Terakota.id—Sejak subuh Mulyono menarik gerobak keliling Desa Mulyo Agung Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Penuh semangat, ia mengangkat sampah domestik rumah tangga ke atas gerobak. Setelah tuntas seluruh sampah terangkat, Mulyono menarik gerobak menuju ke Tempat Penampungan Sementara Terpadu Reduce Recycle Reuse (TPST-3 R) sejauh dua kilometer.
“Saya melayani warga satu RW,” katanya. Lantas, seluruh sampah dituang di atas lantai beratap seng. Usai menimbun sampah, ia memilih beristirahat sejenak di ruang tunggu sambil meminum kopi. Sekarang giliran Munawaroh bersama sejumlah rekannya bekerja memilah sampah. Memisahkan sampah organik, dengan aneka jenis plastik, karet, botol, kaca, kertas dan logam yang memiliki nilai ekonomi.
“Sampah organik seperti sayur, dedaunan dan buah diolah menjadi kompos,” katanya. Sejak lima tahun ini, warga Desa Mulyoagung mengolah sampah. Awalnya, mereka membuang sampah langsung ke aliran sungai Brantas. Sejak puluhan tahun, sampah dibuang langsung ke sungai.
Mulyono dan puluhan juru angkut sampah yang dipekerjakan Rukun Warga (RW) mengambil sampah rumah tangga dan membuang langsung ke sungai. Namun, seiring berkembangnya permukiman warga di kawasan yang berbatasan dengan Kota Malang produksi sampah terus meningkat. Setiap hari sekitar 45 meter kubik sampah dialirkan ke sungai Brantas.
Aktivitas warga membuang sampah ke sungai Brantas ditegur Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Malang. Warga diminta mengolah sampah atau dijerat melakukan kejahatan lingkungan. Peristiwa ini melecut warga untuk mengubah diri, mengolah sampah dengan konsep 3 R. “Waktu itu modal nekat, Pemerintah Desa menghibahkan lahan seluas 2.000 meter persegi,” kata Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat TPST Mulyo Agung, F. Paidi.
Seluruh juru angkut sampah direkrut menjadi pekerja di TPST Mulyo Agung. Bahkan pemulung, dan warga miskin dipekerjakan untuk memilah sampah. TPST 3 R mulai beroperasi sejak Februari 2011. Sebanyak 45 meter kubik sampah dari 4 ribu keluarga di Desa Mulyo Agung dikumpulkan di TPST 3 R.
Pengelolaan sampah bukan tanpa hambatan, empat bulan pertama muncul masalah. Populasi lalat meledak, warga sekitar TPST memprotes. Berbagai cara dilakukan untuk mengendalikan populasi lalat, bahkan pestisida tak mempan membunuh. Lantas, dengan telaten para pekerja memunguti belatung sebelum menjadi lalat.
Limbah Menjadi Berkah
Lantas, dibangun enam kolam ikan di sekitar kawasan pengolahan sampah. Belatung pun menjadi santapan ikan nila yang dibudidayakan Paidi. Kini, bau menyengat dan lalat telah teratasi. Namun, masalah lain muncul. Iuran 4 ribu keluarga tak bisa menutupi biaya operasional. Iuran Rp 8 ribu per keluarga hanya menghasilkan Rp 24 juta, sedangkan operasional mencapai Rp 60 juta.
“Tahun pertama beroperasi, minus Rp 84 juta,” kata Paidi. Biaya operasional terbesar untuk upah 62 pegawai terdiri dari 19 juru angkut, dua administrasi dan selebihnya juru pilah sampah. Setelah setahun berjalan, sebuah perusahaan pupuk nasional bersedia membeli kompos seharga Rp 500 per kilogram.
Sampah kaca, kertas, platik, aluminium, salndal, tulang, dan karet dipilah. Setiap bulan terkumpul kaca 1,3 ton, plastik 10 ton, besi, aluminium, kertas dan logam mencapai 12 ton. Bahkan limbah sisa makanan dijual untuk pakan ternak, sebulan menghasilkan uang tunai sebesar Rp 2,5 juta. Usaha TPST pun berkembang memanfaatkan limbah domestik dengan beternak 18 ekor kambing, dan bebek sebanyak 500 ekor. Serta menanam aneka jenis sayuran di sekitar halaman TPST.
Laporan keuangan, rutin setiap tiga bulan disampaikan kepada Ketua RT, RW, Kepala Desa, dan Badan Perwakilan Desa. Berjasama dengan Puskesmas seluruh pekerja TPST mendapat pelayanan kesehatan gratis. Setiap bulan rutin mengecek kesehatan. Untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja TPST pun mendirikan koperasi simpan pinjam.
Pelayanan pun berkembang meliputi sebagian warga Dadaprejo Kota Batu, dan Sumber Sekar Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Sampah terdiri dari sampah organik sekitar 39 persen, sampah bernilai ekonomis sekitar 35 persen sedangkan sisanya 16 persen atau tujuh meter kubik per hari berupa residu. Residu diangkut diolah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Talangagung Kepanjen.
TPA Talangagung Kepanjen Kabupaten seluas 2,4 hektare yang beroperasi sejak 1997 menampung residu dari delapan kecamatan. Total setiap hari menampung 140 meter kubik, saat awal beroperasi pengelolaan sampah menggunakan sistem open dumping yakni sampah dibiarkan menumpuk tinggi tanpa pengolahan. Dampaknya, warga sekitar TPA mengeluhkan bau menyengat dan lalat menyebar ke permukiman.
Namun, mulai 2010, pengelolaan berubah menjadi controlled landfill yakni sistem pengolahan sampah ditutup tanah secara berlapis. Sementara gas metana yang dihasilkan dari proses fermentasi sampah ditangkap. Dipasang jaringan pipa gas sepanjang 500 meter terhubung ke 60 rumah warga menikmati gas metana gratis sejak Agustus 2011. Sehingga warga berhemat tak mengeluarkan biaya membeli gas elpiji.
Memanfaatkan Gas Metana
Gas metana yang dihasilkan juga digunakan menggerakkan generator untuk memproduksi listrik. Listrik yang dihasilkan digunakan untuk penerangan jalan dan memenuhi kebutuhan listrik di kawasan TPA. Gas metana digunakan menggerakkan generator sebesar 5.000 volt.
Selain itu, gas metana yang ditangkap dimasukkan ke dalam tabung. Sayang, pasokan gas metana ke tabung terbatas. Dengan tekanan udara 400 Psi hanya memasukkan gas sebesar 2-3 ons. Tabung gas ini diujicoba untuk menggerakkan mesin mobil Mitsubishi Kuda, mampu melaju sejauh 10 kilometer.
Lokasi TPA yang berbatasan dengan sungai Metro anak sungai Brantas dilakukan langkah mencegah pencemaran air tanah dan sungai yang melintasi 14 Kota dan Kabupaten di Jawa Timur ini. Dibangun saluran drainase di sekeliling TPA, tujuannya mencegah produksi lindi berlebihan yang bakal mencemari air tanah di sekitar TPA.
TPA Talangagung dikembangkan menjadi tempat wisata edukasi. Siswa dilatih belajar menanam sayur dan bunga, mengolah sampah organik dan mengenal gas metana. Pendidikan pengolahan sampah dilakukan sejak dini melalui para siswa.
Memasuki pintu masuk TPA Talangagung, sebidang lahan pembibitan tanaman terhampar luas. Aneka jenis tanaman perdu menghiasi kanan kiri jalan, perkebunan sayur juga tampak hijau terawat. Bahkan aneka jenis bunga tumbuh subur di lokasi wisata edukasi ini. Bau menyengat sampah pun tak tercium. “Seperti rekreasi ke taman bunga,” kata siswa SMA Negeri Turen, Wahyudi saat berkunjung.
Untuk mencegah pencemaran sungai Brantas, Pemerintah Kabupaten Malang juga mendirikan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal. Sekitar dua persen atau sekitar 2 juta warga Kabupaten Malang tak memiliki toilet. Mereka membuang kotoran langsung ke sungai. Dampaknya, air sungai di Malang tercemar. Untuk mencegah pencemaran, Pemerintah Kabupaten Malang memperbaiki sistem sanitasi dengan IPAL Komunal.
Dibangun sebanyak 12 IPAL Komunal di sepanjang aliran sungai Brantas. Sampah pun dikelola secara optimal, seluruh sampah organik diolah menjadi kompos. Sedangkan limbah plastik, kaca dan kertas dikelola di bank sampah.
Ancaman Wabah Diare
Buruknya kualitas sanitasi menyebabkan penderita diare yang disebabkan bakteri e-coli meledak. Selama 2012, total sebanyak 62.388 orang menderita diare, satu diantaranya meinggal. Sebagian besar penderita adalah bayi dan anak-anak. Nyawa seorang bayi tak tertolong.
Rata-rata setiap bulan penderita diare sebanyak 6 ribu penderita. Data tersebut diperoleh dari pendataan di Puskesmas, Rumah Sakit dan praktik dokter. Untuk itu, Dinas Kesehatan mengajak masyarakat untuk memperhatikan kebersihan lingkungan atau sanitasi. Serta menggunakan sumber air yang bebas dari bakteri e-coli.
