Terakota.id–Mendengar nama Tabanan pasti mengingatkan pembaca pada suatu tempat di pulau Bali. Namun demikian, Tabanan dalam kutipan di atas bukanlah lokasi yang mengacu pada kabupaten Tabanan. Paragraf di atas adalah penggalan dari novel Orang-orang Pulau karya Giyan. Novel setebal 332 halaman ini diterbitkan kali pertama oleh Beranda, Desember 2013.
Giyan sedang menggambarkan salah satu tempat terindah di desa kelahirannya. Kampung di mana Giyan lahir memang berada di ujung barat pulau Raas, di mana kita bisa melihat dari kejauhan matahari terbenam di balik pulau Sapudi. Sebagai pulau dengan panjang yang hanya kira-kira 13-an kilometer, Raas menyimpan sejuta keindahan di tiap sudutnya.
Setelah tertunda selama sebulan, beberapa hari yang lalu saya memiliki kesempatan lagi untuk berkunjung ke pulau Raas, sebuah pulau di mana Adi Rasa dimakamkan. Adi Rasa, sebagimana Giyan tulis juga dalam novelnya adalah saudara kandung Adi Poday, suami dari Dewi Saini yang melahirkan Joko Tole. Dewi Saini biasa dipanggil Potre Koneng yang merupakan anak dari raja Sumenep, pangeran Secadiningrat. Tokoh Darso dalam Orang-orang Pulau adalah keturunan Adi Rasa, yang keningratannya diambil alih oleh Brodin dan keluarga besarnya. Kisah cintanya dengan Supini, membuat Darso terusir dari desanya untuk selama-lamanya.
Sebelumnya, Desember 2020 yang lalu saya sudah berencana untuk menyeberang ke Raas via Pelabuhan Jangkar, Situbondo. Cuaca yang cukup buruk membuat saya harus bermalam untuk beberapa saat di penginapan sekitar pelabuhan. Sebagaimana terjadi di banyak pelabuhan di tanah air, waktu itu pelayaran dengan kapal feri harus ditunda. Tak ada kapal yang diberangkatkan. Setelah empat hari cuaca belum membaik, saya memutuskan untuk pulang kembali ke Malang, dan menjadwalkan ulang pasca tahun baru 2021.
Sebagian calon penumpang yang gagal naik kapal feri tetap nekat untuk berangkat dengan kapal kayu, meskipun mereka tahu betul resiko dalam perjalanan memang lebih besar. Waktu itu di pelabuhan jangkar sedang ramai calon penumpang, apalagi menjelang Pilkada serentak 2020. Warga Raas yang bermukim di Jawa dan Bali memenuhi halaman pelabuhan Jangkar, menunggu loket tiket kapal dibuka. Tertundanya penyeberangan kapal feri ke Raas membuat banyak orang kehilangan hak suaranya untuk memilih calon bupati dan wakil bupati dambaannya.
Memang tahun ini bukanlah kali pertama saya berpetualang di Raas. Akhir 2017 yang lalu bersama Rektor Universitas PGRI Kanjuruhan Malang, Dr. Pieter Sahertian, kali pertama saya menginjakkan kaki di pulau ini. Saat itu listrik negara belum masuk menerangi pulau ini. Jika malam tiba, jalanan di desa-desa masih gelap gulita. Beberapa orang memiliki inisiatif sendiri untuk memasang peralatan penerangan dengan pelbagai cara sebagaimana yang dituturkan Giyan dalam novelnya.
Sekitar setahun lalu listrik negara sudah masuk, meskipun hanya menyala selama 12 jam per hari, dari jam lima sore hingga lima pagi. Saat ini warga Raas mengharapkan listrik bisa menyala 24 jam. Pembangunan sarana fisik sedang menggeliat di Raas. Sebagian jalan sudah kelihatan mulus, setidaknya di sepanjang desa Ketupat. Di beberapa desa pembangunan jalan saat ini sedang terhenti karena Covid-19.
