Menziarahi Pahlawan Kemanusiaan, Relawan Palang Merah di Peniwen

Monumen Peniwen Affair dibangun mengenang relawan PMR yang gugur saat Agresi Militer Belanda. memuntahkan tembakan membabi buta 19 Februari 1949. (Foto: koleksi pribadi).
Iklan terakota

Terakota.id--Hening, angin berembus menerjang daun pepohonan. Dedaunan bak penari, bergoyang seolah menyapa siapapun yang melintas di Desa Peniwen, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang. Gonggong anjing menyalak memecah keheningan. Di antara pepohonan dan gedung Sekolah Dasar Negeri 2 Peniwen berdiri patung seorang relawan Palang Merah Indonesia (PMI) membopong seseorang yang lunglai. Peluru menembus tubuhnya.

Monumen dibangun untuk mengenang 12 relawan remaja PMI yang ditembak militer Belanda pada Agresi Militer Belanda ke dua. Masyarakat Peniwen merawat monumen beserta 12 makam relawan remaja PMI tersebut. Kisah pembunuhan relawan remaja PMI terekam dalam dua panil relief yang berada di monumen.

Relief pertama menggambarkan para relawan remaja menolong dan merawat tentara pejuang yang terluka. Relief kedua menggambarkan tentara Belanda menggiring para relawan remaja PMI yang di Rumah Sakit Husodo ke halaman. Para relawan diikat kedua tangan. Senjata api menempel di tubuh mereka, senjata menyalak para relawan terjatuh. Mati tertembak.

Bangunan rumah sakit kini hanya menyisakan pondasi, berdiri gedung Sekolah Dasar. Sedangkan monumen berdiri di samping gedung sekolah tersebut. Di bawah monumen, bersemayam 12 jasad relawan yang dibunuh secara membabi buta. Pusara para pahlawan kemanusiaan itu terjaga, dan terawat.

Monumen dibangun atas prakarsa Bupati Malang Edy Slamet ditandai dengan peletakkan batu pertama 11 Agustus 1983. Pembangunan monument dibiayai KNPI Kabupaten Malang. Monumen diresmikan Pengurus Besar PMI Marsekal Muda dr. Sutojo Sumadimedja pada 10 November 1983. Monumen Peniwen Affair merupakan salah satu dari tiga monumen Palang Merah di dunia.

Lokasi gugurnya para relawan diresmikan Ketua PMI Jusuf Kalla menjadi Jalan PMR pada 15 Januari 2011. Makam dan monumen menjadi saksi bisu kejahatan perang yang dilakukan militer Belanda. Membunuh relawan kemanusiaan yang tengah merawat orang sakit. Melanggar hukum humaniter Internasional.

Kisah sore berdarah itu dituangkan dalam buku sejarah Monumen Peniwan Affair yang disusun PMI Kabupaten Malang. Buku disusun berdasarkan saksi sejarah peristiwa di Peniwen 19 Februari 1949. Buku dipersembahkan untuk kakak pahlawan PMR Peniwen.

Peniwen Markas Pertahanan Tentara Republik

Peristiwa pembantaian relawan remaja PMI di Peniwen dilatari aksi Pemerintah Kolonial Belanda yang melanggar penjanjian Renville dengan menyerang Ibu Kota Republik Indonesia di Yogyakarta 19 Desember 1948. Untuk kali kedua, Presiden Sukarno dan Muhammad Hatta dan para menteri ditawan Belanda.

Kekuatan persenjataan tak imbang, tentara pejuang Republik Indonesia melakukan perlawanan dengan membangun kantong gerilya. Sesuai Perintah Siasat Nomor 1 dari Markas Besar Angkatan Perang (MBAP). Tentara Belanda telah menguasai Kepanjen, sedangkan tentara Republik Indonesia telah meninggalkan Kepanjen dan membentuk kantong pertahanan di Desa Peniwen.

Desa Peniwen menjadi markas Brigade 16 Sektor Kawi Selatan. Peniwen dipilih menjadi markas pertahanan lantaran lokasinya strategis, untuk menjadi kantong pertahanan. Bisa mengawasi dengan leluasai jika ada pasukan musuh yang datang. Selain itu, tanah subur cocok menjadi lumbung makanan. Sementara rakyat setempat berjiwa Republik Indonesia dan antipenjajah.

Selain itu, telah berdiri Rumah Sakit Husodo yang digunakan menjadi tempat kegiatan Palang Merah Remaja (PMR). Selain itu, sejumlah anggota brigade lain juga turut bergabung bertahan di Peniwen. Dari Peniwen mereka menyusun taktik dan strategi melumpuhkan militer Belanda. Menjadi basis pertahanan pro Republik.

Rumah Sakit Husodo didirikan pasukan Kristen Peniwen pada 1947. Tujuannya untuk kepentingan kesehatan penduduk Peniwen yang sakit. Rumah Sakit dipimpin seorang bidan bernama Martodipuro didampingi dokter Pudyosumanto. Banyak pemuda dan pemudi Peniwen yang sekolah kesehatan di Rumah Sakit Umum Malang.

Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah kesehatan mereka kembali ke Peniwen. Menjadi tenaga perawat di rumah sakit tersebut. Mereka juga bergabung menjadi tenaga sukarelawan Palang Merah Remaja. Dipimpin juru rawat Niti Sastro mereka bersepakat mendirikan PMR di Peniwen. Tujuannya untuk memberi pertolongan pertama tentara republik yang menjadi korban perang.

Tentara Belanda menyerbu Peniwen karena dendam dengan pola strategi perang gerilya tentara Republik yang menghadang tentara Belanda di Kromengan, dan Lahor. Serangan tentara Republik pimpinan Kapten Nailun di Krandil, Kromengan menewaskan 17 tentara Belanda. Sedangkan tentara Republik taka da yang luka dan tewas.

Lantas, Tentara Belanda menduga Peniwen menjadi tempat persembunyian Komando wilayah Kawi Selatan dipimpin Letkol Warrouw dari Brigade 16. Bahkan serangan dibantu pesawat Dakota di atas Ampelgading, Utara.

Diterjunkan satu brigade spesial tentara Belanda. Puluhan tentara Belanda dari brigade Baret Hijau (GroeneMilitaire Soldaat) diterjunkan. Peniwen diserbu dari Timur, Selatan, Utara, dan Barat. Belanda menghadapi Peniwen seolah-olah menjadi tempat pertahanan yang terkuat.

Padahal. Letkol Warrouw, Worang, Woisang, Tenges, Lumanow, dan Kahar Muzakkar telah mengungsi. Saat kejadian, tidak ada tentara. Warga laki-laki kebanyakan mengungsi. Sehingga tentara Belanda yang berketemu laki-laki langsung dibunuh.

Militer Belanda dengan kekuatan senjata lengkap masuk pertama kali ke Peniwen 16 Januari 1949. Tentara Belanda berpatroli dan menyebar teror. Membunuh seorang anggota CPM dan menganiaya salah seorang penduduk setempat berusia lanjut bernama Wuryan. Serta pemuda bernama Soewan.

Tentara Belanda Membantai Relawan PMI
Setelah melakukan kekerasan militer kepada penduduk setempat, tentara Belanda meninggalkan Peniwen. Mereka kembali ke Peniwen pada 31 Januari 1949. Mereka mencurigai Peniwen menjadi rempat persembunyian tentara Republik. Tentara Belanda membawa Kepala Desa Arjo Wibowo ke markas militernya untuk diperiksa karena melindungi tentara Republik.

Meski diintimidasi dan ditekan, Arjo Wibowo tak bersedia menunjukkan tempat persembunyian tentara Republik. Akhirnya Arjo Wibowo dilepaskan. Puncaknya 19 Desember 1948, Belanda menyerbu Peniwen dengan kekuatan besar. Satuan patroli besar-besaran masuk dari arah Barat (Desa Jambuwer). Mereka menghamburkan peluru, menembak membabi buta. Menembaki sekolah dan rumah sakit.

Sekitar pukul 16.00 WIB, satuan patroli tentara Belanda sejumlah satu kompi bersenjata lengkap masuk Rumah Sakit Husodo. Mereka mengobrak-abrik rumah sakit. Para relawan anggota PMR dan pasien diperintah keluar rumah sakit. Mereka dengan tangan terikat disuruh jalan berjongkok ke halaman rumah sakit.

Anggota PMR yang dibunuh antara lain Robi Andreas, J.W. Paindong, Slamet Panidjo, Suyono Inswihardjo, Sugiyanto, Matsaid, Wiyarno, Kodori, Sowan, Nakrowi, Soedono. Mereka bermalam di rumah sakit. Esok harinya mereka kembali dengan membunuh penduduk setempat bernam Twi Andoyo, Kemis, Wagimo, Rantiman dan Sriaji.

Semua umat yang menggelar kebaktian di gereja disuruh keluar. Patroli saat itu bertepatan hari Minggu. Semua umat yang kebaktian di gereja saat itu usia lanjut,. Mereka juga dianiaya.

Gedung gereja juga dihujani peluru. Mereka menganggap gereka sebagai tempat persembunyian tentara Republik. Usai dari gereja, tentara Belanda memperkosa tiga perempuan dan suaminya dibunuh.

Mereka mengangkut beberepa relawan PMR antara lain Rosohadi, Usodo, Sri Mutarji, Sri Arto, Setyati, Lisbet dan Marsi ke Gununggsari, Blitar, Pada 21 Februari mereka dipindahkan ke Selorejo dan ditahan di penjara Lowokwaru Malang. Mereka diinterogasi dan kompak menjawab tak tahu markas persembunyian tentara Republik. Setelah delapan hari dipenjara, mereka dibawa ke Jatiguwi dan dibebaskan.

Reaksi atas kekejaman tentara Belanda, rakyat Peniwen menyampaikan surat protes ke World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja-gereja Sedunia. Protes dipimpin dan surat ditandatangani Ds. Martodipuro. Protes mereka ditanggapi Komisi Tiga Negara

Tentara Belanda kembali datang untuk menangkap Ds. Martodipuro. Mereka meluapkan kemarahan karena aksi protes yang dipimpin Ds. Martodipuro tersebut Belanda mendapat celaan. Lantaran dinilai melanggar hak asasi manusia karena membunuh relawan remaja PMI yang menjalankan tugas kemanusiaan.

Ds. Martodipuro telah menyingkir lebih dulu, sehingga tentara Belanda tak menemukannya. Tak puas, tentara Belanda kembali datang berturut-turut ke Peniwen 9 April 1949 dan 18 Juni 1949. Mereka tak bisa menangkap Ds. Martodipuro yang tengah bersembunyi. Pada 18 Juni 1949, tentara Belanda kembali mencari Ds. Martodipuro.

Namun, lagi-lagi gagal menangkap Ds. Martodipuro. Akhirnya, mereka menangkap Ds. Sarojo wakil Ds. Martodipuro dan Yuwono seorang guru Sekolah Rakyat. Mereka diperiksa oleh pembesar Belanda di gedung Kabupaten Malang. Keduanya menyampaikan jika protes dilakukan karena tentara Belanda melanggar prinsip hak asasi manusia dan Palang Merah.

Lima orang utusan WCC mendatangi Desa Peniwen diantar anggota Synode Jawa Timur. Mereka menyelidiki peristiwa tentara Belanda pembantaian relawan anggota PMR. Serta menyaksikan lokasi pemakamannya. Selain itu, mereka juga hadir untuk menghibur masyarakat Kristen Peniwen.