Merawat Kebhinnekaan di Indonesia

merawat-kebhinnekaan-di-indonesia
ILustrasi : pinterest.com
Iklan terakota

Oleh Mohamad Anas*

Terakota.id–Sikap intoleran merupakan sikap menutup diri terhadap orang lain yang berbeda keyakinan, agama, budaya dan bahkan ras. Kecenderungan sikap ini lebih membenarkan keyakinan sendiri dan memandang perbedaan bukan fitrah Tuhan, akan tetapi justru menjadi musibah bagi dirinya. Pada titik yang lebih membayakan, sikap ini mengarah pada anti perbedaan dan memandang Negara (aparatus ideologis) harus bertanggung jawab untuk menghilangkannya.

Sikap demikian jelas bertolak belakang dengan falsafah Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika.  Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya telah ada di kitab Negara Kartagama yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua yang berarti “meskipun agama-agama itu kelihatan berbeda bentuk namun pada hakekatnya satu jua” (Fauzi, 1983: 17). Dari zaman Majapahit ini telah bisa diambil nilai-nilai seperti persatuan dalam keberbedaan.

Dengan wilayah yang sangat luas, yakni seluruh wilayah nusantara, Majapahit telah memberi ilham persatuan nusantara menjadi persatuan Indoesia. Ia juga telah memberi contoh bagaimana Indonesia mengusahakan keadilan sosial bagi masyarakat, yakni menuju keadaan negara berdaulat, bersatu dan berwilayah Nusantara, mencapai kehidupan yang “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kerta raharja” (Darmodihardjo dkk, 1991: 21).

Dasar falsafah kebhinekaan ini berangkat dari realitas keindonesiaan yang memang plural, kebhinekaan selalu mempunyai dua sisi yang harus dipahami. Satu sisi jika dikelola dengan bijaksana, maka akan melahirkan sintesa peradaban tinggi sebab meletakkan bagian-bagian yang berbeda itu mempunyai potensi masing-masing untuk disatukan. Meletakkan peran masing-masing dalam harmoni keberagaman, seperti sebuah orkesta musik yang dengan peran masing-masing dari alat-alat musik tersebut.

Dalam konteks teori multikultural, model demikian disebut sebagai integrative-pluralis. Visi pandangan ini tidak melihat identitas nasional sebagai sebuah payung besar yang memayungi semua kelompok kultural dibawahnya, tetapi terdiri dari sekumpulan payung yang terkait satu dengan lainnya. Kekuatan dari kerangka nasional tergantung pada keterkaitan antar payung-payung tersebut, atau dengan kata lain pada seberapa konstruktif yang efektif interaksi yang dijalin oleh kelompok-kelompok kultural  yang berkoeksistensi dalam suatu negara.

Dalam analogi sederhana, Soediman K. melihat falsafah kekeluargaan sebagai basis untuk mengelola perbedaan. Dalam ikatan sebuah keluarga, ayah, ibu, anak mempunyai peran dan posisi masing-masing yang berbeda, tetapi mereka diikat (disatukan) oleh ikatan darah, keluarga. Inilah yang kemudian disebut dengan semboyan, “perbedaan dalam kesatuan”. Sementara semboyan “persatuan dalam perbedaan”, diartikan bahwa meskipun dalam keluarga disatukan oleh hubungan darah, akan tetapi keluarga mengakui akan kepribadian setiap individu yang berbeda-beda (Soediman, K, 1986: 16-17).

Landasan filosofis di atas, menjadi pijakan utama yang membuat project yang diinisiasi oleh para dosen Pusat MPK UB. Kumpulan dosen penjaga keIndonesiaan ini memberi nama Moral Camp. Istilah Moral sesunguhnya akronim dari Merawat Religiusitas, Rasionalitas dan Literasi. Religiusitas yang dimaksudkan berisi sikap beragama yang tawasuth, moderat, dan bahkan kontekstual dengan nilai-nilai Ke-Indonesiaan.

merawat-kebhinnekaan-di-indonesia
Ragam suku dan budaya tersebar di seluruh penjuru Nusantara. (Ilustrasi : pinterest.com)

Sikap religiusitas ini dapat diukur dengan melihat kemampuan subjek (alumni peserta Moral Camp) yang menebarkan agama perdamaian untuk sesama. Model baragama yang berada di jalan tengah ini sesungguhnya selaras dengan cara berpikir Pancasila yang bercorak dialektis, yakni berpikir dalam konteks praksis dan adaptif tanpa menyingkirkan perbedaan-perbedaan yang ada. Jalan tengah (sintesa) dari cara berpikir ini merupakan ‘jawaban tentantif’ di mana dalam proses kesadaran sejarah terus berjalan dan terus berproses.

Sementara dimensi Rasionalitas yang diusung dalam konteks Moral Camp adalah rasionalitas bertujuan (istilah Weber). Rasionalitas bertujuan adalah rasioanalitas yang mendorong setiap warga negara ‘berdialog’ di ruang bersama untuk mencapai konsesus. Ruang kebangsaan harus diisi oleh subjek-subjek yang dengan kemampuan rasionalnya mampu ‘berinteraksi’ tanpa memandang perbedaan.

