menziarahi-makam-pangeran-samber-nyowo
Ilustrasi. Pangeran Sambernyawa gigih melawan VOC dan kompeni. (Sumber: Nusantara.news)
Iklan terakota

Oleh: Gus Fathur Rochman Effendie*

Terakota.id– Sudah mafhum, kebiasaan saat jadi santri dan mahasiswa, kala hidup masih dalam fase “bohemian in rhapsody” dari laku-laku, liku-liku dan laki-laki yang suluk “berproses”, maka kamusnya adalah “selalu mencari dan mencari”. Ketertarikan besar pada diaspora sumber pengetahuan, ngelmu dan kaweruh menjadikannya rajin sowan-sowan, penziarahan dan ngudi kaweruh dengan mottonya: “Sowan Kyai Ziaroh Wali”.

Perjalanan batin menjelma labirin yang tiada henti. Selalu saja menyisakan kedahagaan tiada tara. Itulah titik tolak awal wujudnya “santri kembara,” merengkuh setiap oase dan sumber mata air pengetahuan. Mekanismenya dan bentuknya ada 2 hal.

Pertama, “SARKUB” yaitu santri antar kuburan. Baik para Wali Songo sebagai oase persinggahan kultural, makam para Kiai, sesepuh, dan lain sebagainya. Silaturahim kultural ini materinya adalah hal berkelindan tentang tanda-tanda, ismat, riyadoh, melulu tentang hiperrealitas.

Kedua, “SARKOP” yaitu santri interaksinya antar warung kopi. Warung kopi tempat bertemunya segala ide, ideologi, madzab dan manhaj. Materinya adalah silaturohim intelektualitas baik mainstream atau non mainstream.

Sabtu pada senja hari, sehabis hujan sepetak, kami rehat sebentar di bawah tugu peringatan yang menyerupai simbol lingga yoni. Kami mencoba memahami sedikit demi sedikit atas relik “kasepuhan & keampuhan” Astana Mangadeg. Perjalanan mendaki membikin terengah-engah dari nafas berbau “234”. Berat tapi harus kuat dengan, “manteb ing tekad dan tatag ing sedyo”. Astana ini tidak menceritakan apa-apa selain epos kepahlawanan RM. Said Pangeran Samber Nyowo. “Sang Revolusioner Mataram” peletak dasar sistem perlawanan semesta (melu handarbeni, melu hangrukebi) dan sistem gerilya (jejemblungan, dedhemitan).

RM. Said alias KGPAA Mangkunegara putera dari Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara yang merupakan “putro mbarep” Paku Buwono I (PB I) atau Sunan Amangkurat IV, yaitu Penguasa Kasunanan Mataram Kartasura. Jadi RM. Said dan Ayahnya sebenarnya memiliki hak sebagai pewaris tahta.

Namun, karena sikap politik dimana KPA Mangkunegara terang-terangan “Anti Kompeni, Anti VOC.” Ia juga kurang bersimpati dengan Sultan Mataram yang jadi antek VOC dan boneka Kompeni. Sehingga, atas sikapnya ini KPA Mangkunegara ditangkap. Lalu dihukum, dibuang ke Sailan (Cylon) Srilanka. Saat kejadian ini, RM. Said baru berumur 2 tahun.

Namun, awal kiprah daripada RM. Said saat berumur 19 tahun ketika terjadi “Geger Pecinan,” 30 Juni 1742. Dimana laskar Cina Tionghoa Kartosuro yang dipimpin oleh RM. Garendi yang dikenal sebagai “Sunan Kuning” itu menyerbu Benteng Keraton Kartosuro yang mengakibatkan tembok setinggi 4 meter itu roboh.

Sebenarnya peristiwa “kraman geger pecinan” ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia. Namun karena jarak, mereka memilih menyerang Kartasura, karena dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda.

RM. Said memilih bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. RM. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar, “Pangeran Perang Wedana Pamot Besur”. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar, “Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto”. Nama Mangkunegara diambil dari nama ayahnya.

Sementara itu, Sultan Mataram (PB II) berhasil lolos melarikan diri ke Ponorogo. Pasukan Cina menguasai Kartasura awal 1741. Dan banyak para bangsawan “exodus,” meninggalkan Kraton Kartasura. Sultan Mataram (PB II) terus lari sembunyi sampai arah timur Ponorogo, tepatnya daerah Sawo di gugusan Gunung Bayang Kaki. Tak disangka, memang kesitulah tujuan pelarian PB II untuk menemui saudaranya yang telah jadi pertapa di Gunung Bayang Kaki, yaitu Eyang Kalipo.

Ngarso dalem PB II kemudian bertapa “palereman” di daerah Sawoo yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kumbul. Saat mencil bersembunyi ini, Ratu Solo itu mendengar suara berdengung seperti lebah yang ternyata setelah dilacak adalah “wiridan nafi isbath syatoriyah” dari Pondok Tegalsari. Mendengar keampuhan “wirid Tegalsari” maka PB II merasa Pondok Tegalsari itulah yang bisa menolongnya.

Akhirnya PB II sowan dan memohon bantuan Kyai Ageng Besyari Tegalsari dan sementara waktu “Ngarso Ndalem” ditampung di Tegalsari. Saat tekadnya sudah bulat merebut kembali kraton dari RM. Garendi, Kyai Tegalsari ngutus salah satu santrinya yang jadug, sakti dan “peng-pengan” asal sumoroto dan anak Ki Ageng Prongkot, bernama Ki Bagus Harun.

Nantinya terkenal sebagai Ki Ageng Basyariah Sewulan untuk mendamping PB II merebut kembali kratonnya. Lalu inspirasi kemenangan PB II berasal dari suguhan Jenang Mbok Rondo Menang. Saat menginap di rumah Mbok Rondo Menang dan disuguhi Jenang, ia dimarahi simbok kakena makan dari tengah. Seharusnya pelan-pelan dimakan dari pinggir. Dari situlah konsep perang gerilya “Dedemitan”,“Jejemblungan” atau “deso kepung kutho” tercipta dan menang.

RM. Said berjuang mati-matian sepanjang 16 tahun melawan Mataram sekaligus Belanda dengan cara bergerilya (berpindah-pindah tempat). RM Said berhasil membina dan membangun indoktrinasi pada pasukannya dengan jargon legendarisnya, TI DJI TIBEH (Mati siji, mati kabeh. Mukti siji, mukti kabeh).

Ini jargon pamungkas, “gugur satu, gugur semua, sejahtera satu, sejahtera semua”. Jargon ini menumbuhkan rasa kebersamaan kuat pada pasukannya (forza) dan menjadikan pasukannya amat militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, yang berarti penyebar maut bagi musuh-musuhnya.

Saat Belanda merekayasa dengan mengajukan perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dimana bumi Mataram di belah jadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian itu sangat ditentang oleh RM Said. Karena memecah belah rakyat Mataram.

Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya saja melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro dalam dunia kemiliteran.

*Pengasuh PPMH Ponorogo

Penulis (Sumber: Arsip Pribadi)