Warga Malang masih banyak yang mandi, cuci dan membuang kotoran ke sungai. Bahkan, produsen tempe di Kepanjen kerap mencuci kedelai di aliran sungai Molek. Padahal, sungai rawan tercemar bakteri e-coli. Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit diare pernah terjadi di Ngajum dan Sitiarjo. Warga krisis air minum, sedangkan sumber air utama tercemar bakteri e-coli.
Kebiasaan membuang sampah ke sungai menyebabkan dampak serius. Saat musim hujan sampah menggunung di bendungan Sengguruh Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Sampah mengalir di sungai Brantas menumpuk di bendungan setiap hari 30 meter kubik per hari, saat hujan meningkat menjadi 200 meter kubik per hari. “Sampah plastik, kasur, kayu batangan, menumpuk,” kata Direktur Utama Perum Jasa Tirta I, Raymond Valiant Ruritan.
Rata-rata setiap tahun total sampah dan sedimen mencapai lima juta kubik. Sedangkan kemampuan teknis mengeruk sampah dan sedimen hanya sekitar 300 ribu meter kubik per tahun. Keterbatasan peralatan dan lahan penampung sedimen menjadi penghambat. Selebihnya, sampah mengendap dan mengganggu bendungan.
Dampaknya produksi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) menurun. Awalnya produksi listrik mencapai 29 Mega Watt (MW), turun menjadi sekitar 18 MW per hari. Bendungan diresmikan Presiden Soeharto 23 Maret 1989 itu dipantau, kondisi dilaporkan kepada pemerintah. Jika sedimentasi dan sampah terus berlanjut, bendungan bakal terancam rusak.
Bendungan Sengguruh selain direncanakan untuk memproduksi listrik juga berfungsi mengendalikan dan menahan sedimen. Tujuannya, untuk menghentikan laju sedimentasi yang mengancam waduk Sutami. Waduk Sutami berumur 42 tahun ini, merupakan waduk utama untuk menampung air untuk kepentingan pembangkit listrik, air untuk industri, irigasi dan bahan baku air minum.
Untuk itu, masyarakat di sepanjang bantaran sungai Brantas diminta untuk menghentikan pencemaran. Diantaranya, menghentikan kebiasaan membuang sampah ke sungai terutama saat masuk kawasan padat penduduk di Kota Malang. Dampaknya, selain sedimentasi dan sampah kualitas air menurun.
Sungai Brantas Tercemar
Direktur eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) Prigi Arisandi mengatakan pencemaran sungai Brantas menyebabkan sejumlah jenis ikan di aliran sungai Brantas cacat. Ikan di daerah hilir Brantas mulai, Jombang, Mojokerto dan Surabaya cacat, sumbing. Lebih banyak betina dibanding jantan, 80 persen betina.
“Ikan di sungai Surabaya mengalami transeksual. Kelihatannya betina tapi punya kelamin jantan, kenapa? Karena airnya tercemar,” katanya. Ikan cacat, katanya, karena air sungai terkontaminasi obat-obatan dan bahan kimia. Berdasar penelitian Ecoton, aliran sungai Brantas tercemar berat. Pencemaran sebagian besar akibat limbah rumah tangga. Separuh limbah rumah tangga berupa sampah plastik. Menurutnya 400 an sungai di Jawa Timur tercemar. Sungai tercemar ringan, sedang hingga berat.
“Bahkan di Indonesia 95 persen sungai dalam kondisi tercemar,” katanya. Pencemaran terjadi karena perilaku manusia. Kali Surabaya contohnya, 86 persen sumber pencemar berasal dari industri. Selain itu, pengelolaan yang tumpang tindih dan minimnya kepedulian menjadi faktor penyebab pencemaran.
“Semua tak peduli dengan sungai, pemerintah tak peduli masyrakat juga tak peduli,” katanya. Ecoton mengajak Jawa Timur membersihkan sungai serta mencegah perilaku membuang limbah domestik. Serta menuntut pemerintah memberikan sanksi tegas industri yang mencemari sungai. Pemulihan sungai harus bersama-sama, seperti Korea yang memulihkan sungai yang tercemar limbah industri.
Kini Paidi bersama pekerja di TPST Mulyo Agung Kecamatan Dau terus tekun mengolah sampah. Mereka juga rutin memantau aliran sungai Brantas, selama ini tak ditemukan warga yang membuang sampah ke sungai. Permukiman warga pun semakin bersih, pepohonan rindang menghiasi sepajang permukiman warga. Aneka jenis bunga dan sayur tumbuh subur di halaman rumah. Semua tanaman tumbuh subur berkat pupuk kompos olahan sampah organik.
Jalan, baca dan makan