
Terakota.id-Leo Tolstoy (1828-1910), seorang sastrawan Rusia dalam cerpennya Di Mana Ada Cinta, di Sana Ada Tuhan, bercerita tentang tokoh Martin Avdeich yang putus asa terhadap kehidupannya. Ia selalu mengalami penderitaan bertubi-tubi. Martin yang pernah menganggap Tuhan tidak adil pada akhirnya imannya tumbuh kembali dan menjadi orang yang sangat khusuk menjalani ibadahnya.
Peristiwa luar biasa terjadi dalam hidup Martin. Ketika usai membaca kitab suci, ia tertelap tidur. Sesaat kemudian, ia tiba-tiba mendengar suara yang menyapanya: “Martin! Ah, Martin! Lihatlah ke jalan besok. Aku akan datang.” Martin tahu siapa yang akan datang tersebut, sebab ketika Martin membaca kitab suci, ia membayangkan Yesus Kristus akan mendatanginya.
Tidak hanya dalam cerpen tersebut Leo Tolstoy mengangkat mimpi dalam karyanya, beberapa karyanya yang lain juga menjadikan mimpi sebagai bagian penting dalam kisah yang dirangkainya. Sigmund Freud dalam The Interpretation of Dreams mengatakan bahwa mimpi adalah fenomena psikis yang benar-benar valid, yang sebenarnya merupakan pemenuhan keinginan, yang mungkin berfungsi sebagai kelangsungan kegiatan psikis yang dapat dipahami dalam keadaan sadar, yang dibangun melalui aktivitas intelektual yang sangat rumit.
Orang Jawa membagi mimpi menjadi tiga macam: titiyoni, gondoyoni, dan puspa tajem. Tiga kategori mimpi tersebut sekaligus merupakan tingkatan mimpi, dari yang sekadar reaksi bawah sadar sampai mimpi-mimpi yang diyakini sebagai petunjuk Yang Mahakuasa. Dalam pandangan agama, beberapa jenis mimpi juga dianggap sebagai pengalaman spiritual. Mimpi bukanlah sebuah peristiwa yang dapat diabaikan begitu saja.
Sebagai penutur bahasa Indonesia, sadar atau tidak sadar, ketika kita sedang mengalami sesuatu yang luar biasa, kita sering melontarkan ungkapan “seperti mimpi di siang bolong.” Bahkan saya tidak sengaja ketika membuka ponsel ada berita di media online dengan judul “Seperti Mimpi di Siang Bolong Kalau Ada yang Bercita-cita Melengserkan Presiden”, dan satu lagi “Penangkapan Edhy Prabowo Seperti Mimpi di Siang Bolong.”
Seperti mimpi di siang bolong dapat diartikan sebagai “mengalami atau bisa juga mengharap sesuatu yang sangat mustahil”. Dalam hidup manusia memang banyak sekali peristiwa yang kelihatannya sangat mustahil, namun terjadi juga dan hadir sebagai sebuah pengalaman nyata. Barangkali banyak teori-teori yang kita buat dan rangcangan logis yang kita susun, namun kita lupa bahwa banyak faktor di sekeliling kita yang tidak masuk dalam perhitungan.
Ketika Presiden Jokowi pada 15 Februari yang lalu membuka peluang lebar-lebar untuk segera meninjau kembali Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE}, banyak pihak yang merasa “seperti mimpi di siang bolong”. Bagaimana tidak? Undang-undang yang sejak kemunculannya menuai kontroversi ini, baru saat ini memeroleh tanggapan serius dari kepala negara. Selama 13 tahun tahun, ratusan orang tak berdosa sudah terlanjur turut menjadi korban keganasan Undang-undang ini.
Di depan Rapat Pimpinan TNI/Polri 2021 Jokowi menyatakan bahwa undang-undang ITE semangatnya adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan untuk secara produktif. Tetapi implementasinya jangan justru menimbulkan rasa ketidakadilan. Oleh karena itu Presiden minta kepada Kapolri agar jajarannya lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran Undang-undang ITE.
Secara spesifik Presiden juga berpesan kepada jajaran Polri agar pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. “Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal Undang-undang ITE, biar jelas. Kapolri harus meningkatkan pengawasan agar implementasinya konsisten, akuntabel dan berkeadilan,” tegas Presiden.
Presiden juga menandaskan bahwa kalau Undang-undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, Presiden akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, karena hulunya di sini: revisi, terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak.
Seperti biasanya, terhadap pernyataan presiden, ada yang pro dan ada yang pula yang kontra. Banyak yang menganggap ucapan presiden sebagai sebuah kemajuan besar, namun tidak sedikit juga yang berpikir bahwa ucapan presiden hanyalah basa-basi belaka. Di tengah-tengah pro dan kontra, harapan penegakan hukum menjadi lebih baik sedang digantungkan oleh mayoritas masyarakat kita.
Mereka yang menganggap pernyataan presiden hanya sekadar pemanis bibir belaka memiliki sejumlah alasan, yang terutama adalah bahwa presiden sedang membangun pencitraan di tengah tingkat demokrasi kita yang makin menurun. Sebagaimana dirilis The Economist Intelligentce Unit (EIU) melalui laman resminya eiu.com, Indonesia menempati ranking 64 dunia dalam indeks demokrasi dengan skor 6,3. Ini adalah skor terendah selama 14 tahun terakhir.
Sama-sama terjadi di siang bolong, bagi sebagian lain, pernyataan presiden dianggap sebagai sambaran petir di siang bolong. Mereka yang anti demokrasi, dan yang memiliki nafsu besar yang ingin terus menggunakan kekuasaan dan modalnya untuk memidanakan mereka yang berseberangan, revisi Undang-undang ITE justru dianggap sebagai ancaman serius. Menurut mereka Undang-undang ITE adalah alat yang ampuh untuk menjerat lawan-lawan politik dengan menggunakan kekuatan modal dan kekuasaan.
Sebagai orang yang pernah dan sedang berhadapan langsung dengan masalah Undang-undang ITE, yang saat ini sedang berjuang melawan kriminalisasi, saya mengapresiasi niat baik presiden. Presiden telah mendengar keluhan masyarakat yang tak berdaya. Sekali pun reaksinya lambat dalam merespon aspirasi publik, namun apa yang telah dilakukan presiden adalah harapan baru bagi para korban dan calon korban kriminalisasi dengan alat Undang-undang ITE.
Di era pemerintahan Jokowi, Undang-undang ITE memang pernah mengalami perubahan, yakni dengan terbitnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perubahan yang masih jauh dari harapan masyarakat itu mengundang reaksi ketidakpuasan hingga hari ini, karena dari waktu ke waktu jumlah korban semakin bertambah. Perubahan tersebut dianggap sebagai uapaya basi-basi tanpa solusi.
Lebih parah lagi, norma yang tertuang dalam perubahan undang-undang tersebut banyak dilanggar oleh penegak hukum yang menangani kasus ITE. Sebagai contoh, beberapa pasal yang merupakan delik aduan absolut, yang mensyaratkan pelapor adalah korbannya langsung, namun dalam pelaksanaan di lapangan, kepolisian menerima, melayani, serta menindaklanjuti pelaporan dari pihak yang tidak memiliki legalstanding dalam perkara tersebut.
Sejumlah elemen masyarakat, terutama pers yang menjadi korban terbanyak Undang-undang ITE juga pernah mengajukan judicial review. Sekali pun Mahkamah Konstitusi (MK) tetap menganggap bahwa undang-undang ini konstitusional, namun demikian dari beberapa putusan yang dikeluarkannya sebenarnya sudah terjadi banyak kemajuan. Sayangnya, implementasi dalam penanganan perkara, putusan MK seringkali diabakan.
Ada dua kemungkinan mengapa hal ini terjadi, pertama mungkin memang dengan sengaja putusan MK tidak dirujuk dengan pelbagai alasan; kedua, karena lemahnya literasi pihak-pihak yang menangani perkara ITE, mulai dari kepolisian, kejaksaan, sampai pengadilan. Bisa dibayangkan, bila penegak hukum gagap dalam memahami produk perundang-undangan lantaran malas membaca, lalu bagaimana mekanisme mereka menelaah tumpukan berkas perkara yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditetapkan.
Dalam Putusan MK Nomor 2/PUU-VI/2009 misalnya, disebutkan bahwa genus delich dari pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah pasal 310 dan 311 KUHP. Dalam pasal-pasal KUHP tersebut objek penghinaannya adalah seseorang dan bukan badan hukum, serta mengharuskan ada penyebutan nama di dalamnya. Namun demikian dalam praktiknya, pasal 27 ayat 3 juga digunakan untuk menjerat pencemaran nama baik yang objeknya bukan perorangan, dan pelapornya adalah pihak yang sama sekali tidak memiliki legalstanding.
Setelah 13 tahun berlalu, Pemerintah tentunya makin menyadari bahwa Undang-undang ITE sudah memakan korban yang terlalu besar. Banyak orang merasa ketakutan untuk menyampaikan uneg-uneg, bahkan ketakutannya melebihi zaman otoriter Orde Baru. Banyak pasal di dalam Undang-undang ITE yang membelenggu kreativitas masyarakat. Tiap kali akan mengeluarkan gagasan selalu dihantui oleh bayangan hitam yang tiap saat bisa mencengkeram, entah sore, malam, pagi atau di siang bolong. Beberapa pasal karet bisa ditafsirkan semena-mena oleh orang yang memiliki kepentingan. Namun, yang perlu diingat pula bahwa undang-undang ini memiliki potensi yang sangat besar untuk berperan sebagai “senjata makan tuan”.
Kini, publik yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, serta segenap rakyat yang tak berdaya dan tertindas, juga sedang menunggu realisasi dari pernyataan presiden. Penantian kita adalah penantian Martin yang sembari terus memandang keluar dari jendela akan selalu setia menunggu kedatangan tamunya: Martin duduk di ambang jendela dan lebih banyak memandang keluar jendela daripada bekerja: siapa pun yang melintas menggunakan sepatu bot dan tidak ia kenali, ia akan menunduk keluar jendela, agar bisa melihat tidak hanya kakinya tetapi juga wajah sang pemilik bot asing tersebut.
Sasaran Undang-undang ITE adalah segala transaksi elektronik. Media masa dan media sosial adalah sarana yang mendominasi transaksi elektronik. Sebagian besar transaksi elektronik itu adalah berhubungan dengan bahasa. Dalam ranah apa pun, tidak ada teks yang benar-benar telanjang bulat dan bebas dari konteks. Upaya untuk memaksakan penafsiran adalah tindakan pemerkosaan terhadap eksistensi bahasa.
Teks dan ujaran menjadi objek perkara ITE mulai dari penyidikan di kepolisian sampai persidangan di pengadilan. Penggiringan penafsiran tak dapat dihindari. Bahanyanya, demi memenuhi hasrat pemesannya, maka lahirlah para saksi ahli bahasa pesanan, yang mati-matian melakukan penafsiran sepihak sesuai dengan kehendak pemesannya. Di antara mereka tentunya tidak sedikit yang merupakan ahli bahasa abal-abal, dengan kompetensi yang diragukan, mereka “Mendadak nDangdut” (meminjam nama acara yang sempat populer di salah satu TV swata) menjadi ahli bahasa.
Fenomena saksi ahli abal-abal memang bukan barang baru di negeri ini. Pada tahun 2011 Ketua Mahkamah Agung di era pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, Harifin Tumpa sampai-sampai menyampaikan kritiknya yang tajam, bahwa banyak orang yang tidak berkompeten tetapi dipaksakan dihadirkan ke muka persidangan sebagai saksi ahli. “Ahli sekarang itu kan ahli-ahlian,” kata Ketua MA (Detik News, 27 Mei 2011). Begitu maraknya ahli-ahlian tersebut akhirnya di media masa bahkan muncul istilah yang dianggap sangat tepat untuk disematkan kepada mereka, yakni “ahli bersaksi”, bukan saksi ahli.
Seorang lulusan S1 bahasa yang dihadirkan oleh jaksa sebagai saksi ahli, misalnya, pendapatnya bisa menjadi bahan penting bagi pertimbangan hakim dalam putusannya. Sementara saksi ahli dari terdakwa dengan gelar doktor di bidang bahasa, yang kompetensinya dalam bidang bahasa tidak diragukan lagi, bisa jadi analisisnya diabaikan oleh majelis hakim. Sudah bukan rahasia lagi bahwa hukum di Indonesia dapat diperjualbelikan.
Maraknya suap yang melibatkan oknum polisi, jaksa, dan hakim semakin memperteguh citra Indonesia sebagai negara dengan tingkat penegakan hukum yang sangat rendah. Beberapa kali Menkopolhukam, Mahfud MD bahkan pernah menyindir bahwa institusi penegak hukum kita sebagai industri hukum. Industri hukum, kata Mahfud sebagaimana dikutip Tempo.co (4 Desember 2019), merujuk pada proses di mana aparat mencari-cari kesalahan orang, sedangkan orang yang bersalah diatur agar tidak menjadi bersalah.
