
Terakota.id—Puluhan orang berduyun-duyun ke sebuah kompleks pemakaman di Jalan Ki Ageng Gribig, Kelurahan Madyopuro, Kota Malang. Para pria stelan pakaian hitam, kepala berbakut udeng. Sedangkan perempuan berkebaya, sebagian berhijab.
Warga setempat menyambut rombongan. Peziarah pria diantar menuju sebuah makam, yang terlindungi bangunan. Duduk bersimpuh, tangan menengadah sembari merapal doa bersama usai menabur bunga di atas pusara. Ini merupakan makam Ki Ageng Gribig, sosok yang diyakini sebagai tokoh membuka Kota Malang, belantara hutan kala itu.
“Ki Ageng Gribig adalah tokoh yang membabat alas wilayah ini, jadi cikal bakal Malang,” ujar Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Gribig, Devi Hardianto, awal pekan lalu.
Sedangkan rombongan peziarah yang datang merupakan pejabat Pemerintah Kota Malang. Wali Kota Malang dan Bupati Malang pasti datang berziarah saat merayakan hari jadi atau ulang tahun.
Areal pemakaman ini juga menjadi peristirahatan tiga Bupati Malang yang berkuasa di abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Meliputi Bupati Malang ke satu Raden Tumenggung Notodiningrat I yang menjabat pada 1819 sampai 1839.
Bupati Malang II Raden Ario Adipati Notodiningrat II dan Bupati Malang III Raden Ario Tumenggung Notodiningrat III juga dimakamkan di sini. Termasuk para kerabat para bupati. Tak hanya itu, Bupati Surabaya, Bupati Bondowoso sampai Bupati Probolinggo juga dimakamkan di sini.

Kompleks pemakaman ini tak pernah sepi pengunjung. Selain pejabat, warga kebanyakan kerap datang berziarah pada hari-hari besar agama Islam. Pemakaman ini memiliki makna penting bagi warga Malang. Ada nilai historis dan religius di balik makam para tokoh.
Menurut cerita rakyat, Ki Ageng Gribig merupakan adik kandung Sunan Giri. Versi Babad Malang, Ki Ageng Gribig masih keturunan dari Brawijaya XII, Raja Majapahit. Silsilah itu ditarik dari ayah kandungnya, Pangeran Kedawung yang seorang keturunan Lembu Niroto, pemilik panembahan Bromo.
Ki Ageng Gribig diyakini ulama kesohor yang berdakwah pada tahun 1600-an. Dipercaya pernah belajar dan jadi seorang murid kesayangan Sunan Kalijaga. Ia dimakamkan di tempat yang dijadikannya pusat penyebaran Islam di Malang itu. Raden Adipati Aryo (R.A.A) Notodiningrat atau Raden Tumenggung Notodiningrat I, Bupati Malang pertama yang tahu tentang cerita itu kemudian merawat makam tersebut.
“Sekaligus menjadikannya sebagai makam keluarga bupati dan beberapa pejabatnya,” kata Devi yang leluhurnya juga dimakamkan di dalam kompleks pemakaman tersebut.
Hubungan Malang dan Pasuruan
R.A.A Notodiningrat dan kerabatnya juga dimakamkan tak jauh dari Ki Ageng Gribig. Bupati Malang pertama ini adalah keturunan dari para Bupati Pasuruan. Jika dirunut jauh ke belakang, ia masih memiliki trah Tjakadiningrat V Sampang, Madura.
R.A.A Notodiningrat sebelumnya adalah Bupati Pasuruan. Malang sendiri masih bagian dari Karesidenan Pasuruan. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian mengangkatnya sebagai pejabat Bupati Malang berdasarkan surat Gubernur Jenderal Hindia Belanda 9 Mei 1820 Nomor 8 Staatblad 1819 Nomor 16.
“Jadi, antara pemimpin Kabupaten Malang dan Pasuruan saat itu masih ada hubungan kekerabatan,” kata Devi Hardianto.
Bupati Malang kedua dan ketiga juga keturunan dari R.A.A Notodiningrat. Maka, berziarah ke makam ini seolah menziarahi pula sejarah berdirinya Kabupaten Malang dan hubungan kekerabatan para penguasanya saat ini.
Sampai saat ini, masih ada keturunan dari para bupati itu yang kerap datang berkunjung. “Keturunannya ada yang jadi pejabat, banyak pula yang jadi pengusaha. Di antara mereka masih ada yang sering datang berziarah,” ujar Devi.
Kompleks pemakaman Ki Ageng Gribig ini asri, dikelilingi pohon nogosari dan bunga teratai. Layak menjadi tujuan wisata sejarah dan religi. Pejabat sementara Wali Kota Malang Wahid Wahyudi saat berziarah awal pekan lalu mengatakan generasi saat ini tak boleh melupakan para leluhur Malang.
“Kompleks pemakaman ini bisa jadi tujuan wisata religius, punya makna yang tinggi. Mereka adalah leluhur kita yang meletakkan nilai ketuhanan dalam berbangsa dan bernegara,” ujar Wahid.

Redaktur Pelaksana