Tujuan utama dalam rasionalitas bertujuan ini adalah akal waras yang terus dimaksimalkan untuk saling terbuka, menerima perbedaan, pemahaman dan berujung pada visi pemeradaban yang berkeadilan. Rasionalitas bertujuan akan mengalami kendala jika subjek-subjek tidak mampu bersikap terbuka (inklusif), komunikatif dan partisipatoris. Ruang bersama harus terus menerus dibuka agar komunikasi antar subjek dengan sikap rasionalitas bertujuan dalam menghasilkan masyarakat Pancasila yang terbuka.

Pada aspek literasi menjadi pengejawantahan dari proses pembentukan pribadi yang religius dan rasional sekaligus. Literasi menjadi saalah satu wujud nyata dari praktik-praktik keberagamaan, literasi menjadi ruang penuangan gagasan-gagasan atau refleksi dari hasil atau proses dielektis di ruang publik serta pengalaman-pengalaman selama proses dialog di masyarakat. Literasi juga menjadi trace (istilah Derrida) yang dapat dibaca, direproduksi atau bahkan menjadi produksi baru yang berisi nilai-nilai toleransi dari proses religiusitas dan rasionalitas.

Tiga nilai dasar atau fundemental itu dikemas atau dimodifikasi dalam kegiatan Moral Camp. Acara ini mempunyai dasar kuat yang memfokuskan diri pada upaya merawat kebhinnekaan melalui pendidikan berbasis kontekstual. Konsep dasar acara ini diikui oleh mahasiswa lintas fakultas di lingkungan Universitas Brawijaya, mereka selama 3 hari akan tinggal di rumah warga, tepatnya di Dusun Jamuran, Desa Sukodadi Kecamatan Wagir.

Pilihan pada Dusun Jamuran di tahun 2019 ini dikarenkan pada dusun ini praktik toleransi berjalan dengan sangat baik. Di samping mendapatkan materi pembekalan oleh pemateri yang ahli di bidang toleransi dan agama, subjek akan langsung berinteraksi dengan warga atau pemilik tempat tinggal sekaligus dengan tokoh-tokoh agama. Tujuan dari pembelajaran ini agar mahasiswa betul-betul memahami dan sekaligus mempunyai sikap terbuka karena bersentuhan langsung dengan warga sekitar.

Hal yang tak kalah penting adalah interaksi dengan para tokoh-tokoh agama, para tokoh agama Kristen, Hindu dan Islam secara bergantian akan dikunjungi oleh mahasiswa atau subjek. Harapan utama dari kunjungan langsung dengan para tokoh agama ini adalah agar terjadi pemahaman yang proporsional tentang masing-masing agama. Lebih dari itu, kunjungan ke masing-masing tokoh agama ini juga diharapkan memperoleh informasi mengenai kehidupan yang toleran di Dusun Jamuran Sukodadi Wagir Malang.

Realitas di Dusun Jamuran memang cukup unik, Dusun ini mempunyai tiga tempat ibadah, yakni Masjid, Pondok Do’a (GKJW) dan Pura. Dari hasil wawancara yang dilakukan, setidaknya dalam tiga nilai dasar yang menjadikan Dusun Jamuran dapat disebut Desa Toleransi. Kearifan lokal, seperti bersih desa atau ogoh-ogoh, menjadi media yang sangat ampuh dalam merawat toleransi warganya. Proses partisipasi, komunikasi bahkan kerjasama betul-betul berjalan tanpa memandang agama. Proses persiapan perayaan-perayaan agama dilaksanakan secara gotong-royong dan dilaksankan secara bergantian.

Kehidupan toleran yang tinggal di Dusun Jamuran ini juga ditopang oleh nilai agama yang sangat terbuka terhadap perbedaan, nilai-nilai agama yang dimunculkan dipermukaan mampu diterima dengan tangan terbuka oleh pemeluk agama lain. Akibatnya, nyaris tidak ada benturan keyakinan di antara pemeluk agama yang berbeda. Di samping itu, komunikasi antar tokoh agama berjalan dengan sangat baik, sehingga ketika terjadi sedikit saja permasalahan akan segera dapat ditangani dengan baik.

Hal yang juga cukup menjadi penopang akan langgengnya toleransi di Dusun Jamuran ini adalah proses transmisi nilai-nilai toleran dari generasi tua ke generasi penerusnya. Hal ini sangat penting karena jika tidak dilakukan, maka akan sangat mungkin tradisi toleransi yang telah lama terbangun akan mengalami kemerosotan.

Stokeholer lain yang sangat berperan dalam toleransi di dusun ini tentu saja para tokoh agama setempat. Komitmen mereka dalam merawat umat, mendidik umat serta bagaimana tetap memberikan pemahaman kepada umat untuk terus menerus menjaga kehidupan yang harmonis dan berkeadaban.

Moral Camp Pusat MPK Universitas Brawijaya merupakan ujung tombok dari keberhasilan merawat keberagamaan, meskipun mungkin masih berskala kecil. Namun, setidaknya ini menjadi usaha tanpa lelah dari para dosen Pusat MPK UB agar para calon pemimpin bangsa (mahasiswa) dapat berpikiran terbuka, menerima perbedaan dan sekaligus menjadi duta perdamaian bagi Indonesia Raya.

Tabik.

*Dosen Pancasila dan Filsafat, Sekretaris Pusat Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Universitas Brawijaya