Sebanyak 35 personil Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dimakamkan dalam satu liang lahat. Mereka gugur dalam pertempuran selama lima jam menghadang tentara Belanda pada 31 Juli 1947. (Terakota/ Eko Widianto),
Iklan terakota

Terakota.id“Perdjoeangan Koeteroeskan Sampai ke Achir Djaman” sebuah pesan tertulis di dinding Monumen Pahlawan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) di Jalan Pahlawan TRIP Kota Malang. Di sini, 35 jasad anggota TRIP dimakamkan dalam satu liang lahat. Monumen dibangun sebagai tetenger atas gugurnya 35 pejuang. Nama mereka diabadikan dalam pahatan granit.

Mereka gugur dalam pertempuran sengit selama lima jam menghadang tentara Belanda yang masuk ke Malang saat Agresi Militer Belanda I pada 31 Juli 1947. Tentara pelajar Brigade XVII  Detasemen I/ TRIP Jawa Timur merupakan pelajar SMP dan SMA yang dilatih bertempur.

Berbekal senjata rampasan dari tentara Jepang, menghadang tentara Belanda yang dilengkapi senjata berat. Bahkan menggunakan kendaraan lapis baja Amtrack yang dilengkapi senjata otomatis. Persenjataan tak seimbang, seluruh anggota TRIP gugur dalam pertempuran itu.

Di lahan seluas lapangan voli ini, dinding kompleks monumen dihiasi ornamen dan relief prajurit TRIP yang bertempur. Diresmikan Presiden Sukarno pada 1959, monumen menjadi penanda militer Belanda menyerang dengan membabi buta.

Dalam buku berjudul Perjuangan Total Brigade IV karya Nur Hadi dan Sutopo, diterbitkan IKIP Malang dan Kodam V/ Brawijaya 1997 dijelaskan prajurit TRIP melepas tembakan saat tentara Belanda melintas di Jalan Salak (Kini Jalan Pahlawan TRIP).  Para prajurit TRIP berlindung di parit-parit tepian lapangan pacuan kuda.  Sebanyak 35 prajurit gugur dalam pertempuran itu.

“Sorenya, jenazah dikubur sekelompok tawanan Belanda dalam satu liang besar. Tak jauh dari markas TRIP di Jalan Salak,” tulis Nur Hadi dan Sutopo. Empat batang pisang ditanam di pojok makam sebagai penanda liang lahat para pejuang TRIP yang gugur. Kini, lokasi tersebut menjadi Monumen Pahlawan TRIP.

Lokasi pemakaman personil TRIP yang gugur menjadi Monumen Pahlawan TRIP. (Terakota/ Eko Widianto).

Republik Indonesia menyebut Agresi Militer Belanda sebagai serangan tidak sah di Negara berdaulat. Melanggar Perjanjian Linggarjati, bahwa Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia meliputi Jawa, Madura dan Sumatera. Sedangkan Belanda menyebut politionele acties atau aksi polisionil.

Belanda menganggap wilayah Republik Indonesia banyak kekerasan yang dialami orang Indo, etnis Tionghoa dan Ambon. Pada periode bersiap, mereka dianggap pihak yang bekerjasama Belanda. Belanda menganggap Republik Indonesia tidak mampu mengatasi keamanan dan ketertiban.

“Ada dokumen dan arsip Belanda menyebut semacam wabah atau kekeringan, kelaparan di desa-desa. Warga harus segera diselamatkan agar situasi tak memburuk,” kata sejarawan Universitas Negeri Malang, Reza Hudiyanto. Aksi polisionil dengan sandi Operatie Product dilancarkan ke daerah gemuk yang kaya hasil bumi seperti Jawa Timur, Bandung, dan Palembang.

Tentara Belanda Merebut Malang

Serangan ini direncanakan Belanda sejak November 1946 untuk mengembalikan tatanan pemerintahan sebelum Jepang menyerbu Jawa. Mulai Januari 1947 rencana mendatangkan divisi dari mobilitas umum atau wajib militer. Reza mengutip buku karangan Herman Burger’s berjudul de garoeda en de ooievaar; Indonesië van kolonie tot nationale staat yang menyebut parlemen Belanda menginginkan tekanan dengan melakukan operasi militer.

“Perundingan Linggarjati alot. Sambil berunding, Belanda membangun kekuatan militer dengan wajib militer pada akhir 1946 sampai 1947,” kata Reza. Dipimpin Jenderal Simon Hendrik Spoor, sebanyak 100 ribu personil tentara Belanda mendarat di Pasir Putih, Situbondo 21 Juli 1947. Serangan mengarah ke Probolinggo, Pasuruan, dan Malang. Serangan lain ke Jember dan Banyuwangi.

Malang dan Banyuwangi menjadi sasaran serangan, lantaran memiliki “Produk” yang kaya hasil perkebunan. Meliputi kebun kopi, coklat, teh dan gula. Sedangkan perusahaan perkebunan tak bisa mengembalikan usaha tanpa jaminan keamanan dan keselamatannya. Sehingga tentara Belanda menguasai daerah tersebut.

“Belanda juga membutuhkan uang untuk membiaya basis militer di Surabaya. Semakin lama dan makin banyak, Belanda  membutuhkan uang banyak,” katanya.

Nur Hadi dan Sutopo dalam buku Perjuangan Total Brigade IV terbitan IKIP Malang dan Kodam V/ Brawijaya 1997 menyebut pada 23 Juli 1947 serdadu Belanda sampai di Lawang, Kabupaten Malang. Pasukan Polisi Perjuangan (P3) dan pasukan pelajar menghadang. “Jalan raya Lawang sampai Malang dipenuhi rintangan mulai pohon yang ditebang, jebakan tarik hingga ranjau darat,” tulis Nur Hadi dan Sutopo.

Para pemimpin membahas rencana pertahanan di Kota Malang. Kantor telegraf sebagai sarana komunikasi diledakkan. Pasukan TRIP dikirim ke garis depan daerah Porong, Pandaan dan Tretes-Trawas. Sebagian tersebar di Malang Selatan bersama rakyat menghadapi kemungkinan terburuk.

“Sebelum Belanda menyerang, Kota Malang akan dikosongkan, objek vital dibumihanguskan,” tulis Nur Hadi dan Sutopo. Gedung Balai Kota Malang, gedung HBS (Hoogere Burger School) atau Sekolah Tinggi Warga Negara, Kantor Asisten Residen, Hotel Palace, dan sejumlah gedung penting lainnya dibakar.

 

 

“Strategi bumi hangus sangat efektif, karena senjata dan pasukan utuh. Jika perang secara frontal senjata disita, personil banyak yang meninggal. Kapan akan memukul balik?,” kata sejarawan Universitas Negeri Malang, Reza Hudiyanto.

Reza membandingkan persenjataan TKR yang menggunakan senjata warisan Jepang meliputi stand gun, Arisaka T 99 dan T 100. Sedangkan tentara Belanda didukung armored personnel carrier seperti meriam, pesawat P 51 Mustang, kendaraan lapis baja Amtrack yang dilengkapi senjata browning kaliber 12,7 milimeter.

“Kelemahan kita di komunikasi, serangan tak terkoordinir, dan senjata lemah,” katanya.   Belanda juga mengintai dari udara, dan menjatuhkan bom di stasiun kereta api dan kendaraan sepanjang jalan raya Malang-Surabaya. Pada 31 Juli 1947, Belanda memasuki Kota Malang. Beberapa kendaraan berat melenggang di jalan utama. Diiringi pasukan bersenjata.

“Sesekali terdengar ledakan mortier di beberapa sudut kota,” tulis Nur Hadi dan Sutopo. Kota Malang kosong. Pertahanan diperkuat di Malang Selatan. Gerilyawan kota dipusatkan di Jalan Soeropati dan markas Dodik (Depot Pendidikan), komplek CODM Turen. Sedangkan markas cabang di pemandian, kini SMA Kristen, Jalan Semeru Kota Malang.

“Belanda menghancurkan bangunan gedung utama, stasiun hingga jalan raya. Lapangan terbang dirusak termasuk pesawat udara,” tulis Nur Hadi dan Sutopo. Wilayah Blimbing yang dikosongkan, diduduki pasukan Belanda. Mayor Jenderal Baay yang memimpin pasukan menembakkan mortir ke arah pusat kota. Gedung-gedung di sepanjang Jalan Ijen hancur.

Kisah Klasik Veteran Malang

Berkaos loreng hijau, Salim alias Saiman (94 tahun) berambut cepak khas tentara, postur tubuhnya terlihat tegap. Sejak terserang stroke dua tahun lalu, ia harus menggunakan alat bantu berjalan. Sehingga ia banyak menghabiskan waktu di rumahnya Dusun Sumberpang Lor, desa Sumbersuko, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang.

Saat Agresi Militer Belanda, ia turut angkat senjata menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Mendaftar sebagai TKR bersama 12 temannya pada 1946. “Latihan tiga bulan di Lapangan Rampal. Dilatih senjata berat, canon, senjata rampasan dari Jepang,” ujar Salim.

Selepas merampungkan pendidikan TKR, Salim ditugaskan ke Sidoarjo di perbatasan Surabaya. Suasana kota sepi, penduduk setempat diungsikan. Sedangkan garis depan pertahanan di Buduran diisi bergantian oleh batalyon 1 divisi Untung Suropati,  ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dari Divisi I Pangkalan VII dan pasukan kelaskaran. Pos komando Gempol dipimpin Mayor Moetakat Hoerip.

Salim terlibat pertempuran di Waru, Sidoarjo. Persenjataan tak sebanding. Salim melihat peluru dan senjata Belanda lebih canggih dan modern. “Pasukan mawut (kacau), dihantam Belanda dari tank,” kata Salim.

Pertempuran di Sidoarjo terjadi sekitar pukul dua dini hari. Musuh dari gabungan Resimen Grenadiers dilengkapi senjata Korps Angkatan Laut Belanda, tentara Gurkha, Kompi Tank dan Angkatan Udara. Kawasan pusat Sidoarjo direbut malam itu juga.

“Di Tanggulangin, Sidoarjo, Belanda bersenjata tank, meriam lapangan dengan pasukan bermotor, mitrailleur berat, mortir berat, dan kendaraan panser. Beberapa pejuang Indonesia berjatuhan,” tulis Nur Hadi dan Sutopo.

Identitas Salim sebagai TKR tercium mata-mata Belanda. Tentara Belanda menggeledah rumah orang tuanya. Untuk mengelabui tentara Belanda, orang tua Salim membakar semua identitasnya. Mengganti nama menjadi Saiman. “Nami kulo pancen Salim, digantos Saiman (Nama saya memang Salim, diganti Saiman), ” ujarnya.

Rumah orang tua Salim juga menjadi persembunyian gerilyawan. Tentara Belanda menghabisi seluruh pejuang yang bersembunyi. Semua gugur, tak tersisa. Bahkan, rumah orang tua Salim dibakar. Beruntung, pasokan Salim mundur di daerah Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.

Nur Hadi dan Sutopo menyebut gerilya kota di Malang tak memiliki pemimpin formal. Kapten Soebowo yang direncanakan memimpin Kompi 338, tertangkap di Lumajang. Gerilyawan lantas dipindah ke daerah Wagir, pasukan dibagi dua. Di bawah pimpinan Letnan Dua Matrai dan Letnan Dua Soedianto. Mayor Hamid Roesdi dan satuannya ditugaskan bergerak ke selatan, mencari posisi pertahanan. Pasukannya menyebar, komando dipusatkan di Bululawang.

Kekejaman Tentara Belanda

Kekejaman tentara Belanda tak hanya dialami TRIP di Jalan Salak Malang. Sebanyak 46 dari 100 pejuang republik yang ditawan Belanda meninggal saat diangkut dalam gerbong barang dari Stasiun Bondowoso ke Stasiun Wonokromo, Surabaya pada 23 November 1947. Mereka diangkut dalam tiga gerbong barang yang tertutup rapat, tanpa ventilasi udara. Peristiwa ini dikenal dengan Gerbong Maut Bondowoso.

Saat memindahkan tawanan itu, para tawanan mengalami penderitaan yang dimulai dari Jember-Probolinggo, tawanan tumbang. Meningal. Puncak penderitaan mulai pukul 09.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB. “Gerbong maut bukti kekerasan luar biasa yang dilakukan tentara Belanda terhadap tawanan perang di Agresi Militer Belanda I. Belum pernah mendengar ada pengadilan militer yang menghukum pimpinan militer yang bertanggungjawab,” kata Reza.

Gerbong barang yang digunakan mengakut pejuang yang ditawan Belanda, kini tersimpan di Museum Brawijaya Kota Malang. Sebanyak 46 dari 100 pejuang republik meninggal saat diangkut dalam gerbong barang dari Stasiun Bondowoso ke Stasiun Wonokromo, Surabaya pada 23 November 1947. (Terakota/ Wulan Eka).

Perang yang melibatkan tentara nasional dengan penggunaan senjata yang merusak dan membunuh prajurit, hingga kini meninggalkan luka. Merunut jejak International Military Tribunal (IMT), tribunal militer berhasil mengusut tindak kejahatan dalam enam setengah bulan pasca Jerman menyerah.

Pengadilan IMT pada 20 November 1945 di Nuremberg, Jerman mendakwa 24 pejabat tinggi Nazi. Empat tuntutan dilayangkan atas konspirasi dan kejahatan perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

Sementara di Malang, mulai dari jejak kekerasan perang pejuang Indonesia bahkan tidak terdokumentasi. Narasi resmi lebih banyak ditemukan dari perspektif Belanda. Menurut Reza perlu penelitian lebih lanjut.  “Surat kabar Belanda mengabarkan teror membabi buta di kalangan penduduk Malang kala itu. Namun tak diketahui pasti siapa pihak di balik teror tersebut,” ujarnya.

Veteran pejuang kemerdekaan asal Sidoharjo, Wonogiri, Jawa Tengah, Soetarjo mengaku tiga kali ditangkap Belanda saat Agresi Militer I dan Agresi Militer II. Ia mengalami trauma berkepanjangan. Tertangkap saat kepergok operasi yang dilakukan tentara Belanda dan KNIL. Ia terakhir tertangkap di Wonogiri.

Kakinya dihantam popor senjata laras panjang. Hanya Soetarjo yang disiksa tentara Belanda saat itu. Sementara teman-temannya berhasil lari. Ia nyaris terbunuh, namun nasib baik masih berpihak pada dirinya. Ia selamat. “Senjata diisi, dikongkang. Mau diarahkan ke saya, tiba-tiba ada orang lari, senjata ditembakkan ke arahnya. Dia dipangil temannya dan naik truk,” katanya.

Nasib Veteran Kini

Soetarjo memilih meninggalkan dunia militer setelah Agresi Militer Belanda. Sempat bekerja sebagai tenaga kebersihan di sebuah markas militer. Lantas, ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten Malang. Kini, ia mendapat tunjangan sebagai veteran pejuang kemerdekaan.  “Keseluruhan menerima Rp 1,8 juta per bulan,” katanya.

Demikian juga dengan Salim, ia meninggalkan dunia militer sejak berakhir Agresi Militer Belanda. Ia memilih menjadi petani di desa. Kadang berjualan daun pisang dengan berjalan kaki ke Kota Malang sejauh 20 kilometer. “Mlaku nang Malang. Gak ana kendaraan. (Jalan kaki ke Malang. Tidak ada kendaraan),” tutur Salim.

Lantas pada 1980-an, ia menerima pensiun sebagai veteran pejuang kemerdekaan. Beruntung, sejumlah atasan dan teman sesama anggota TKR memperkuat bukti sebagai veteran. Kini, saban bulan ia menerima uang pensiun sebesar Rp 1,7 juta. Di usia senja, kini Salim merasa sendiri. Tak ada satupun teman bergerilya  yang masih hidup. “Berjuang toh-tohan e (Taruhannya) nyawa,” ungkapnya.

Total jumlah veteran di Kabupaten Malang sebanyak 542 orang. Meliputi veteran pejuang kemerdekaan, pembela hingga perdamaian. Veteran pejuang kemerdekaan tersisa 49 orang. Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kabupaten Malang Boimin mengatakan banyak veteran yang mengalami masalah kesehatan.

“Masalah kesehatan kurang mendapat perhatian. Kalau sakit, pengobatan seperti terabaikan. Biaya pengobatan mahal,” tutur Boimin. Pemerintah daerah Kabupaten Malang atau lembaga sosial kerap memberi tali asih. Disalurkan saat peringatan hari kemerdekaan atau hari Pahlawan.

 

Lembaga sosial kemanusiaan, Aksi Cepat Tanggap (ACT) Kota Malang menggalang dana sosial untuk veteran pejuang kemerdekaan. Panggalangan dana dilangsungkan selama tiga bulan, untuk memperingati Hari Pahlawan. Program berlangsung hingga pertengahan Desember melalui laman https://indonesiadermawan.id/VeteranMalang.

 Marketing Communication ACT Malang Firdiana W. Islam menjelaskan respons publik kurang maksimal. Padahal, mereka membutuhkan uluran tangan di masa tuanya. Para veteran memertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sampai 8 Desember 2021, terkumpul dana sebesar Rp 5,8 juta. “Kita ingin memberi apresasi kepada veteran saat hari Pahlawan,” katanya.

Dengan sisa tenaganya, Soetarjo masih menebarkan semangat perjuangan. Ia menyumbang 42 tiang bendera di lingkungannya. Juga menyiapkan tiang bendera berbahan logam sebagai tanda pejuang kemerdekaan yang akan ditancapkan di pusara.

“Ini medali bintang gerilya, dan tanda jasa pejuang kemerdekaan. Penerima bintang gerilya berhak dimakamkan di taman makam pahlawan,” katanya sembari menunjukkan tanda jasa yang menempel di dada seragam veteran.