
Terakota.id–“Tetapi manusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang di antara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia,”
Kalimat di atas disampaikan Minke dalam buku ketiga dari Tetralogi Buru, Jejak Langkah, karya Pramoedya Ananta Toer. Sebagai novel, sosok Minke di dalam tetralogi Buru tetaplah tokoh rekaan. Ia hanya hidup di dalam Bumi Manusia-nya Pramoedya. Meskipun novelnya adalah novel sejarah. Karenanya, Saut Situmorang, sastrawan Indonesia mengatakan bahwa Minke bukanlah Tirto Adhi Soerjo. Minke tetaplah salah satu tokoh fiktif di dalam tetralogi Bumi Manusia.
“Tetralogi itu bukan karya sejarah kan, tapi fiksi sastra. Fiksi atau novel sejarah seperti Tetralogi Pulau Buru itu harus dipahami dengan hati-hati. Jangan sampai dianggap buku sejarah. Bagaimana Pram menggambarkan kondisi kehidupan di zaman kolonial dan pergulatan para tokoh novelnya, ini yang harus dibicarakan dan dinilai” tambah Saut kepada Terakota.id.
Tokoh Minke lahir setelah Pram mendapat ilham dari lipatan sejarah yang ditorehkan seorang inisiator, aktor utama, dan perintis kebangkitan nasional. Namun, sejarah seolah melenyapkan namanya menjadi non-person dalam etalase sejarah bangsanya sendiri. Pramoedya beroleh inspirasi dari seorang ini, ia bernama Tirto Adhi Soerjo.
Tirto Adhi Soerjo berusia sekitar 21 tahun, pada 1903 memimpin surat kabar yang didirikan, Soenda Berita. Surat kabar pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan Bumiputra. Pembiayaan surat kabar dibantu Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradireja. Lahir dari keluarga priyayi. Bapaknya Bupati Bodjonegoro pada 1880. Namun, ia sendiri berusaha lepas dari bayang-bayang keluarga priyayi.
Ia menolak untuk masuk Pangreh Praja. Sehingga, bebas tak menjadi kacung kolonial yang bergantung hidup-matinya kepada pemerintah Belanda. Sebelum mendirikan Soenda Berita, ia telah lebih menempa pengalaman dengan bergabung dan menjadi redaktur Pemberita Betawi. Ia melakoni selepas sekolah beberapa tahun di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), sekolah pendidikan dokter pribumi pada zaman kolonial Hindia Belanda, di Batavia (1893/94 sampai1900).
Mengenyam pendidikan kedokteran, menekuni kerja jurnalistik, dan terlibat mempelopori pergerakan. Ia mendirikan Sarekat Priyayi (SP) pada 1906. Dua tahun lebih awal dibandingkan dengan Budi Oetomo (BO), organisasi modern yang tahun kelahirannya dipilih sebagai tonggak sejarah Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997: 43), menyebut bahwa SP bertujuan memajukan pendidikan anak-anak priyayi dan bangsawan bumiputra melalui pemberian beasiswa.
Jurnalis, Pembela Kaum Tertindas

Tidak sebatas organisasi. Naluri seorang jurnalis melekat pada diri Tirto Adhi Soerjo, mendorongnya mendirikan surat kabar baru bernama Medan Prijaji. Terbit setiap pekan mulai 1907 sampai 1909, sedangkan sejak 1909 hingga 1912 terbit setiap hari.
Bahasanya khas, penuh kritik, sindiran, dan memadukan bahasa Jawa dan Belanda. Tirto, menurut Takashi Shiraishi, adalah bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasa. Yaitu bahasa yang dituliskan dalam Medan Prijaji. Surat kabar baru ini menjelma surat kabar terkemuka. Tercatat sekitar 2000 pelanggan di awal 1911.
Di tangan Tirto, pers tidak sekadar berisi berita, hiburan, maupun pengumuman lelang. Ia mengubah pers sebagai senjata untuk mengadvokasi rakyat. Medan Prijaji juga tak dijadikan forum bagi priyayi seperti Pewarta Prijaji-nya Koesoemo Oetojo. Pers adalah corong bagi kelas yang dijajah, mereka yang diperintah. Pers yang berpolitik demi kemajuan bangsanya.
Dalam buku Sang Pemula, Pram mendudukkan Tirto Adhi Soerjo sebagai orang pertama yang mempelopori pemberian bantuan hukum. Dia juga disebut sebagai orang pertama yang menggunakan pers sebagai senjata membela kaum tertindas. Pram memposisikan Tirto Adhi Soerjo sebagai pribumi pertama yang mengawali pendirian organisasi modern, yaitu Sarikat Priyayi (SP).
Usia SP memang tidak panjang dan kemudian pingsan untuk selama-lamanya karena tidak mampu menggerakkan para priyayi yang lebih asik dengan dunianya sendiri. Max Lane dalam Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia (2017:23), menulis SP tidak mampu menjadi kekuatan perombak. Semangat mereka loyo karena ketergantungan para priyayi ini pada Belanda.
Setali tiga uang, pergantian jabatan Gubernur Jendral dari Van Heutsz kepada A.W.F. Idenburg berpengaruh kepada kondisi Medan Prijaji. Lantaran, selama ini Van Heutsz telah memberi perlindungan kepada surat kabar ini dari berbagai gangguan. Baik yang berasal dari birokrasi, orang Timur Asing, Indo, Belanda, maupun bumiputra terdidik. Selain itu, Medan Prijaji mengalami kesulitan finansial.
Saat Medan Prijaji kesulitan finansial, Tirto mendirikan Sarekat Dagang Islamijah pada 1909 di Bogor. Organisasi ini menjadi wadah bagi saudagar-saudagar muslim. Ia menjadi perkumpulan kaum mardika, kelompok bumiputra yang dianggap lebih bebas dibandingkan para priyayi yang bergantung kepada Belanda. Tirto berharap Sarekat Dagang Islamijah ini akan dapat menyelamatkan Medan Prijaji.
Peletak Pondasi Pemimpin Pergerakan Masa Depan

Kepiawaiannya membentuk, menginisiasi, dan menggerakkan organisasi telah tampak. Soenda Berita, Sarekat Prijaji, Medan Prijaji, dan Sarekat Dagang Islamijah mengantarkannya sebagai pribadi yang penting. Ia dianggap sosok yang meletakkan pondasi pemimpin pergerakan di masa-masa kemudian. Tidak berlebihan.
Mari kita cek. Para pengusaha dan pedagang batik di laweyan mendirikan perkumpulan ronda Rekso Rumekso. Haji Samanhoedi, saudara, teman, dan pengikutnya, menjadikan Rekso Rumekso alat pengamanan dan sarana tolong menolong sesama pengusaha batik dari pencurian. Karena satu peristiwa jalanan, perkelahian, dengan organisasi serupa bentukan Tionghoa, status hukum Rekso Rumekso dipertanyakan polisi. Dari sanalah kemudian Rekso Rumekso berubah.
Mereka mengaku sebagai cabang dari SDI Bogor. Persoalan anggaran dasar, memaksa Tirto Adhi Soerjo berangkat ke Surakarta. Di sana ia menyusun anggaran dasar dan mengumumkan pembentukan cabang SDI Bogor di Surakarta melalui surat kabarnya. Jadilah Rekso Rumekso, organisasi ronda sederhana sebagai organisasi modern bernama Sarekat Dagang Islam.
Sarekat Dagang Islam (SDI) ini dikemudian hari berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Tepatnya ketika anggaran dasar selesai dirumuskan dan ditandatangani oleh Tirto Adhi Soerjo. Takashi Shiraishi mencatat peristiwa itu berlangsung 9 November 1911.
Namun, Takashi juga membubuhkan catatan terkait kemungkinan waktu yang berbeda. Misalnya, ia merujuk pendapat Tjokroaminoto (pimpinan SI di kemudian hari) yang menyatakan bahwa Tirto Adhi Soerjo baru tiba di Surakarta awal atau Februari 1912. Sehingga, anggaran dasar sangat mungkin ditandatangani sekitar tahun 1912, bukan 1911.
Tirto Adhi Soerjo ditunjuk sebagai penasehat Sarekat Islam. Seluruh komite pusat SI tinggal di Lawean, kecuali Tirto. Ia tinggal tetap tinggal di Bogor atau Bandung. Tirto jugalah orang yang mengajarkan boikot kepada organisasi ini. Dengan saran dan bantuan darinya, organisasi ini menjadi senjata yang kuat bagi bumiputra untuk melakukan boikot dan berkembang menjadi gerakan massa pertama di Hindia.
Takashi Shiraishi menyebut Tirto sebagai perintis tipe pemimpin pergerakan yang baru muncul. Lantaran Tirto Adhi Soerjo seorang yang sangat berjasa memantik api kebangkitan nasional. Namun, cukup lama ia dikuburkan sejarah dan menjadi bukan siapa-siapa. Dikenal atau disebut saja tidak, apalagi dikenang. Dalam bahasanya Pram, Tirto Adhi Soerjo belum mendapatkan keadilan sejarah.
Bapak Pers Indonesia
Dia hanya dikenal oleh kalangan terbatas sebagai Bapak Pers Indonesia. Dalam kenyataan dia lebih dari sekadar bapak pers. Dia adalah orang yang mula-mula merintis lahir tumbuhnya organisasi modern pada masa itu.
Lalu, siapa orang yang berjasa mengangkat dan mengenalkan Tirto Adhi Soerjo kepada khalayak luas?
Tidak lain adalah Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan besar Indonesia ini secara khusus mendokumentasikan Tirto Adhi Soerjo dalam bentuk fiksi dan non-fiksi. Dalam bentuk fiksi, Pram mengenalkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Minke. Ia tokoh utama dalam Tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Sedang dalam bentuk non-fiksi, Pram mengulas Tirto Adhi Soerjo dalam buku biografi berjudul Sang Pemula.
Tirto, perintis perjuangan melalui pers dan organisasi modern ini, beroleh gelar Bapak Pers Nasional dari pemerintah pada 1973. Dan untuk gelar Pahlawan Nasional, ditetapkan pada 3 November 2006 melalui Keppres RI no 85/TK/2006.
Max Lane menilai apa yang dilakukan oleh Pramoedya merupakan sumbangan yang teramat berharga. Terutama dalam upaya menangkap, menggambarkan, dan menunjukkan proses revolusi nasional Indonesia. Indonesia bukan sesuatu yang telah ada sebelumnya. Atau pemberian begitu saja dari kolonial. Ia merupakan entitas baru, kebudayaan baru, yang dibentuk dan diciptakan secara bersama-sama.
Tahapan-tahapan penciptaan itu, secara apik disodorkan Pram melalui tetralogi Bumi Manusia dengan Minke atau Tirto Adhi Soerjo sebagai pemandunya. Mula-mula, kalangan priyayi tampil dan memulai melalui Sarekat Priyayi ataupun Budi Oetomo.
Ternyata, apa yang mereka mulai dengan hebat tidak mampu diteruskan. Lalu beralih kepada kelompok pedagang, kaum borjuis yang dianggap lebih bebas dan merdeka. Yaitu melalui Sarekat Dagang Islam dan Sarekat Islam. Tidak juga berhasil. Mereka juga terbatas dan kalah.
Baru kemudian, menurut Max Lane, muncul momentum baru di antara kaum sudra, marhaen, ataupun proletar. Di Jejak Langkah dan Rumah Kaca telah memunculkan penerus-penerus pergerakan, seperti Haji Misbach (sang Haji Merah), aktivis dan penulis kiri Mas Marco, dan si komunis pekerja kereta api, Semaun. Mereka menandai munculnya aktor-aktor baru, organisasi-organisasi baru, juga partai-partai baru, dalam upaya membangun sebuah bangsa-negara yang merdeka.
Masih mau mengatakan, kalau Bumi Manusia adalah novel pergulatan cinta sekaligus lebih berat novel Ayat-ayat Cinta?

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict