
Terakota.id–Air mata meleleh di pelupuk mata anak ZA, 17 tahun, saat berada di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam, Wajak, Kabupaten Malang, Jumat 31 Januari 2020. Kesedihan bergelayut terutama saat orang tua yang mengantarkan, berpamitan pulang. ZA diantar orang tua, penasihat hukum, jaksa Kejaksaan Negeri Kepanjen dan petugas Balai Pemasyarakatan Malang ke LKSA Darul Aitam.
Anak ZA merupakan terpidana kasus pembunuhan begal. Ia bakal menjalani hukuman setahun pembinaan di LKSA Darul Aitam, sesuai keputusan hakim di Pengadilan Negeri Kepanjen. Selama setahun, ZA bakal berpisah dengan kedua orang tuanya. Selain mendalami ilmu agama, ZA juga tetap bakal menjalani pendidikan formal.
ZA diterima Pimpinan Pondok Pesantren Darul Aitam, KH Mustafid Abdurrahman dan pengurus Ustad Surono. Penasihat hukum ZA, Bakti Riza Hidayat berharap ZA cepat beradabtasi dan belajar agama dengan baik. “Sebulan lagi, dia harus mengikuti ujian nasional,” kata Bakti.
Hakim anak Nuny Defiary dalam amar putusannya di Pengadilan Negeri Kepanjen, Kamis 23 Januari 2020 menyatakan sesuai fakta di persidangan anak ZA terbukti bersalah. “Mengadili menyatakan anak terbukti secara sah melakukan penganiayaan yang menyebabkan meninggal. Sesuai dakwaan subsider. Menjatuhkan pidana kepada anak dengan pembinaan dalam lembaga LKSA Darul Aitam di selama satu tahun,” kata Nuny.
Vonis hakim anak ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Juga dibebani membayar ongkos perkara Rp 5 ribu. Persidangan berlangsung singkat, selama 55 menit. Pembacaan putusan disampaikan secara terbuka, setelah sebelumnya dilangsungkan tertutup sesuai Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sidang dilangsungkan marathon, berlangsung tujuh kali sidang.

Hakim tunggal ini juga memerintahkan Balai Pemasyarakatan Malang untuk mendampingi dan membimbing anak ZA, 17 tahun selama masa pembinaan. Serta melaporkan perkembangan kepada jaksa.
Hakim anak Nuny mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan selama persidangan. Yakni anak ZA memiliki potensi dan bakat yang harus diselamatkan untuk masa depan. Serta diterima di lingkungan sekolah dan teman sekolah. “Hukuman ini bertujuan bukan untuk memberi balasan atas perbatannya. Tetapi agar anak memahami kesalahannya,” katanya.
Tujuannya, agar anak ZA memperbaiki perlakukan di kemudian hari. Menurutnya, putusan tersebut cukup pantas dan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Selama persidangan, anak ZA menjalani penahanan kota sejak perkara membunuh begal 10 September 2019.
Anak ZA bersama teman wanita dibegal pada malam hari dalam kondisi jalan sepi di area perkebunan tebu Gondanglegi, Kabupaten Malang. Begal empat orang, merampas telepon seluler dan mengancam memperkosa teman perempuannya.
Penasihat hukum ZA Bhakti Riza Hidayat menjelaskan anak ZA membela diri dari ancaman begal. Bhakti menjelaskan JPU mendakwa anak ZA dengan pasal berlapis. Setidaknya empat pasal didakwakan kepada anak ZA. Yakni dakwaan primer Pasal 340 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pembunuhan berencana, subsider pasal 338 tentang pembunuhan dan Undang Undang Darurat atas kepemilikan senjata tajam.
“Semua tak terbukti di persidangan,” katanya. Lantaran pisau yang digunakan mengabisi begal tersebut merupakan alat yang digunakan untuk keterampilan di sekolah. Membuat kriya berbahan tongkat es krim. Hakim anak Nuny memutuskan ZA terbukti pasal 351 ayat 3 penganiayaan yang menyebabkan kematian.
“Hakim tak mempertimbangkan pasal 49 ayat 1 dan ayat 2, yakni unsur pembenar dan pemaaf menjadi dasar pertimbangan,” katanya. Anak ZA, kata Bhakti, mengakui terjadi penikaman. Namun, kenapa terjadi penikaman? Bhakti menjelaskan jika ZA terdesak dan terancam. Lantaran telepon seluler diambil dan teman perempuannya diancam akan dipemerkosa.
Anak ZA Hadapi Ujian Nasional SMA
Balai Pemasyarakatan (Bapas) Malang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bakal mendampingi anak ZA, 17 tahun selama menjalani vonis hakim anak. Eksekusi putusan dilakukan setelah memiliki keputusan hukum tetap.
Petugas Pembimbing Kemasyarakatan Madya Bapas Malang Indung Budianto menjelaskan anak ZA tetap bisa bersekolah. Termasuk mengikuti ujian nasional Sekolah Menengah Atas. “Masih sekolah, hak sekolah tetap dijamin,” katanya usai sidang.
Selama menjalani proses persidangan, anak ZA juga tetap bersekolah. ZA berstatus tahanan kota dengan wajib lapor. Anak ZA akan menjalani pembinaan selama setahun di LKSA Darul Aitam, Wajak, Kabupaten Malang.
Darul Aitam merupakan Pondok Pesantren yang bekerjasama dengan Bapas Malang. Lembaga berfungsi membina anak bermasalah dengan hukum (ABH). Kerjasama dilangsungkan sejak setahun lalu.

Selama pembinaan, akan diantar dan dijemput dari LKSA ke sekolah bersangkutan. Orang tua dan petugas pembimbing kemasyarakatan akan mendampingi selama bersekolah. Apalagi, lima bulan lagi anak ZA bakal mengikuti ujian nasional SMA.
“Gambarannya seperti santri. Belajar agama di Pondok Pesantren,” katanya. Selama di LKSA, katanya, bakal dilakukan pembinaan mental, seperti mengaji dan mendapat dukungan psikologi. Pembinaan mental, disesuaikan dengan tujuan pembinaan agar masa depan anak tak terganggu.
LKSA Darul Aitam, Wajak, Kabupaten Malang saat ini tengah menangani dua ABH lain. Berkaitan dengan kasus pembunuhan dan narkoba. Indung menjelaskan pembinaan dilakukan, ujar demi masa depan anak.
Indung ditunjuk mendampingi ZA selama proses hukum berlangsung. Berdasar penilaian awal Indung, kondisi kejiawaan anak ZA normal. Berbeda dengan saat usai kejadian yang terlihat syok. Meski diakui anak ZA sempat tergoncang ringan. Secara psikologis Bapas Malang akan melakukan penilaian dini kondisi psikis anak.
Anak ZA kepada jurnalis Terakota.id menyatakan tengah berkonsentrasi belajar. Terutama untuk persiapan ujian nasional SMA. Pelajar kelas 3 SMA ini mengaku selama ini tertekan. Tak ada waktu untuk belajar. Lantaran anak ZA harus sering bolak balik menjalani pemeriksaan di markas Kepolisian Resor Malang di Kepanjen dan sidang di Pengadilan Negeri Kepanjen.
Saat ditanya apakah akan melanjutkan pendidikan? “Pasti. Ada keinginan melanjutkan kuliah,” kata ZA. Namun, ia enggan menyebut jurusan yang bakal diambil saat melanjutkan pendidikan tinggi. Anak ZA mengaku susah dan syok sejak ada kasus ini.
Dukungan teman dan guru membesarkan hatinya. Sebelum kejadian pembegalan yang berakhir dengan pembunuhan, ZA merupakan pelajar biasa yang rajin sekolah. “”Mohon doakan saja. Beban pikiran ada, saya cuma cerita ke kuasa hukum,” katanya.
Ia tak pernah mendapat pendampingan psikologi. Tremasuk tak ada konseling dari guru bimbingan konseling. “Sering ijin selama ini. Cita-cita ingin menjadi orang sukses saja,” ujar anak ZA.
Penasihat hukum Bhakti menilai anak ZA membutuhkan konseling psikolog. Agar kejiwaannya kembali stabil. Sebab selama ini, ZA syok lantaran tak membayangkan akan menjalani proses hukum sepanjang ini. “Butuh dukungan psikolog. Saat ini belum ada yang mendampingi,” ujarya.
Bapak tiri ZA mengaku syok, anaknya menjadi terdakwa kasus pembunuhan. Malam saat kejadian, anak ZA bersama teman perempuan tengah menonton konser musik di stadion Kanjuruhan, Kepanjen, sekitar lima kilometer dari rumah. Saat pulang melintasi perkebunan tebu, anak ZA dihadang empat begal mengendarai dua sepeda motor.
“Waktu itu dia cerita. Tapi sata tak percaya. Dia anak baik. Biasa saja, pagi sekolah. Pulang sekolah di rumah atau bermain futsal,” katanya. Menurutnya, selama ini ZA bukan tipikal anak yang nakal, Namun, ia pasrah jika anak bungsunya ini dinyatakan bersalah.
“Ya mau bagaimana lagi. Patuh pada hukum,” ujarnya.
Anak ZA Harus Dilindungi
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) Jawa Timur, Luthfi Jayadi Kurniawan menjelaskan anak ZA harus dilindungi. Proteksi atas identitas, keluarga dan perkara yang dihadapi. Dalam sisi psikologis, pelayanan anak harus memenuhi prinsip humanistis.
“Jika perkara ini disebarluaskan akan berdampak terhadap psikologi anak,” katanya. Yang dikhawatirkan secara psikologis akan berpengaruh terhadap kejiwaan anak. Sehingga dalam menjalankan pembinaan harus dilakukan pemulihan lingkungan social untuk mengembalikan kepercayaan lingkungan sosial.
“Anak yang mendapat stempel melakukan kesalahan hukum akan mempengaruhi perilaku,” katanya. IPSI Jawa Timur yang juga mengelola LKSA di sejumlah tempat, pembinaan terhadap anak bermasalah hukum harus dilakukan secara hati-hati. Pembinaan dilakukan berperspektif ramah anak. Lantaran jika pola pembinaan salah bisa berpotensi menimbulkan kejengkelan anak terhadap lingkungan anak.
Anak harus belajar terhadap masalah hukum yang dihadapi. Serta agar tak mengulangi tindakan yang sama. Penanganan terhadap anak bermasalah dengan hokum di LKSA ibarat berada di rumah aman. Tak semua orang bisa mengunjungi dan berinteraksi. Agar bisa segera memulihkan psikis dan sosial anak dari masalah yang dihadapi.
“Lembaga memberi pembinaan dan pendampingan agar anak agar bertindak sesuai norma hukum, sosial dan agama di lingkungannya,” ujar Luthfi. Agar anak ZA memahami jika tindakan yang bermasalah hukum itu, tidak dibenarkan dan tak diulangi.
LKSA, katanya, bukan mengambil alih masalah yang dihadapi anak. Namun justru mendampingi dan memberi solusi terhadap maslaah anak dan keluarganya. Selain itu social medical harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya. “Beri rumah aman demi kepentingan masa depan anak,” ujarnya.
Pendamping harus bisa mengembalikan kepercayaan diri, agar tindakan yang tak sepatutnya dilakukan tak kembali terjadi. Sedangkan Negara harus memberikan hak anak memperoleh pendidikan. “Hak belajar anak tak boleh terganggu. Seharusnya eksekusi bisa ditunda untuk memenuhi hak belajar,” katanya.

Jalan, baca dan makan