Keseriusan pemerintah dalam upaya meningkatkan objektivitas penegakan hukum bahkan ditunjukkan langsung oleh kepala negara. Akhir-akhir ini memang Jokowi termasuk sering menyoroti masalah supremasi hukum di negeri ini. Dalam membuka rapat kerja Kejaksaan Agung dua bulan lalu, sebagaimana diunggah dalam akun YouTube Sekretariat Presiden, Jokowi juga menyatakan bahwa kiprah kejaksaan adalah wajah kepastian hukum Indonesia, di mata rakyat dan di mata internasional.
Tanpa kejaksaan yang bersih dan dipercaya, kata Presiden, satu pondasi penting pembangunan nasional juga akan rapuh. Kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum harus terus ditingkatkan. Integritas dan profesionalitas jaksa adalah keharusan. Kejaksaan harus bersih. Kejaksaan harus menjadi role model penegak hukum yang profesional dan berintegritas.
Sebagaimana mimpi Martin yang telah digenapi, kini titik terang sudah mulai terlihat. Atas gugatan masyarakat, terutama dari kalangan pers, Undang-undang ITE telah berkali-kali diuji di Mahkamah Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi tetap bersikukuh bahwa UU ITE adalah konstitusional. Namun ketika presiden telah mengeluarkan pernyataan agar undang-undang ini ditinjau kembali, semua lembaga negara langsung meresponnya. Di tengah-tengah masyarakat feodal, pengaruh presiden bak seorang raja.
Kapolri telah melakukan gerak cepat dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, dan Surat Telegram Nomor ST/339/II/RES.1.1.1./2021 yang berisi tentang pedoman penanganan perkara tindak pidana kejahatan siber yang menggunakan Undang-undang ITE. Polri lebih menekankan pada pendekatan restorative justice dalam penanganan perkara ITE.
Dalam waktu seminggu setelah presiden menyampaikan arahannya, Menkopolhukam langsung membentuk Tim Kajian Undang-undang ITE yang dituangkan dalam Keputusan Menkopolhukam Nomor 22 Tahun 2021, yang bertugas sejak tanggal ditetapkan sampai dengan 22 Mei 2021. Apakah tim ini akan menjalankan amanat sesuai dengan harapan rakyat? Rakyat hanya bisa menunggu. Rakyat sudah terlalu banyak mengalami mimpi-mimpi, bahkan sudah tidak ingat lagi kapan dan jam berapa mimpi itu terjadi, sehingga tidak paham lagi apakah mimpi itu kategori titiyoni, gondoyoni, atau puspa tajem. Yang jelas, jangan sampai mimpi-mimpi itu justru menjadi simalakama.
Dalam penantiannya dan pengharapan pemenuhan mimpinya, Martin kedatangan lelaki tua bernama Stepanich, seorang perempuan dan anaknya, serta anak kecil yang mencuri apel. Martin pun sadar, sebab ketika dia membaca pada bagian halaman kitab suci: “Aku pernah menjadi seorang yang lapar dan kau memberiku minum; aku pernah menjadi seorang asing dan kau mengajakku masuk.” Kedatangan tiga manusia tersebut telah memenuhi harapan Martin dalam mimpi-mimpinya.
Penggenapan mimpi Martin memang tak sama secara fisik dengan wujud sosok dalam mimpinya, namun ia sadar bahwa pemenuhan mimpi-mimpinya yang sejati justru ketia ia harus melakukan pengorbanan. Pengorbanan itulah wujud nyata bentuk darma bakti kepada-Nya, dan manifestasi dari tamu yang hadir dalam mimpinya.
Maka, jika harapan publik Indonesia tidak sesuai, atau ucapan presiden tidak direalisasikan oleh aparatur negara di bawahnya, bukan berarti pengorbanan kita sia-sia. Jangan jadikan peristiwa saat ini menjadi preseden buruk bagi masa depan generasi mendatang. Kata Martin: “Tuhan telah memerintahkan kita untuk memaafkan. Kalau tidak, kita juga mungkin tidak akan dimaafkan. Segalanya harus dimaafkan, khususnya mereka yang tidak berpikir sehat.”
Begitulah, kisah tentang Martin Avdeich, yang memang hanyalah sekadar cerita pendek, namun kisah kriminalisasi dengan alat Undang-undang ITE adalah cerita yang sangat panjang. Entah sampai kapan kita bisa menemukan ujungnya.

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)