Terakota.id—Penyair Chairil Anwar telah tiada 69 tahun lalu. Masa yang cukup lama untuk melupakan seseorang yang mati muda. Penyair itu menyerah pada malaikat pencabut nyawa pada 28 April 1949. Usianya masih tergolong muda, 27 tahun. Tapi, Chairil Anwar tidak benar-benar mati, ia tetap hidup. Persis seperti harapan dalam potongan sajaknya: “Aku mau hidup seribu tahun lagi!”.
Untuk mengenang sang penyair, para sasatrawan di Malang bertemu dan menyapa Chairil Anwar di pelataran Hotel UMM Inn, Sabtu malam, 28 April 2018. Saat itu langit bertabur bintangbulan belum membulat sempurna. Malam itu adalah malam yang spesial dipersembahkan untuk Chairil Anwar. Beratapkan langit, puisi-puisinya dibacakan secara bergantian oleh para penyair Kota Malang. Dimulai dari Denny Mizhar, Djoko Saryono, Djohan Kata Mati, Fariz N Ramadhan, dan Nanang Suryadi.
Sebagian puisi diiringi musik seperti gitar akustik atau yang dikenal dengan musikalisasi puisi. Serta pementasan teater yang mengusung puisi-puisi karya Chairil yang dipersembahkan Teater Komunitas dan Telas Ria. Tak ketinggalan, para musisi Akar Acoustic, Gus Dakar, dan Selasar, turut merespon puisi Chairil dengan bunyi dan lagu.
Malam itu sebuah perayaan mengusung tema “Malam Chairil Anwar” dihelat, digagas komunitas Pelangi Sastra Malang. Berkolaborasi dan didukung sejumlah komunitas dan jaringan media termasuk Terakota.id. Acara digelar, selain momentum Hari Puisi Nasional, juga mengenang spirit Chairil dalam pembaharuan sastra Indonesia dan menjadi spirit bagi sastra di Malang. “
Karena kerja kesusastraan harus serius, tidak bisa sambil lalu. Karenanya, kerja kesusastraan adalah kerja kebudayaan dan intelektual,” ujar Kordinator Pelangi Sastra Malang Denny Mizhar.
Sosok Chairil Anwar, kata Denny, harus dikenalkan lebih jauh kepada generasi sekarang karena banyak yang mengenal Chairil sebatas di sekolah saja. Kota Malang, memiliki ikatan emosional secara unik dengan sosok Chairil. Patung Chairil setengah badan berdiri di kawasan Kayutangan atau Jalan Basuki Rachmat Kota Malang.
Patung itu berbahan batu semen, bercat warna merah. Di bagian bawah patung bertulis puisi Chairil Anwar yang terkenal ‘Aku’. Patung menghadap ke barat membelakangi Gereja Katolik Hati Kudus Yesus atau yang dikenal dengan Gereja Kayutangan.
“Biasanya di jalan-jalan yang banyak kan patung pahlawan, biasanya berhubungan dengan pertempuran. Uniknya ini patung seorang penyair,” terang Denny.
Selain itu, Malang juga hadir dalam puisi Chairil. Dalam buku kumpulan puisi Aku ini binatang jalang Chairil Anwar diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, Maret 1986 cetakan kedua hard cover Januari 2015, Chairil Anwar menulis dua puisi di Malang. Yakni berjudul ‘Sorga’ Malang, 25 Februari 1947 dan Dua Sajak buat Basuki Resobowo tertulis 28 Februari 1947. Tanggal penulisan kedua puisi bertepatan dengan sidang pleno ke lima Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di gedung rakyat atau Societiet Concordia di Malang 25 Februari – 6 Maret 1947.
Sehingga, muncul dugaan Chairil datang ke Malang ketika sidang KNIP tengah berlangsung. Lebih jelasnya dapat dibaca Menelusuri Jejak Chairil Anwar di Malang.
Malam itu, surat HB. Jassin kepada Ibu Saleha, ibunda Chairil di Medan juga dibacakan. Moh. Dandy membacakan surat yang mengabarkan kondisi Chairil yang sedang dirawat di rumah sakit, di CBZ (RSTM). Chairil terbaring menderita penyakit dada, begitu tukas Jassin dalam suratnya.
Jassin diminta Chairil untuk memberitahukan kondisi perawatan yang tidak bagus. Karenanya, Chairil ingin pulang saja ke Medan. Dalam surat itu, Jassin juga memberitahukan kesulitan uang yang dihadapi Chairil. Sebagai kawan, Jassin memohonkan Ibu Saleha berkenan mengusahakan ongkosnya.
“Kirimkan saja ke alamat saya H.B. Jassin, Siwalan 3, Tanah Tinggi, Jakarta, nanti saya sampaikan kepada Chairil . – Lain tiada,” tulis Jassin dalam suratnya (Hasan Aspahani, 2016: 272).
Dalam bukunya, Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45, H.B. Jassin (2013: 46) menulis bahwa menurut catatan rumah sakit Chairil menderita tifus. Tapi, menurutnya Chairil telah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi. Karenanya, semakin hari badannya lemah. Dan timbul penyakit usus yang membawa kematiannya (ususnya pecah).
Pukul 2.30 sore tanggal 28 April 1949 penyair Binatang Jalang menyerah pada maut. Chairil meninggal setelah di rawat sejak tanggal 22-28 April 1949. Menurut Jassin, menjelang kematiannya Chairil selalu mengucapkan Tuhanku, Tuhanku…
Hasan Aspahani dalam bukunya Chairil: Chairil Anwar, menuliskan bahwa Chairil seolah dapat meramalkan kematiaannya. Jassin menemukan sajak itu setelah empat hari kematian Chairil. Sajak yang menyebutkan tempat dimana akhirnya ia dimakamkan. Sajak yang menyiratkan perasaan menjelang kematian.
“Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,/Menggigir juga ruang dimana dia yang kuingin,/Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu// di Karet, di Karet sampai juga deru angin//….,” sajak itu berjudul Yang Terampas dan Yang Putus (H.B.Jassin, 2013:93).
Bagi Jassin sajak itu menurut napasnya ada bernapas Chairil Anwar di masa akhirnya. Terutama bait ketiga menurut Jassin (2013: 53): “Hanya/ Kelengangan tinggal tetap sajak/ Lebih lengang aku dikelok-kelok jalan;/ Lebih lengang pula ketika berada antara/ yang mengharap dan yang melepas//”
Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict