
Terakota.id–Percik api terlontar dari moncong senapan api mulai senjata laras panjang hingga pelontar granat dan bom. Suara rentetetan tembakan bersahutan, ledakan bom mengangetkan. Asap membumbung tinggi. Bulan bersinar terang. Suasana menegangkan.
Pekik,”merdeka” bergema. Juga terdengar jerit tangis, dan suara tangis pilu menyayat.
Dua kelompok tentara saling berhadap-hadapan. Kedua kubu saling menyerang. Bukan perang sungguhan, ini adalah pertunjukan teatrikal kolosal bertajuk “Perebutan Markas Komando antara Mayor Hamid Rusdi dengan Belanda.” Pejuang dipimpin Mayor Hamid Rusdi melawan tentara Belanda.
Para pejuang memberi perlawanan tanpa henti berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Kemenangan di depan mata. Mayor Hamid Rusdi mengobarkan semangat. Berbadan tegap, baju safari lengan panjang berwarna hijau membalut tubuhnya. Mengenakan sepatu lars dan berpeci.
Mayor Hamid Rusdi memimpin pertempuran untuk merebut markas komando. Kemenangan itu disabut suka cita. Para pejuang mengenakan baju hitam dan udeng kepala. Pakaian ini sebagai penanda jika perjuangan harus sampai tuntas.
Suguhan teatrikal ini menyedot perhatian warga Malang, Minggu 16 September 2018. Mereka larut dalam satu tarikan kata, “merdeka.” Perjuangan untuk merdeka harus ditebus dengan air mata, darah, dan nyawa. Aksi teatrikal dilangsungkan di halaman Balai RW 1 Kelurahan Sumbersari, Kota Malang.
Halaman Balai RW disulap menjadi lokasi medan perang. Atraksi teatrikal ini merupakan agenda paripurna dari rangkaian Festival Tawangsari Kampoeng Sedjarah 2018. Festival berlangsung selama tiga hari, mulai 14 sampai 16 September 2018. Selama tiga hari, festival menghadirkan pasar tradisional, pameran seni, terbang djidor, pemutaran film sejarah, kesenian musik keroncong, sinau sejarah, dan sebagainya.

“Sebagai media pembelajaran sejarah, khususnya perjuangan di Kota Malang. Fakta sejarah yang belum banyak diketahui masyarakat,” kata Ketua Pelaksana Festival Tawangsari Kampoeng Sedjarah, Syah Antoni kepada Terakota.id. Aksi teatrikal menjadi bagian metode penyampaian kisah sejarah tersebut.
“Lebih mengena karena banyak pihak terlibat menjadi aktor,” katanya. Festival kali ini merupakan tahun ke dua. Berlangsung setiap enam bulan sekali. Bagi anda yang belum sempat mengunjungi dan menikmati acara Festival Tawangsari Kampoeng Sedjarah jilid empat kemarin, tak perlu berkecil hati. Masih akan ada festival jilid lima dan seterusnya.
Festival ini bermula dari aktivitas komunitas pecinta sejarah, Reenactor Malang. Komunitas berdiri April 2007 yang sering mengulas sejarah kemerdekaan Indonesia. Khususnya berkaitan dengan sejarah di Malang. Selain itu juga berkaitan dengan sejarah selama Perang Dunia kedua. Awalnya komunitas ini bernama Laskar Ra’jat.
Ada Apa dengan Tawangsari?
Tawangsari, sebuah perkampungan padat bagian dari Kelurahan Simbersari, Kecamatan Lowokwaru Kota Malang. Kini menjadi perkampungan padat yang dikelilingi sejumlah perguruan tinggi. Kawasan ini tak asing di telinga mahasiswa. Siapa sangka jika masa perang kemerdekaan, Tawangsari merupakan lokasi penting.
Tawangsari masa lampau, menjadi lokasi penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Terutama selama agresi militer Belanda I dan II. “Kampung ini dulu markas komando, dipimpin Pak Sumitro, bawahan Mayor Hamid Rusdi,” kata Syah Antoni mengenang.
Sebuah rumah di Jalan Sumbersari gang 3 Nomor 190 diyakini sebagai Markas Gerilya Rakyat Kota (GRK) Malang. Kini rumah itu milik pasangan suami istri, Tamsir dan Kamsani. Sebuah peta terbitan Belanda dari FDK Bosch 1924 mencatat nama Dusun Ketawangsari.
Mayor Hamid Rusdi merupakan seorang tokoh pejuang dari Malang. Ia berlatih sebagai tentara PETA saat pendudukan Jepang. Bom atom yang jatuh di Hiroshima dan Nagasasi mengubah peta perang. Jepang diusir dari Indonesia.
Senjata milik tentara Jepang dilucuti. Hamid Rusdi kemudian bergabung dengan Badan Kemanaan Rakyat (BKR), yang menjadi cikal bakal TNI. Hamid Rusdi di Malang menjadi komandan pelucutan senjata milik tentara Jepang. Setelah Jepang hengkang, kemudian Belanda kembali hendak menduduki Indonesia.
Peristiwa yang dikenal dengan istilah Agresi Militer Belanda I dan II. Dalam fase ini Hamid Rusdi berperan penting dalam perjuangan mempertahankan Kota Malang. Ia memimpin kelompok gerilyawan yang tergabung di Gerilya Rakyat Kota (GRK).
Hamid Rusdi pula yang memprakarsai lahirnya bahasa walikan khas arek Malang. Bahasa walikan atau kiwalan saat itu merupakan bahasa sandi menghindari mata-mata atau spionase Belanda. Malang menjadi Ngalam. Melok (ikut) menjadi kolem. Saya menjadi ayas. Kamu menjadi umak dan sebagainya.

Hamid Rusdi gugur di tangan tentara Belanda. Ia ditembak bersama empat orang temannya di Wonokoyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Hamid Rusdi gugur di usia muda, 38 tahun. “Festival ini salah satu cara mengingat perjuangan Hamid Rusdi di Kota Malang.”
Termasuk usaha mempertahankan Tawangsari dari tangan Belanda. Selain itu juga memberi gambaran kehidupan warga Malang era perjuangan. Tidak hanya warga Tawangsari atau kini dikenal Sumbersari yang antusias hadir di festival. Ribuan warga dari berbagai daerah berdatangan. Bahkan, ada yang datang dari luar Kota Malang.
“Acaranya bagus dan menyenangkan. Sempat iri sih, kok kampung saya belum ada festival seperti ini,” tutur salah seorang pengunjung asal Karangbesuki, Kota Malang Sanik Puji Astutik.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict
[…] kuliner khas Madura tersaji di warung “Nyaman Onggu” Jalan Bendungan Sutami Nomor 55, Sumbersari, Kota Malang. Harga terjangkau, ramah di kantong dan rasa enak membuat lidah ingin menyecap sajian […]