
Terakota.id–Tepat satu bulan setelah pemerintah Indonesia menyatakan secara resmi adanya kasus pasien positif Covid-19, sebuah buku berjudul Krisis Komunikasi dalam Pandemi Covid-19 terbit. Terbit tepat pada tanggal 2 April 2020, buku ini bisa jadi adalah buku pertama yang dipublikasikan akademisi di Indonesia tentang persoalan komunikasi di masa pandemi Covid-19.
Penerbitan buku ini bermula dari dua webinar yang diadakan oleh Asosiasi Pendidikan Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah – ‘Aisyiyah (APIK PTMA) di bulan Maret 2020. Ide mengadakan webinar pun muncul dengan tiba-tiba, dan sebenarnya bukan bagian dari program kerja organisasi. Pandemi yang tiba-tiba datang menyebabkan siapapun harus beradaptasi, termasuk para dosen. Biasanya mengajar tatap muka di kampus, tiba-tiba harus mengajar secara daring.
Masa awal pandemi Covid-19, para pejabat pemerintah masyarakat disuguhi pernyataan pejabat pemerintah yang asal bunyi. Kita tentu ingat pernyataan menteri kesehatan yang menjabat di masa awal pandemi Covid-19, Terawan Agus Putranto, yang menyebutkan Covid-19 tidak mungkin masuk ke Indonesia. Terawan menolak permodelan dari Universitas Havard yang telah menyebut kemungkinan Covid-19 sudah masuk ke Indonesia di awal tahun 2020.
Pernyataan yang membawa krisis komunikasi dalam penanganan pandemi Covid-19. Sementara saat masyarakat berdiam di rumah, mereka melihat pemberitaan di berbagai media massa yang menyebut lock down diterapkan berbagai negara. Di saat yang bersamaan pemerintah Indonesia tidak menerapkan kebijakan ini. Di tengah rasa ketakutan yang akut, masyarakat berinisiatif melakukan lock down lokal. Portal dipasang di berbagai jalan dengan tulisan lock down yang dibuat secara terburu-buru dengan menggunakan cat semprot.
Buku Krisis Komunikasi dalam Pandemi Covid-19 berusaha memetakan persoalan krisis komunikasi, seperti yang salah satunya tersebut di atas. Ada empat puluh satu artikel yang ada dalam buku ini. Memang buku ini dikerjakan secara keroyokan untuk menyegerakan agar bisa segera terbit menyumbang gagasan tentang persoalan komunikasi di masa pandemi Covid-19. Para penulisnya yang terbanyak berasal dari kalangan dosen, baik di lingkungan APIK PTMA maupun dari kampus di luar asosiasi. Selain dari dosen, penulisnya juga berasal dari kalangan jurnalis dan mahasiswa pasca sarjana. Umumnya para penulis adalah peserta dua webinar yang diadakan APIK PTMA.
Menerbitkan buku dalam waktu yang singkat tentu butuh energi ekstra. Persoalan biaya penerbitan menjadi tantangan sendiri karena sedang dalam situasi awal pandemi yang tidak menentu. Untunya persoalan ini terpecahkan dengan mekanisme crowd funding. Biaya penerbitan buku ini ditanggung oleh sebelas perguruan tinggi di lingkungan APIK PTMA. Kebijakan lain adalah bahwa semua hasil penjualan buku akan didonasikan kepada Lazismu untuk membantu penanganan pandemi Covid-19.
Penerbitan buku Krisis Komunikasi dalam Pandemi Covid-19 di masa awal pandemi Covid-19 ini serempak menyodorkan gagasan bahwa meskipun di masa pandemi Covid-19, produktivitas jangan pernah mati dan semangat berbagi tetap harus menyala dengan cara yang kreatif.
Setelah buku Krisis Komunikasi dalam Pandemi Covid-19, berbagai buku tentang persoalan komunikasi di masa pandemi Covid-19 terbit. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menerbitkan buku berjudul Kita dan Corona : Catatan Kritis di Tengah Pandemi Covid-19. Salah satu yang menginspirasi dari buku ini adalah sebuah catatan di sampul belakangnya yang menyebutkan sebagai berikut, “Buku ini paling tidak bisa menjadi salah satu bentuk dokumentasi sederhana sebagai upaya pembelajaran tentang pandemi Covid-19. Semoga buku ini menjadi pesan motivasi, bahwa keterbatasan tidak boleh menghilangkan dan membunuh semangat untuk menghasilkan karya.”
Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) menerbitkan dua buku berjudul Diskursus Covid-19 dalam Perspektif Komunikasi; serta Komunikasi dan Media di Masa Pandemi Covid-19. Keduanya ditulis para dosen ilmu komunikasi dari perguruan tinggi yang menjadi anggota ASPIKOM. Selanjutnya ada buku lain diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) berjudul Dinamika Komunikasi di Masa Pandemi Covid-19.
Penerbitan buku-buku di atas secara umum bisa dilakukan karena dukungan perguruan tinggi yang bekerja sama dengan penerbit. Tentu saja juga peran penting para penulis yang bersedia mencurahkan waktu dan energi kreatifnya untuk menulis. Bukan persoalan mudah menulis buku di masa pandemi, apalagi di awal pandemi Covid-19. Bagi para dosen, adaptasi dari kuliah tatap muka menjadi daring menjadi satu tantangan utama. Berhadapan dengan tantangan ini, kemauan untuk menulis buku menjadi sangat layak diapresiasi.
Penerbitan buku-buku tentang pandemi Covid-19 oleh para akademisi akan menjadi bagian sejarah di masa depan tentang kontribusi akademisi tentang persoalan yang dihadapi bangsa ini. Berbeda dengan pejabat kita yang asal bunyi alias asbun di masa pandemi, para akademisi yang menulis buku, melakukan kontemplasi yang mendalam saat mencurahkan gagasan pemikirannya. Ada proses refleksi yang terjadi saat menulis, yang tentu sangat berbeda dengan budaya lisan. Fatalnya, budaya lisan pejabat kita sebagian adalah asbun.
Setahun setelah pandemi Covid-19, sebuah buku terbit melalui Intrans Publishing. Judulnya adalah Komunikasi dan Media dalam Pusaran Covid-19 : Kritik, Tantangan dan Solusi. Setelah satu tahun pandemi Covid-19, refleksi tentang kritik, tantangan dan solusi menjadi lebih mendalam.
Isi dari buku ini, sebagaimana judulnya, mengetengahkan kitik, tantangan, dan solusi dalam persoalan komunikasi yang terjadi di masa pandemi. Buku yang layak dibaca kalangan akademisi maupun praktisi, serta tentu saja para pejabat kita agar lebih reflektif.
Yang menarik, penulis buku ini berkomitmen dengan penerbit bahwa royalti bagi penulis seluruhnya akan disedekahkan kepada Lazismu. Semangat berbagi yang dilakukan secara kreatif yang sangat layak diapresiasi dengan membeli buku ini, karena dengan membelinya Anda mendapat ilmu sekaligus berbagi terhadap sesama.
