
Catatan atas Ziarah Kebun Kopi, Edisi : Jelajah Kopi Jawa (Bagian 3-habis)
Oleh : Ajeng Kesuma*
Terakota.id–Setelah menikmati makan siang nan nikmat, kami mulai dimanja dengan tutur Ema. Ia mengisahkan perkenalan pertamanya pada tanaman kopi. Dulu sekali. Ketika Ema masih anak-anak memasuki usia remaja, bapaknya yang seorang petani sudah menanam kopi di pekarangan. Tidak banyak, hanya ada lima pohon. Sebab hanya diperuntukkan sebagai tanaman pagar dan memenuhi konsumsi kopi keluarga.
Sejak itu Ema Okon mulai suka dengan tanaman kopi. Ia merasa gembira ketika melihat bunga-bunga kopi yang wanginya memenuhi pekarangan mulai bermekaran. Kegembiraannya bertambah setiap melihat biji-biji kopi yang bulat kecil tampak mulai memerah. Ema Okon mulai menanam dua pohon kopi di kebun dan merawatnya hingga besar. Kemudian bertambah, bertambah, dan semakin banyak tersebar di lahan kebun yang tidak begitu luas.
Kebun Ema Okon memang tidak terlalu luas, tak sampai satu hektare. Tanah kebun milik bapaknya yang mencapai tiga hektare sudah lama habis dibagi-bagi untuk anaknya sebagai warisan. Awalnya Ema Okon hanya memiliki sepetak tanah kebun sekitar 70 tumbak, kini ada tiga petak yang diperoleh Ema Okon dengan membeli, dengan menyisihkan hasil kebun sedikit demi sedikit.
Lokasi kebun Ema Okon juga tidak berada dalam satu tempat, tersebar di tiga titik. Semua berada tidak jauh dari rumah. Di tanah kebun tersebut, Ema Okon yang kini tak lagi muda, merawat sekitar 500 pohon kopi, semua jenis arabika.
“”Ah…Ema mah resep we kana kopi teh. Ti ema leutik, resep ninggali kembang sareng buahna nu beureu,.” kata Ema, ketika kami bertanya, kenapa Ema Okon memilih menanam kopi.
Biji Merah Dipetik, Biji Hijau Tabungan
Kami melanjutkan obrolan dengan Ema Okon sambil menuju kebun Ema di dua lokasi yang berbeda. Kebun Ema yang pertama kami kunjungi cukup dijangkau dengan lima menit dengan berjalan kaki. Di kebun itu pohon-pohon kopi tumbuh subur dengan jarak tanam yang agak rapat. Mungkin Ema terlalu semangat nanam kopi, sementara luas lahannya kurang bisa memenuhi keinginannya.
Tidak banyak tersisa biji berwarna merah, hanya ada beberapa. Tetapi di tiap pohon deretan biji kopi hijau masih terlihat kuat menempel pada dahan yang menjutai. Kata Ema, biji hijau ini tabungan, beberapa minggu lagi, setelah merah ia akan siap dipetik.
Dari cerita ema kami ketahui, Iqbal cucunyalah yang menyarankan Ema untuk memetik hanya biji yang berwarna merah. Sebab kopi yang dihasilkan akan memberikan cita rasa yang berbeda, terasa lebih harum, manis tanpa getir. Secara ekonomis, tentu saja menjual hasil olahan biji kopi merah memberikan keuntungan yang lebih baik daripada menjual kopi dengan kualitas campur (biji merah dan hijau).
Iqbal tidak berhenti sekedar menyarankan Ema. Ia sendiri mengambil peran sebagai pembeli dan pengolah biji kopi petik merah yang oleh Ema telah dikeringkan dalam bentuk gabah. “Awalnya hanya sedikit, cuma berani minta ema menyisihkan biji kopi petik merah 20 kg saja untuk saya olah, itu pun sebenarnya ema agak ragu dengan keseriusan saya”, tutur Iqbal menjelaskan perjalanan awalnya mengolah kopi Ema.
Kopi yang tidak dijual ke Iqbal, oleh Ema tetap dijual ke tengkulak. Bagaimana pun kopi-kopi tersebut tetap harus menghasilkan uang. Hasil penjualan kopi itu yang menopang biaya hidup Ema terutama untuk kebutuhan yang harus diperoleh dengan uang.
Dalam dua tahun terakhir, kondisinya berubah. Kini ema tidak lagi menjual biji kopinya ke tengkulak. Semua hasil panen disalurkan ke Iqbal untuk diolah sendiri menjadi kopi sangrai. Bahkan tidak jarang Iqbal kehabisan stok greenbean, sebab pesanan untuk kopi sangrai dari berbagai tempat semakin banyak masuk ke Iqbal.
*Pegiat kopi asal Bandung

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi