan nama Ngurawan.
Ketiga, prasasti Pucangan (951 Caka atau 1029 Masehi). Disebutkan bahwa Raja Airlangga menyerang Wuratan. Kata Wuratan ini dekat dengan Ngurawan. Dalam bahasa Jawa Kuno, “tha” denga “wa/va” memiliki kemiripan. Sehingga, Wurawan bisa jadi ditranskrip Wuratan.
Keberadaan kerajaan Gelang-gelang atau Ngurawan memang sejauh ini masih jadi perdebatan. Ahli epigrafi dari Belanda, N.J. Krom menyebut bahwa kerajaan Gelang-gelang sama dengan Daha atau Kadiri. Namun, hal ini dibantah oleh Prof. Dr. Raden Mas Ngabehi (Lesya) Poerbatjaraka, seorang pakar Jawa Kuno. Ia menyebut bahwa berdasar naskah panji, Gelang-gelang berada di Barat Gunung Wilis, Pagotan/pagutan. Sedang, tim BALAR Yogyakarta meyakini berdasarkan topinim, Gelang-gelang lebih dekat dengan desa Gelang yang berbatasan dengan desa Glonggong dan Ngrawan Kecamatan Dolopo.
Jika menilik karya sastra klasik di Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, kata “Ngurawan” atau “urawan” memang lebih popular dibanding dengan nama Gelang-gelang. Begitu pula dalam naskah Panji. Ada tiga kerajaan yang sering disebut: Jenggala-Daha/Kediri, Singasari, dan Ngurawan.
Situs Ngurawan Butuh Keseriusan Pemerintah Daerah
Gatot berharap benda-benda temuan sepanjang penggalian akan terus diletakkan di rumahnya. Rumah itu peninggalan almarhum ayahnya. Tokoh masyarakat atau sesepuh, juga Kepala Dusun (Kasun), juga berpendapat sama. JIka dipindahkan, katanya, akan mengurangi dan tidak sesuai dengan nilai sejarah.
Selama ini belum ada kepastian pengelolaan. Anaknya yang laki-laki sudah dua tahun menjadi juru pelihara. Namun, belum ada Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah. Kini, keberadaan Situs Ngurawan, menurut Gatot, seakan dibiarkan, terbengkalai.
Etalase tempat memajang benda-benda cagar budaya berasal dari Pemerintah Kabupaten Madiun. Namun, selepas itu tidak ada biaya perawatan. Untuk listrik dan biaya perawatan lainnya Gatot menggunakan dana pribadi. Bahkan, pengecatan ruangan justru dikerjakan teman-teman Gatot secara sukarela.
Gatot pernah mengutarakan ihwal pembiayaan kepada Pemerintah Kabupaten Madiun. Dan ia justru disarankan untuk membuat kotak amal. “Saya tidak mau. Tidak pantas. Genteng bocor ini saja sudah pernah saya sampaikan. Tapi tidak ada respon,” jelasnya sembari menunjuk dan mendongak ke atas.
Selain soal biaya, fasilitas penunjang situs juga masih minim. Dari jalan raya, tidak ada penunjuk arah yang memudahkan pengunjung sampai ke lokasi situs. Lampu penerang di ruangan juga masih seadanya.
Tulisan penjelas berkaitan dengan sejarah situs, sejarah penggalian, maupun deskripsi singkat benda-benda yang ditemukan juga belum ada. Gatot berharap tulisan penjelas ini segera ada. Agar, memudahkan pengunjung situs.
Hari semakin sore. Ruang tamu rumah Gatot semakin gelap. Lampu penerang belum juga dinyalakan. Gatot memberi isyarat, kesibukan sore hari sedang menanti. Memberi makan kambing di kandang. Terakota.id pamit dan beranjak pulang.


Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict
Pemilik lahan melakukan penggalian guna mencari harta karun, itu sudah diketahui masyarakat sejak lama.
Komunitas HVM (historian van madiun) mengadakan acara Festuval Gelang-Gelang yg membuat masyarakat melek budaya. Saat festival, mereka juga melobi balar yogya.
Saat tahun 2016, pemilik lahan mencari harta karun lagi. Warga protes (sebelum adanya festival komunitas HVM, warga cuek) dan berujung dengan pelaporan ke Brimob yg letaknya di seberang jalan. Akhirnya sekarang penggalian ditangani lagi oleh balar.
Semuanya berkat komunitas HVM, sampe anggotanya yg kesana dimusuhi sama pemilik lahan karena ga bisa jualan benda antik lagi.
get your facts right!
Ok, terima kasih informasinya. Segera kami konfirmasi ke komunitas HVM. Salam
Bismillahirrohmanirrohim.pak.gatot.sy pribadi ikut prehaten.dg masalah bapak.maaf pak.gatot.kalo masalah ini pemda sdh tau.lakukan semampu bpk.Alloh maha tau.jika bpk blm bisa jerih payah bpk.bsk anak cucu bpk psti kelak yang akan menikmati..amin.
Mengapa kok yg menangani jogja, bkn trowulan?
Seharusnya dari pihak pemerintah daerah setempat menangani masalah situs NGURAWAN.jangan pihak pemerintah daerah yang lain…?ini untuk
Aset daerah Madiun