Hingga saat ini Orang-orang Pulau adalah satu-satunya novel yang mengambil latar tempat pulau Raas. Penulisnya bernama asli Sugiyanto, lahir dan dibesarkan di desa Ketupat, kecamatan Raas, kabupaten Sumenep. Sebagai anak pantai, Giyan memiliki pemahaman yang sangat baik tentang kerasnya kehidupan di pesisir. Selepas tamat dari Universitas PGRI Kanjuruhan Malang, Giyan melanjutkan studi S-2 di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta. Selama di Malang, Giyan tidak hanya menimba ilmu di Universitas PGRI Kanjuruhan, tetapi Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Farabi yang berada di Kepanjen turut mewarnai pemikirannya.
Novel ini mengemas kisah cinta terlarang antara Darso dan Supini, mengingatkan kita pada drama yang ditulis oleh William Shakespeare, Romeo and Juliet, atau Sampek-Engtay, sebuah legenda dari Tiongkok. Di Indonesia Sampek-Engtay tidak hanya mengisi panggung teater modern saja, tetapi juga menjadi lakon yang diangkat dalam panggung kesenian tradisional, seperti ludruk dan ketoprak.
Sekalipun telah menyandang gelar Magister Filsafat, Giyan memilih untuk pulang kampung, membangun tanah tumpah darahnya. Di sana, Giyan memang tak sendiri. Banyak pemuda desa Ketupat, sekalipun telah memiliki pendidikan yang cukup tinggi, memilih untuk mengabdikan hidupnya untuk turut serta memikul beban bersama-sama warga desa lainnya dalam memajukan Ketupat. Mereka tidak tergiur dengan tawaran yang menjanjikan masa depannya di perantauan.
Muhammad Muhdar, juga seorang sarjana filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia lebih tertarik mengamalkan ilmunya di tempat kelahirannya, desa Ketupat. Begitu pula Rusdi. Alumnus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini memilih jalur pendidikan sebagai jalan pengabdiannya di desa tercinta. Mereka berdua memiliki visi yang sama, mengemban amanat Undang-undang Dasar 1945, turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sampai hari ini Raas masih belum tertular virus corona. Setidaknya belum ada laporan resmi tentang itu. Untuk menyeberang ke Raas, baik dari pelabuhan Jangkar, Situbondo maupun dari pelabuhan Kalianget, Sumenep, tiap penumpang wajib menunjukkan surat bebas Covid-19. Pihak pelabuhan juga melakukan pelayanan rapid test dengan cuma-cuma. Di seluruh Raas, kegiatan pembelajaran di sekolah juga masih berjalan dengan normal.
Selama di Raas, saya menginap di rumah Sekretaris Desa Raas, Busairi. Sama dengan beberapa teman sedesanya, Busairi telah bertekad mewakafkan hidupnya untuk Raas. Sebagai seorang sarjana yang berlatar belakang keguruan, jiwa pendidiknya spontan muncul ketika melihat anak-anak di desanya tidak memiliki akses berkumpul yang tepat sepulang mereka belajar di sekolah.
Busairi sangat memerhatikan minat baca masyarakat Ketupat. Salah satu rumah miliknya direlakan sebagai taman baca yang terbuka untuk umum. Anak-anak dan remaja Ketupat bisa berkumpul, membaca dan diskusi di sini. Koleksi buku yang cukup banyak semasa kuliah dulu diboyong ke kampung halamannya dan dipajang di beberapa rak buku di tempat tersebut. Kini telah ada beberapa lembaga dan pribadi yang turut menyumbangkan buku untuk memperbesar taman baca ini.
Bagi Busairi, sekecil apa pun yang diperbuatnya yang penting bisa memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat desanya. Pak Sekdes memang banyak menjadi bahan inspirasi dan motivasi bagi pemuda desa Ketupat. Ketertinggalan informasi harus dilawan dengan budaya membaca. Musuh utama peradaban adalah kebodohan.
Semangat pemuda Raas patut diapresiasi. Semangat itu telah tercermin dan diwakili oleh tokoh utama Darso dalam Orang-orang Pulau: “Sungguh sangat berbeda antara seorang yang telah bertindak dan melawan itu ibarat tengah berusaha mendaki seorang diri untuk sampai ke puncak dengan melintasi jalan yang penuh tanjakan dan berliku-liku, meskipun ia sempat kehilangan arah, serta ia tetap berusaha keras untuk dapat sampai ke puncak bukit tersebut.”
Ketika sedang nongkrong di Jembatan Ketupat, saya sempat bertemu dengan salah satu Srikandi Raas. Dia bernama Dilla Fadila. Salah satu warga desa Ketupat ini, selepas lulus dari Universitas Negeri Malang melanjutkan menimba ilmu di Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Saat ini Dila sedang aktif memerkenalkan Raas ke publik melalui akun YouTube-nya. Dia juga aktif di banyak media sosial.
Jika kita berselancar dengan membuka mesin pencari di internet, pulau Raas lebih dikenal dengan kucing busok-nya. Busok berarti abu-abu. Kucing busok memang memiliki bulu yang berwarna abu-abu. Sejumlah mitos turut mewarnai citra kucing yang dianggap ras asli Indonesia ini. Raas juga kaya akan cerita rakyat. Dr. Anas Ahmadi, dosen Universitas Negeri Surabaya pernah melakukan penelitian terhadap 44 cerita rakyat yang tersebar di pulau Raas dalam konteks psikoanalisis Carl Gustav Jung.
Kehidupan di pulau Raas memang sangat berbeda dengan di kampung-kampung pesisir yang lain. Tak tampak kegiatan perempuan-perempuan yang sedang menjemur ikan. Pengalaman saya mencari ikan kering untuk oleh-oleh memang cukup sulit. Pagi-pagi saya ke pasar tradisional yang ada di desa Ketupat. Tak ada satu pun pedagang di pasar tersebut yang menjajakan ikan kering.
Saya cukup beruntung sewaktu perjalanan pulang menuju pelabuhan. Saya mendapatkan penjual ikan kering di desa Kropoh, persis sebelah desa Ketupat. Ikan-ikan kering yang dijual adalah jenis ikan malengseng. Soal rasa, jangan ditanya lagi. Harganya pun, meminjam istilah yang dipopulerkan oleh iklan minuman ringan, “pas di kantong.” Salah satu warga desa Ketupat menuturkan bahwa saat ini di desanya belum ada perdagangan ikan kering. Produksi ikan kering di desa Ketupat pada umumnya hanya untuk konsumsi keluarga sendiri atau kadang-kadang hanya untuk dikirim kepada keluarganya yang ada di Bali dan Jawa.
Sebagian penduduk Raas, termasuk Ketupat memang mengadu nasib di Bali dan di Jawa. Berdasarkan data yang diunggah di desaketupat.wordpress.com, laman resmi desa Ketupat, desa ini memiliki penduduk sekitar 5.500 jiwa. Menurut penuturan Sekdes, jumlah penduduk yang merantau ke Bali dan Jawa tergolong cukup besar. Mereka rata-rata berprofesi sebagai pedagang. Rumah-rumah megah yang berjajar sepanjang jalan dan gang-gang itu adalah wujud kesuksesan mereka di perantauan. Rumah-rumah indah itu hanya ramai saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Mereka pulang kampung pada saat hari-hari besar itu, untuk berkumpul bersama handai-taulan dan kerabat di tanah leluhur.
Masyarakat Raas pada umumnya hidup sebagai nelayan dan petani. Beberapa nelayan melakukan budidaya ikan di keramba terapung. Pak Sekdes menjamu kami dan beberapa tamu lainnya untuk menikmati sensasi makan di keramba terapung. Keramba-keramba tersebut letaknya beberapa ratus meter dari bibir pantai, sehingga untuk mencapai tempat tersebut harus naik kapal motor atau kapal kayu yang selalu tersedia di pelabuhan desa Ketupat. Di keramba, kita bisa memilih ikan-ikan dalam keadaan segar, dan dimasak di tempat. Makan ikan di keramba dengan pemandangan kanan-kiri dan depan-belakang yang semuanya lautan adalah sensasi yang tak mudah dilupakan: serasa hidup di tengah lautan.
