
Terakota.id-Lampu temaram, harmonik instrumen dawai mengalun syahdu mengiringi malam di Kota Malang. Puluhan anak muda yang tergabung dalam Malang Youth Orchestra memainkan aneka instrumen mulai dari gitar, biola, bass. Lagu Indonesia Raya menggema di Taman Krida Budaya Jawa Timur di Malang membuka Festival Dawai Nusantara ke 2. Disusul instrumentalia bunga seroja menghibur tamu undangan yang datang untuk memeriahkan acara dan menikmati aneka instrumen dawai yang tersaji.
Puas dengan instrumen dawai modern, sejumlah instrumen tradisi nusantara berturut-turut hadir mulai Derawan’s Panorama dari Yogyakarya, Jalaloge dan petikan dawai dari Kalimantan Timur, Matazai dari Pontianak, Kujusuka dari Jambi dan Nusa Tuak dari Nusa Tenggara Timur.
Jalaloge membawa dua alat musik tradisi berupa gambus dan sapek serta berkolaborasi dengan instrumen gitar. Penonton dihipnotis dengan aransemen musik yang menggambarkan keindahan alam Sumatera, dan satwanya. Tak hanya instrumen, Jalaloge memadukan tarian dan nyanyian untuk menghibur penonton sekaligus mengenalkan kesenian tradisi suku Paser di Berau, Kalimantan Timur. Instumen gambus dan sapek biasa dimainkan suku Paser dalam ritual kesuburuan. “Tapi kini sudah digunakan untuk kesenian pertunjukan dan mengiringi tarian pergaulan,” kata Jamaloge.
Mereka mampu memadukan instrumen tradisional dengan gitar dan biola dengan apik. Pertunjukan juga dipadu dengan tarian dan nyanyian khas suku Paser. Penonton bersorak sorai, tepuk tangan bergema saat Jamaloge berdiri dan menari mengenakan pakaian baju upak khas suku Paser Kalimanan Timur. Lengkap dengan ikat kepala belaong yang berbahan dasar bulu merak Kalimantan.
Matazai dari Pontianak, Kalimantan Barat memainkan alat musik Sapek. Musik yang dimainkan terinspirasi dari sungai Ariung Mandalam sebuah sungai di Kapuas yang menjadi tempat tinggal Suku Dayak Kenyah-Kayan. Juga instrumen juga terinspirasi dari tokoh Lawe’ yang dipercaya berumur panjang dan memiliki kesaktian.
“Sapek biasa dimainkan dalam upacara keagamaan,” kata Alexander Ongki Anas. Sayang penonton tak banyak, terlihat hanya pegiat instrumen tradisi dan komunitas seniman yang hadir malam itu. Termasuk sejumlah mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi seni seperti Maman Sutisna mahasiswa Institus Seni Indonesia Surakarta yang rela hadir untuk menonton dan berinteraksi dengan seniman instrument dawai. Pria 20 tahun asal Bandung ini hadir lantaran sejumlah temannya ikut berpartisipasi dan menyemarakkan Festival.
“Mereka kreatif menjadi ajang kumpul bagi seniman instrumen dawai,” katanya. Dia bersyukur bisa bertemu dan membangun jaringan untuk mengembangkan instrumen Kecapi Sunda yang dikuasainya. Kini, tak banyak anak muda yang bermain Kecapi. Menurutnya instrumen tradisi memiliki kekuatan dan keunikan sendiri, sejumlah warga Eropa dan Asia Timur bahkan tertarik mempelajari kecapi.
“Terus berkarya, jangan malu dengan tradisi,” ujarnya. Dia juga berharap ada dokumentasi bunyian yang berasal dari instrument dawai nusantara. Tak hanya instrumen tradisi, juga dihadirkan instrumen yang bersifat eksperimen seperti sendaren atau sawangan berbahan bambu berbentuk melengkung dilengkapi pita untuk menghasilkan suara nyaring. Sendaren biasa dipasang di layang-layang untuk menghasilkan bunyi dari hembusan angin. di tangan Misbach Daeng Bilok menjadi sebuah instrument musik yang estetik dan juga berfungsi sebagai pengusir hama.

“Secara ekologis Sendaren bisa mengusir hama, ramah lingkungan,” kata Misbach. Pria kelahiran Pulau Selayar, Sulawesi Selatan ini beberapa kali menampilkan musik angin atau Indonesia wind harp dengan koreografer yak menarik. Sendaren dimainkan dengan gerak seperti menebas alang-alang dan mendayung. Gerak atau koreografi ini diciptakan dari riset jika warga Sulawesi selain melaut juga bertani.
