
Terakota.id-–Coba sekarang kita buat pertanyaan yang ringan-ringan saja. Bagaimana jika jumlah masyarakat yang terpapar virus Covid-19 semakin meningkat? Bagaimana jika rumah-rumah sakit sudah menutup diri karena penuh dengan pasien Covid-19? Bagaimana jika para tenaga medis mengundurkan diri untuk mengurus pasien covid-19?
Di sisi lain, tak ada kebijakan konkrit yang mencoba menekan angka penularan virus? Sementara itu negara-negara di luar Indonesia sudah berhasil menekan jumlah masyarakat yang terjangkit?
Lalu, masyarakat kita juga semakin tidak sadar atau sudah tak mau tahu dengan segala bentuk protokol kesehatan (Prokes) yang selama ini dianjurkan? Pertanyaan akhir, apa yang bisa kita perbuat? Siapa yang salah? Pemerintah? Masyarakat? Banyak bertanyaan lain yang saya yakin silih berganti dalam benak masyarakat. Sebuah pertanyaan yang tidak akan mudah ditemukan jawabannya.
Sementara itu presiden pernah mengatakan dengan bangga bahwa kita layak bersyukur karena tidak melakukan lock down? Apa yang dibanggakan dengan pilihan bukan lock down sementara angka yang terjangkit semakin naik? Boleh kita beralasan bahwa populasi penduduk di Indonesia tinggi. Masalahnya mengapa angka yang terjangkit itu semakin naik sementara negara lain bisa menekannya? Apakah itu sebuah kebanggaan yang layak untuk dirayakan?
Kita bandingkan dengan negara lain. Taruh misalnya negara bagian Australia, seperti Queensland. Tidak apa-apa. Kita mengaca negara itu meskipun meskipun berbeda sekali kondisi sosial, ekononi, politik dengan negara kita.
Bukan soal bandingan yang terlalu tinggi. Tidak. Mengaca tentu pada negara yang lebih sukses menekan angka yang terjangkit. Biar pejabat dan elite politik kita tidak semakin jumawa yang sebenarnya hanya menunjukkan ketidakmampuan mengatasi pandemi ini. Jadi semakin pejabat kita berkilah, menunjukkan betapa tidak mampunya mereka mengatasinya. Berkilah hanya untuk menunjukkan alasan yang mengada-ada, sementara kenyataannya berbeda dengan yang diucapkan. Pahami bahwa untuk memahami inti pesan komunikasi pejabat simak apa yang tidak dikatakan.
Kembali ke angka yang terjangkit. Berdasar data yang dihimpun dari gld.gov.au, kawalCOVID19, dan kompas.com (per 8 Januari 2021) menyebutkan; Queensland punya populasi 5 juta, sementara Indonesia ada 270 juta. Kasus harian di Queensland sekitar 9, Indonesia 10.617. Total kasus Queensland ada 1.275 (0,02% populasi), Indonesia ada 808 ribu (0,29% populasi). Test specimen harian di Queensland sekitar 13.097, di Indonesia 66.619, sementara total test specimen 66.619 (30% populasi), sementara Indonesia 7,7 juta (2,8% populasi). Lalu di Queensland kasus mereka yang sembuh mencapai 1.239 (97,25% total kasus), Indonesia sembuh mencapai 666 ribu (82,50% total kasus. Kemudian yang meninggal 6 (0,47% total kasus), sementara di Indonesia ada 23.757 (2,94% total kasus).
Yang menarik adalah tanggapan kedua pejabat negara. Dr Jannette Young (Chief Health Officer Quennsland) mengatakan, “Lockdown 3 hari ssmpai 11 Januari 2021”. Sementara Joko Widodo (presiden) mengatakan, “Alhamdulillah beruntung tidak sampai lockdown”. Bisa dibedakan bagaimana respon kedua pejabat masing-masing negara itu, bukan? Queensland bisa terus menekan angka terpapar Covid-19, sementara Indonesia belum. Ini tak berarti bahwa Indonesia harus meniru cara negara bagian Australia itu dengan memberlakukan lock down. Yang ingin saya tekankan, pejabat kita tetap bangga tidak melakukan lock down sementara jumlah kasusnya semakin naik, sementara Queensland sebaliknya.
Tak Tegas
Yang lebih menarik adalah keluarnya kebijakan baru terkait dengan kenaikan jumlah masyarakat yang terpapar. Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk wilayah Jawa dan Bali. Apakah kita percaya kebijakan ini efektif? Semoga saja, tetapi jangan berharap terlalu tinggi sejauh tidak ada ketegasan dalam pelaksanaannya. Pengalaman kebijakan penanganan pandemi Covid-19 selama tahun 2020 bisa dijadikan contoh menarik.
Negara kita itu negara yang memang kaya istilah. Sementara banyak istilah itu tidak banyak perbedaan yang mencolok untuk menekan angka penyebaran virus. Kita buka-bukan file lama, betapa kayanya kita dengan banyak istilah tersebut.
Kita pernah mengenal beberapa istilah antara lain; Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Transisi, Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM), Pembatasan Sosial Berskala Kecil (PSBK), Potensi dan Sumber Kesejehteraan Sosial (PSKS), dan yang terbaru Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Sebelumnya kita mengenal istilah new normal. Jauh sebelumnya kita dikenalkan perdebatan antara mudik dan pulang kampung (pulkam) yang kedua istilah itu ditegaskan pemerintah berbeda, tetapi intinya tetap mengijinkan pergerakan masyarakat kembali ke desa.
Kita kemudian bertanya, apakah istilah-istilah yang dikenalkan di atas sudah berjalan efektif? Semua berkaitan dengan usaha untuk menekan penyebaran virus pandemi Covid-19. Pertanyaan lanjutan adalah apakah penyebaran virus itu sudah bisa ditekan sekarang? Apakah new normal yang digembar-gemborkan pemerintah dan didukung buzzer sudah berjalan efektif bisa menekan angka terpapar penyebaran virus? Kalau mau jujur, semua istilah di atas tidak banyak membuahkan hasil yang signifikan.
Kalau sudah begitu siapa salah? Tentu pemerintah tidak mau disalahkan. Saya pernah menulis sebuah artikel (awal 2020) bahwa ketidaktegasan pemerintah akan membahayakan masyarakat. Jumlah yang terjangkit virus akan meningkat. Lalu nanti pemerintah akan menyalahkan rakyatnya yang tidak patuh. Padahal sumber utamanya kebijakan yang tidak tegas dan konkrit.
Bukankah saat ini memang sedang terjadi? Bahwa kesalahan akhirnya dibebankan pada masyarakat? Coba kalau waktu itu pemerintah melakukan karantina wilayah dengan ketat tidak akan menjadi tsunami wabah seperti saat ini. Tentu pemerintah punya pertimbangan lain.
Tetapi lihat bagaimana komentar pejabat kita saat awal-awal virus ini muncul? Pencitraan, mengelak dan menutupi segala kelemahan yang ada. Masyarakat diberikan harapan-harapan palsu bahwa ekonomi akan bangkit. Bagaimana akan bangkit jika pandemi ini belum bisa ditekan? Ini tidak menyalahkan pemerintah tetapi mencoba introspeksi diri. Masyarakat juga sudah tahu kenyataan yang sebenarnya.
Indonesia sejak dahulu memang dikenal banyak istilah, akronim, dan singkatan. Tak sedikit diantaranya hanya untuk menutupi kenyataan yang ada. Bahkan bahasa eufimisme dipakai. Misalnya, menggusur dikatakan menertibkan, membunuh dikatakan mengamankan dan lain-lain istilah. Bahasa eufimisme itu khas Orde Baru (Orba). Atau jangan-jangan kita memang sedang mewarisi semangat Orba dengan baju berbeda?
Banyak istilah pun tak akan berdampak baik manakala dalam penerapannya masih setengah-setengah. Kita itu minim langkah kongkrit dan tegas, namun banyak istilah. Setali tiga uang. Kembali ke pertanyaan awal tulisan ini.
why kenapa