Jagung adalah hasil pertanian andalan masyarakat desa Ketupat. Jenis jagungnya berbeda, tidak seperti yang biasa dijumpai di tempat lain. Jagung itu disebut dengan jagung palotan, karena rasanya yang gurih dan harum menyerupai ketan. Palotan berarti ketan. Saya memeroleh kehormatan untuk bertemu kepala desa Ketupat, Mohammad Tamrin dan ngobrol bareng sambil menikmati makan jagung palotan rebus di rumahnya. Rumah Pak Kades tak pernah sepi dari warga yang berkunjung ke kediamannya. Ini menandakan bahwa Pak Kades adalah figur yang sangat dicintai dan dihormati rakyatnya.
Pulang dari rumah Kades Ketupat, saya langsung balik ke penginapan. Ternyata di meja tamu sudah tersedia jagung palotan rebus yang disuguhkan oleh Bu Sekdes yang juga masih dalam keadaan panas. Suryadi, salah satu pemuda desa Ketupat yang mengantarkan jagung itu ke penginapan. Suryadi sehari-harinya bekerja di Pelabuhan Raas. Dia juga yang menguruskan tiket kami pulang ke Jawa.
Masyarakat di luar Raas juga bisa menikmati jagung palotan. Jagung palotan yang telah digoreng menyerupai popcorn dikemas dalam wadah plastik dan dipasarkan hingga keluar kota. Saya coba cek di beberapa aplikasi perdagangan online, ternyata jagung palotan sudah dijual di beberapa toko online dengan harga yang cukup murah.
Petualangan saya ke Raas yang terbilang singkat berakibat tak bisa menikmati keindahan Raas secara keseluruhan. Dengan waktu yang sempit saya hanya sempat berkeliling tempat wisata di seputaran wilayah desa Ketupat. Kecamatan Raas memiliki sembilan desa. Desa-desa itu tidak hanya terletak di pulau Raas, tetapi tersebar di beberapa pulau kecil di sekitar pulau Raas. Kecamatan Raas memiliki 14 pulau, sebagian pulau tanpa penghuni.
Keindahan pulau Raas belum banyak terekspos ke luar, oleh karenanya tingkat kunjungan wisata ke pulau ini masih tergolong sangat rendah. Pantai-pantai yang indah di Raas hanya dinikmati oleh warga sekitar. Minimnya informasi tentang Raas, membuat pulau ini belum banyak dilirik oleh para calon pelancong.
Pantai Tanjung Wangi, pantai Kersetan, Beddhie Lancheng, Puncak, dan Wisata Kepiting Mangrove adalah tempat-tempat yang sayang dilewatkan begitu saja. Masyarakatnya yang ramah dan sopan adalah modal besar bagi Raas untuk berkembang menjadi tujuan wisata yang bisa bersaing di negeri ini. Nilai-nilai yang dipegang teguh dalam ajaran agama telah terinternalisasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Rata-rata masyarakat Raas saat mudanya pernah mengenyam pendidikan di pesantren, baik di Situbondo atau di Sumenep. Itu artinya, masyarakat Raas sangat menyadari betapa arti pentingnya pendidikan bagi membangun peradaban. Masyarakatnya yang terbuka siap menyambut wisatawan yang datang ke pulau ini.
Mereka sedang menunggu kita. Mereka juga menunggu Sampek dan Engtay, juga Romeo dan Juliet untuk makan kepiting sambil berputar-putar menikmati indahnya hutan magrove dengan perahu kecil. Setelah itu mengelilingi pantai-pantai yang indah, dan menyeberang ke keramba untuk menikmati lobster dan ikan sadar susu. Mereka juga sudah kangen dan selalu berharap, kapan Darso kembali ke pulau yang cantik dan tak mudah dilupakan ini.
Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)