Salah satu penampilan Performance Art Malang Festival di Dewan Kesenian Malang. (Terakota/Wulan Eka).
Iklan terakota

Terakota.id–Sebanyak 28 seniman tampil dalam PAMAFEST #11 (Performance Art Malang Festival) di Dewan Kesenian Malang, Jalan Majapahit Nomor 3 Kota Malang. Salah seorang performer art berasal dari Polandia. PAMAFEST digelar selama dua hari, 5-6 Desember 2020.

Tiap tahun acara PAMAFEST mengusung konsep yang berbeda, demikian juga lokasi pertunjukan. Festival diselenggarakan Komunitas Malang Performance Art Community (MAPAC) yang dilakukan secara independen dan kolektif. Berawal dari obrolan bersama dan niat mengumpulkan art  performer Kota Malang. Tercetuslah sebuah acara untuk wadah ekspresi ide gagasan para seniman.

Ketua penyelenggara PAMAFEST Dapeng Gembiras menjelaskan acara ini fokus menampilkan aksi seni yang menggunakan tubuh sebagai media. “Ada juga kelas performance art, pameran arsip satu dekade PAMAFEST, performing art serta screening video,” ujar Dapeng.

PAMAFEST ke-11 kali ini mengusung tema Sirkulasi. Sirkulasi menandakan sebuah pergerakan dari satu tempat ke tempat yang berbeda. Performer bebas menginterpretasikan, mempresentasikan, hingga mengeksekusi ide gagasan melalui penampilannya.

Salah satu art performer Adi Tiadatara menampilkan karya berjudul “Kata, Seks, dan Opini Publik”. Adi menjelaskan seks menjadi konsumsi publik yang kini menjadi komoditas jualan. Seks mengalami pergeseran nilai. “Seperti pada penjualan mobil atau iklan rokok, perempuan berpakaian minim semacam dijadikan daya tarik dalam perdagangan,” tambah Adi.

Salah satu penampilan Performance Art Malang Festival di Dewan Kesenian Malang. (Terakota/Wulan Eka).

Penggunaan tubuh sebagai media seni menjadi bahasa yang menarik. Bisa menyampaikan suatu pesan tertentu meski tidak berkomunikasi dengan bahasa yang sama. “Performance art bagi saya pertunjukan seni yang memadukan berbagai konsep dan latar belakang,” ujarnya.

Tak masalah berasal dari dasar kesenian berbeda, katanya, intinya berkesenian harus berhubungan langsung dengan kehidupan. Adi mengaku berangkat dari seni teater. Dalam performance art kali ini ia mengambil dan mengembangkan latihan dasar teater. Tahun ini kali ketiga ia mengikuti PAMAFEST. Sebelumnya menjadi performer independen.

Performer dari Polandia, Adam Gruba menyajikan musik noise digabungkan dengan teatrikal pemutaran tali yang terinspirasi dari teori fisika kuantum. Tali yang diputar berulang dengan tempo yang cepat membentuk bayangan lingkaran. Lingkaran yang tercipta dari cahaya lampu seolah seperti black hole yang menghisap perhatian penonton.

Musik noise  sendiri fungsinya untuk menyampaikan gelombang bunyi. Adam Gruba menyatakan bunyi bisa menjadi virus bagi seseorang untuk memasuki ruang spiritual. Manifestasi pada penonton adalah ketika musik mulai berdegub makin cepat, penonton akan terbawa lalu ikut menggerakan badannya mengikuti Irama musik.

Iwan Wijono, seniman performing art asal Jogja menilai PAMAFEST cukup berani. Artinya di Malang sendiri seni konvensional belum begitu bisa hidup. “Bisa menjadi corong banyak anak anak muda untuk bersenikebudayaan,” ujarnya.

Kemajuan seni, ujarnya, merupakan indikasi kemajuan suatu bangsa, Bangsa yang maju akan memiliki tinggalan seni dan kebudayaan seperti candi atau naskah kuno. Iwan menganggap performing art sebagai media untuk bersuara khususnya problem sosial.

Sebagai salah satu street art performer pendukung reformasi pada demo era 1990an, Iwan menjadikan performing art sebagai salah satu upaya berdemokrasi. “Turun ke jalan dengan tubuh dengan pertunjukan di jalan itu efeknya luar biasa. Secara simbolik itu menyebarkan isu ke nasional. Orang jadi terinspirasi untuk ikut bergerak,” ujarnya.

Iwan berharap performing art di Malang bisa lebih difungsikan lebih jauh, bukan sekedar festival atau agenda tahunan. Seperti menyampaikan semua kegelisahan dan ekspresi. “Bangsa yang kaya tapi banyak hutang, banyak masalah lingkungan hidup, dan banyak persoalan. Media non-konvensional dapat menyampaikan ide-ide itu,” ujar Iwan menandaskan.