Terakota.id—Suara adzan subuh berkumandang dari pelantang masjid Al-asfiya Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Umat Islam di Ngadas bergegas berwudhu. Termasuk sejumlah jurnalis yang tengah meliput upacara Unan-unan pekan lalu. Para jurnalis dari berbagai media turut bermalam menikmati malam di desa dengan ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut (m.dpl).
Sebuah desa yang berada di lereng Gunung Bromo, kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Berpenduduk 2013 jiwa, sekitar 50 persen beragama Buddha, 10 persen Hindu dan 40 persen Islam. Suasana Ramadan, cukup kental terasa di sini. Saban malam lantunan ayat suci bergema dari musala dan masjid setempat.
“Dingin, seperti air es,” kata jurnalis kompas.com, Andi saat berwudhu di masjid. Suhu udara 0-20 derajat celsius. Suhu dingin menusuk tulang tak menyurutkan umat Islam untuk salat subuh berjamaah di masjid. Berbondong-bondong umat Islam tiba, mengenakan sarung dan berpeci. Sementara jamaah perempuan mengenakan mukenah berwarna putih.
Sebagian besar jamaah membalut tubuh dengan jaket. Agar tetap hangat dan khusuk beribadah. Para jamaah salat dengan khusuk, meski dingin membekap tubuh. Usai salat subuh, sang imam memberikan kuliah tujuh menit (Klutum). Saat itu, mengupas rukun salat.
Usai salat subuh, para pemuda kembali melantunkan ayat suci Al-Quran. Mereka bertadarus selama sebulan penuh Ramadan. Mereka juga memberikan teladan, dalam bertoleransi dan saling menghormati umat beragama. Tadarus menggunakan pelantang dibatasi maksimal sampai pukul 21.00 WIB. Maklum, sebagian besar beragama non muslim yang tengah terlelap tidur.
Hidup Rukun Serumah Berbeda Agama
Kerukunan antarumat beragama di Ngadas teruji. Selama ini tak ada yang perselisihan atau konflik karena agama. Setiap umat bebas menjalankan ibadah sesuai keyakinan dan agama masing-masing. Tak jarang meski berbeda agama mereka hidup seatap, seperti Kepala Desa Ngadas, Mujianto.
Mujianto memeluk Islam sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan ibunya tetap memeluk Hindu dan mertuanya beragama Buddha. Ia tinggal serumah bersama keluarga, ibu dan mertua. Masing-masing tetap menjalankan ibadah dan bersembahyang sesuai dengan keyakinan.
“Saya kos di rumah Pak Haji, ada anak mengaji setiap sore. Saya ikut belajar mengaji,” kata Mujianto. Memperdalam agama Islam dia lakukan dengan guru agama di Tumpang. Sehingga ia memutuskan untuk memeluk agama Islam. Keputusan memilih agama Islam tak mudah, lantaran tak ada musala untuk beribadah.
“Kadang harus sembunyi-sembunyi. Tak banyak yang tahu jika saya telah berpindah keyakinan,” katanya. Untuk salat jumat saja, katanya, ia harus berjalan kaki sekitar lima kilometer lebih menuju masjid di Dusun Jarak Ijo, Desa Ngadas. Di Dusun Jarak Ijo, banyak warga yang memeluk agama Islam.
Agama Islam tersebar di Ngadas berkat Pak Guru Poniman alias Suliyanto yang mengajar di Sekolah Dasar Negeri Ngadas. Pada 1979 ia bersama keluarga asal Wajak sekitar 20 kilometer dari Ngadas. Keluarga diboyong, sementara sebagian warga juga turut ingin mempelajari agama Islam. Lambat laun sebagian penduduk memeluk Islam.
“Tak ada paksaan, dapat hidayah ingin mempelajari agama Islam,” katanya. Pak Guru Poniman juga mewakafkan tanah di depan rumahnya untuk didirikan musala. Musala tersebut saat ini digunakan masyarakat Ngadas beribadah salat berjamaah.
Saat itu peraturan desa setempat tak diizinkan agama lain masuk ke desanya. Sehingga umat Islam beribadah secara sembunyi-sembunyi. Setelah berganti Kepala Desa, peraturan berubah dan umat agama lain bisa menetap di Ngadas. Sehingga agama Islam, Buddha dan Hindu berkembang dianut masyarakat setempat.
Secara legal formal, suku Tengger di Ngadas memeluk agama Hindu, Budhha dan Islam sejak 1970-an. Sebelumnya warga menganut agama local, Buddha Jawa Sanyata. Namun, pemerintah hanya mengakui lima agama. Sementara keyakinan masyarakat setempat sebagai agama lokal tak diakui. “Ada yang memeluk Buddha, Hindu dan Islam,” ujarnya.
Masyarakat memperdalam agama setelah belajar ke sejumlah pesantren. Sehingga saat ini, para tokoh agama Islam, guru mengaji dan ustadz merupakan warga asli Ngadas. Selama ini tak ada lembaga pendidikan yang khusus berdakwah di Ngadas. “Tapi ada santri dari sejumlah pesantren tugas belajar mengajar di sini,” ujarnya.
Eyang Sedek Memberi Pengaruh Islam
Mujianto meyakini agama Islam secara tak langsung sudah masuk Ngadas sejak lama. Menurut kepercayaan masyarakat setempat Ngadas pertama kali dibuka oleh Eyang Sedek sekitar abad ke-18, sebagai perluasan pengaruh kerajaan Islam, Kraton Kasunanan Surakarta. “Mbah Sedek itu Mohammad Sidiq,” ujarnya.
Berikutnya permukiman berkembang terjadi migrasi masyarakat Tengger yang sebelumnya tinggal di desa lain sekitar Gunung Bromo. Hampir 99 persen warga Ngadas merupakan masyarakat suku Tengger. Mbah Sedek, ujar Mujianto, mengajari sebuah mantra saat menyembelih ayam. Yakni bacaan basmalah dan dua kalimat sahadat.
“Agar saat menyantap ayam yang disembelih sudah halal,” katanya. Mantra tersebut sampai sekarang digunakan masyarakat penganut Buddha Jawa Sanyata dan dukun saat menyembelih hewan ternak. Makam Mbah Sedek atau Eyang Sedek dikeramatkan dan diziarahi seluruh masyarakat Tengger di Ngadas.
Desa Ngadas seluas 395 hektare, berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Mayoritas bekerja sebagai petani dengan komoditas kentang, bawang, kol dan wortel. Tanah yang subur dimanfaatkan masyarakat untuk pertanian secara intensif. Sebagian bekerja sebagai penyedia jasa pemandu wisata dan transportasi ke Gunung Bromo.
Masyarakat Ngadas tak bisa dilepaskan dari kain sarung yang senantiasa melilit di leher. Sarung multi fungsi, selain sebagai bagian dari tata cara berpakaian juga untuk mengusir hawa dingin. Tata cara penggunaan sarung disesuaikan dengan aktivitasnya. Mereka menggunakan saat berladang sampai menghadiri hajatan.
“Sarung juga bisa dipakai masker saat erupsi atau hujan abu vulkanis,” kata Mujianto. Seperti Ngatiman, 55 tahun takmir masjid yang senantiasa mengenakan sarung dalam beragam aktivitas. Mulai salat subuh, sampai berangkat ke ladang, sarung tak bisa dipisahkan dari kegiatannya.
“Cara menggunakan sarung berbeda, setiap acara dan kegiatan,” ujarnya.
Pesan Orang Tua dan Leluhur
Masyarakat Suku Tengger senantiasa memegang petuah, nasihat dan pesan leluhur melalui kedua orang tuanya. Pesan kerap disampaikan saat usai makan bersama di pawon atau tungku. Pawon menjadi tempat penting untuk menyampaikan pesan orang tua kepada anak. Termasuk pesan untuk saling mengasihi, hidup rukun dan menjaga toleransi.
“Toleransi sudah mendarah daging, secara alami. Mengikuti pesan para orang tua dan leluhur, secara turun temurun. Pesan orang tua lebih tinggi nilainya dibandingkan guru spiritual,” kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Ngadas, Timbul Oerip.
Kebersamaan, dan toleransi terpatri dalam jiwa setiap umat beragama di Ngadas. Ketiga umat, bergotong-royong saat membangun masing-masing tempat ibadah. Vihara dibangun 1985, disusul Pura pada 1986 dan masjid dibangun 1987. Semua umat berbaur, bersama-sama membantu pembangunan sarana ibadah.
Mereka mengikuti pesan orang tua untuk menjaga hubungan lintas iman dan hidup rukun. Sedangkan upacara adat suku Tengger sekaligus menjadi perekat bagi ketiga agama. Suku Tengger mengenal upacara adat meliputi Karo, Unan-unan, Barikan, dan Yadnya Kasada.
Pemuka Buddha di Ngadas, Ponadi menuturkan selama ini di Ngadas tak pernah ada konflik antarumat beragama. Semua rukun setiap umat bebas beribadah sesuai keyakinan. Sedangkan umat agama lain menghormati ibadah masing-masing. Sedangkan saat upacara adat, semua tokoh agama berkumpul terlibat dalam adat budaya setempat.
“Semua orang Ngadas adalah keluarga, saudara. Tetap tentram dan rukun. Tak ada masalah agama,” ujarnya.
Pakar Hukum Universitas Widyagama Malang yang juga meneliti budaya suku Tengger, Purnawan D. Negara menuturkan semua agama mendukung ritual adat Tengger. Awalnya, seluruh suku Tengger menganut Hindu Kuna atau Buddha Jawa Sanyata. Namun, setelah Negara hanya menetapkan lima agama, keyakinan agama Buddha Jawa Sanyata tak diakui.
Sehingga mereka memilih agama Buddha dan Hindu yang secara tata cara keagamaan menyerupai. Belakangan guru agama Hindu dari Bali dikirim ke Tengger, sebagian anak muda belajar pendidikan agama Hindu di Bali. Termasuk belajar agama Buddha yang difasilitasi Perwakilan Umar Buddha Indonesia (Walubi).
Sedangkan upacara Unan-unan merupakan ritual untuk mendoakan seisi alam semesta. Meminta maaf kepada gunung, sumber air, dan sungai. “Inti ritual suku Tengger adalah pemujaan kepada alam. Nilai kultural ini harus dirawat Negara,” kata Purnawan yang juga Dewan Daerah Wahana Lingkungan Jawa Timur.
Ritual suku Tengger merupakan bagian dari menjaga alam, memiliki nilai-nilai merawat alam. Jika tak dirawat bakal mengancam kerusakan alam. Kerusakan nilai kultural Tengger, katanya, akan mengancam dan merusak nilai ekologi.
“Kita memiliki budaya menjaga lingkungan. Indonesia adalah mega culture diversity country dan mega diversity country. Sayang kebijakan hanya bertumpu kepada kekayaan keanekaragaman, melupakan perlindungan nilai budaya.”
Sementara sektor pariwisata hanya memandang budaya tengger sebagai aksesoris belaka. Sedangkan bagi warga suku Tengger Bromo memiliki makna kultural ritual Tengger. Jika pariwisata juga tak ikut menjaga nilai budaya akan mengundang bencana kultural dan bencana ekologi.
Setelah sebulan penuh menunaikan puasa Ramadan, kini seluruh umat Islam di seluruh dunia merayakan kemenangan. Salat idulfitri diselenggarakan di masjid Al-asfiya. Udara berkabut, suhu udara dingin menusuk tulang tak menyurutkan umat Islam salat Ied bersama. Usai salat, mereka beranjang sana ke seluruh rumah penduduk.
Tak memandang berlainan agama, umat Islam tetap berkunjung dan saling bermaaf-maafan. Aneka kudapan dan penganan khas hari raya juga tersaji di meja. Masyarakat Ngadas menyambut Idulfitri dengan suka cita, saling menjaga kebersamaan dan kerukunan.
Jalan, baca dan makan