Kesenian ini digarapnya saat menempu pendidikan seni di Institut Seni Indonesia Surakarta. Dia mengajak penonton membuat sendaren dan mengajak untuk memainkan bersama. Musik angin bernyanyi terasa suasana alam yang indah dan merdu.
Penggagas Festival, Redy Eko Prasetyo menjelaskan ragam instrumen dawai di nusantara, total ada 70-an jenis. Mulai di Jawa memiliki instrumen rebab, dan siter yang biasa digunakan dalam bermain music gamelan. Sedangkan Makassar memiliki kacaping dan sinrili, Sunda ada kecapi, di Nusa Tenggara ada Sasando, di Betawi ada teyang, di Suku Dayak ada sapek.
Semua instrumen, katanya, didendangkan dengan nyanyian yang berkisah tentang kehidupan tradisi, doa, alam dan cinta kasih. Instrumen nusantara telah melintasi zaman, menjadi simpul dan pengingat tentang apa, siapa dan di mana kita hidup. Instrumen dawai tak hanya dipetik, dan digesek tetapi setiap bunyi memiliki kisah.
“Kita akan menjadi saksi keindahan musik tradisi nusantara,” ujarnya. Ada jejak yang hilang, katanya, ada pertautan sejarah, peradaban, kearifan lokal dan jati diri. Fetival menjadi upaya melawan keterasingan budaya di negeri sendiri. Selain mempertontonkan permaianan dan kolaborasi intrumen nusantara, festival juga akan merumuskan nasib hidup musik nusantara kedepan.
Dawai sebagai destinasi bunyi dalam tema Festival, katanya, merupakan upaya untuk mengenalkan dan mempromosikan Indonesia melalui bunyi intrumen dawai tradisional. Selama ini, Indonesia dikenal karena letak geografis dan keindahan alam. Sedangkan instrumen tradisi tak digali secara optimal. “Orang mengenal suara siter dari India. Promosi akan lebih efektif dengan sasando, sapek dan kecapi,” katanya.
Festival, katanya, sekaligus mendokumentasikan instrument tradisi yang ada. Membangun jejaring para seniman instrumen dawai nusantara sekaligus menggemakannya melalui seni pertunjukkan. Bahkan seluruh pertunjukkan direkam dan diunggah di situs internet untuk memudahkan masyarakat mengenal instrumen tradisi.
“Sejumlah seniman diundang festival di luar negeri setelah mengikuti Festival Dawai Nusantara,” katanya.
Tak hanya berakhir sampai di situ, Redy berharap instrumen dawai berkembang mengikuti perkembangan zaman. Sesuai dengan tren kekinian yang berkembang. Tak hanya mengaransemen instrumentalia baru, tetapi juga bisa dikembangkan dalam games yang menarik anak muda mengenal dan mempelajari instrument dawai. Memperkenalkan nusantara melalui bunyi. Mengilustraikan nusantara melalui audio. Membuat video klip, pegiat tak pernah berfikir untuk pasca produksi. 1988 sminth sonian, full album 20 seri folk Indonesia. Kita memulai membuat dokumentasi kebudayaan. Dawai sekitar 70 intrumen, masing-masing daerah berbeda.
Instrumen dawai, katanya, memiliki ragam corak dan ciri seperti timbre atau warna dan cara memainkan. Ada instrumen yang dipetik, digesek dan dipukul. Nada setiap instrumen berbeda, faktor lingkungan sekitar yang memperngaruhinya. Dayak kenyak, katanya, instrumennya dipengaruhi atmosfir hutan Kalimantan yang disesuaikan dengan komposisi. “Lebih mendayu-dayu, refleksi alam lebih kuat,” ujarnya.
Animo peserta, katanya, lebih besar tahun ini dibandingkan Festival Dawai Nusantara pertama. Peserta melonjak dua kali lipat, puluhan seniman mendaftar dan mengikuti festival. Etnomusikolog yang juga pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Irwansyah Harahap mengatakan jika bentuk instrumen dawai di nusantara mayoritas resonatornya berbentuk seperti sampan. “Sebuah ekspresi masyarakat yang hidup di perairan, terbentuk di alam bawah sadar,” katanya.
Tipologi instrumen nusantara, katanya, unik dan hanya ada di Indonesia. Sayang, tak banyak ilmuwan dan akademisi yang menggali potensi instrumen nusantara. Padahal banyak guru besar dan tokoh terkenal dunia yang belajar dari instrumen tradisi nusantara. Irwansyah menemukan keunikan instrumen nusantara hanya hanya memiliki satu dan dua senar string. Sedangkan di Barat telah berkembang menjadi empat senar lebih.
Instrumen itu, katanya, merupakan tipologi alat petik paling tua. Tangga nada pentatonik atau lima not per oktaf juga hanya ditemukan di nusantara. Dia khawatir jika instrumen dawai nusantara punah dan tak ada yang memainkan.
Kesenian nusantara, katanya, biasanya disajikan dalam sebuah ritual. Selama abad ke 21, katanya, instrumen lebih menonjol kreatifitas dalam bidang teknologi, musik berkembang mulai dari elektronik sampai digital. Namun bermusiknya, katanya, tak berkembang. “Teknologi berkembang, bermusik menggunakan mesin. Suara mesin bukan akustik,” ujarnya.
Namun, kini ada harapan banyak yang melirik kembali ke alam mulai makanan dan minuman termasuk bermusik. Untuk itu, dia mendorong agar kesenian tak hanya dipandang sebagai estetika semata tetapi harus dilengkapi dengan pengetahuan. Pemerintah, ujarnya, berperan mengembangkan pengetahuan dalam bersenian dan berbudaya. Selain itu, juga instrumen tradisi harus dihadirkan dalam ruang pertunjukan.
Panitia Festival, Yusuf Munthaha mendukung gagasan Irwansyah untuk mendirikan perguruan tinggi khusus dawai. Lantaran banyak seniman, praktisi dan akademisi yang bertemu dalam Festival yang bisa mewujudkan itu. “Belajar sapek, sasando dan gambus tak harus ke daerah, cukup kuliah di Malang,” katanya.
Yusuf bersama seniman dan arkeolog juga tengah merekonstruksi instrumen tradisional berdawai di Malang. Instrumen berdawai atau waditra ditemukan di relief Kunjarakarna di Candi Jajaghu, Tumpang. Serta ditemukan arca perunggu, dan arca tanah liat yang ditemukan di daerah Nganjuk. Ada lima jenis instrumen dawai saat itu.
“Relief candi memberikan informasi bentuk, cara memainkan, pemain serta konteks peristiwanya,” kata arkeologi dari Universitas Negeri Malang, Mudzakir Dwi Cahyono. Sedangkan sumber data susastra memberi informasi yang lebih luas, meliputi bentuk, cara memainkan, pemain, bunyi musikal, dan kualitas bunyi.
Musikal waditra berdawai kelompok chrodophone, katanya, diperkirakan pada Masa Hindu-Buddha yakni abad ke 10 sampai 16. Waditra dimainkan untuk kepentingan ritual seperti upacara daerah perdikan, mengiringi tari-tarian. Tangkainya menyerupai busur panah, dengan dua resonator tambahan berbentuk separuh buah labu.
Waditra itu dimainkan Gandharwa, tangan kiri memegang tangkai waditra sedangkan tangan kanannya memetik dawai. Temuan prasasti dan relief candi, katanya, cukup untuk merekonstruksi instrumen tradisi tersebut. Waditra ini diperkirakan wina yakni perkembangan dari Bin sebuah instrumen asal India. Kala itu, katanya, juga ada pandai atau perajin waditra berdawai pada Jaman Kerajaan Singhasari maupun saat Majapahit.
Dwi Cahyono tak mengetahui pasti kenapa waditra berdawai itu punah tak ditemukan jejaknya. Termasuk tak ada dokumentasi bunyi dan ada yang memainkannya. Diperkirakan waditra yang lahir saat masa Hindu-Buddha tak dimainkan lagi saat masuknya Islam. “Mungkin saat Islam masuk, tak ada lagi yang memainkannya,” kata Dwi.
“Kita akan buat purwarupa sekaligus eksperimen bunyian,” kata Ketua Yusuf. Dia menggandeng Hartoyo Hardjo Soewito atau yang dikenal Yoyok Harness musisi yang piawai membuat purwarupa instrumen dawai. Dia belajar secara otodidak membuat Sitar instrumen dari India dan belajar selama empat tahun di India.
Yoyok kuliah jurusan Antropoligi Musik di Karnataka University of Dhardward dan Halim Sitar Academy, Bombay, India. Menurut Yoyok dibutuhkan waktu selama setahun untuk membuat purwarupa dengan kualitas suara yang bagus. Dia juga akan bereksperimen untuk menghasilkan instrumen tradisi yang berasal dari Malang.
Dia tertantang untuk mengerjakan purwa rupa instrumen dawai itu. Dibutuhkan waktu selama setahun untuk menciptakan instrumen musik itu. Tak ada kendala dalam pembuatan instrumen itu, Yoyok belajar ilmu rancang bangun instrumen dari seorang gypsy Belgia yang bermukin di Bali. “Suara yang dihasilkan akan lebih sempurna,” ujarnya.

Jalan, baca dan makan