
Terakota.id–Udara sejuk semilir mengalir saat memasuki Dusun Sobo Desa Pakis Baru Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan. Rumah bersejarah markas gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman sepi, tertutup rapat. Lokasinya di daerah perbukitan jauh dari permukiman, hanya sebuah rumah di samping bangunan. “Sudah sore, tak ada pengunjung,” kata penjaga atau juru kunci markas, Padi, 76 tahun.
Lokasi markas sejauh 40 kilometer dari pusat Kota Pacitan. Jalan berkelok dan naik turun perbukitan sepanjang ditempuh selama satu jam. Bangunan rumah joglo khas Jawa ini berlantai tanah, berdinding papan berbahan kayu jati dan sebagian berdinding anyaman bambu.
Menghadap utara, bangunan terdiri dari dua bagian dan belakang. Bagian depan berupa ruang tamu, terdiri dari sebuah meja dan tiga kursi yang terbuat dari papan kayu. Serta tiga kamar tidur, salah satunya menjadi kamar tidur Panglima Soedirman, dua kamar lain ditempati dua ajudan, Soepardjo Roestam dan Tjokro Pranolo.
“Kamar Pak Dirman dikunci rapat, tak pernah dibuka,” kata Paidi. Sedangkan bagian belakang merupakan dapur dan tempat menyimpan peralatan pertanian. Dinding dalam ruang tamu terpasang koleksi foto dan rute perjalanan perang gerilya Soedirman. Sebuah balok kaca melompong teronggok tak terurus.
“Dulu di dalam kaca berisi jubah pak Dirman,” katanya. Jubah tersebut hanya dipasang saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan monumen Soedirman 15 Desember 2008. Setelah peresmian jubah dikembalikan ke museum Jenderal Besar Soedirman di Yogyakarta. Termasuk tenda yang digunakan menggotong Jenderal Besar Soedirman saat bergerilya.
Rumah ini milik bayan atau pembatu kepala dusun Sobo, Karsosoemito. Paidi merupakan ahli waris atau anak pertama Karsosoemito. Selama 3 bulan 28 hari atau 107 hari Jenderal Besar Soedirman menggunakan rumahnya sebagai markas selama perang gerilya.
Mulai 1 April 1949 sampai 7 Juli 1949, Soedirman bersama anak buahnya menerapkan taktik perang gerilya setelah Istana Yogyakarta direbut Belanda. “Bapak mendirikan gubuk di depan rumah,” ujar Paidi.
Paidi saat itu berumur delapan tahun dan kedua orang tuanya memilih tidur di dalam gubuk. Sedangkan rumahnya digunakan sepenuhnya oleh Jenderal Besar Soedirman dan prajurit. Karsosoemito dan warga sekitar bergotong royong menyediakan makanan selama menginap. “Mau diganti uang, Bapak gak mau,” katanya.
Rumah tersebut diambil alih Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala sejak 1970. Ahli waris diganti lahan sawah seluas 2 ribu meter persegi. Padi pun diangkat sebagai juru kunci, bertugas menjaga dan melestarikan markas Panglima Besar Soedirman. Rumah dipugar dan diawetkan hingga tiga kali.
Pertama 21 Juli 1984 yang diresmikan Sekretaris Negara Sudharmono, kedua 8 Mei 1999 saat kunjungan Presiden BJ Habibie dan 15 Desember 2008 ketika kunjungan Presiden SBY. “Mengganti atap, bambu dan kayu lapuk,” ujar Padi.
Setiap hati, pengunjung sekitar 5-10 orang. Namun, saat libur lebaran pengunjung mencapai 1.800 lebih. Sebelum menginap di rumah Padi, Jenderal Soedirman menginap semalam di rumah Kepala Desa Pakis Jaswadi Darmowidodo sejauh lima kilometer dari rumah Karsosoemito. “Udara dingin, pak Dirman selalu batuk karena sakit paru-paru,” katanya.
Namun, kini rumah tersebut telah dipugar berubah menjadi rumah berdinding bata berasitektur modern. Rumah itu ditinggali anak kedua Jaswadi, Joko Mulyono.
Monumen Soerdirman

Joko merupakan adik Roto Suwarno penggagas monumen Jenderal Besar Soedirman yang berjarak dua kilometer dari markas.
Monumen diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 15 Desember 2008 bertepatan dengan hari juang kartika atau hari ulang tahun TNI Angkatan Udara. Berdiri gagah patung Panglima Besar Jenderal Soedirman sambil menggenggam tongkat kayu menghadap utara. Di depannya, sebuah lapangan luas yang sekelilingnya berdiri dinding tembok.
Setiap dinding tembok terpasang relief berbahan tembaga sebanyak 38 panel. Relief ini menggambarkan perjalanan hidup Soedirman dari masa kelahiran, belajar mengaji, sekolah, kepanduan, menjadi anggota PETA, memimpin gerilya, hingga meninggal di Magelang.
Kawasan wisata sejarah ini juga dilengkapi rest area dan 3 lapangan pendaratan helikopter. Pada pembangunan tahap kedua ini, tengah dikerjakan fasilitas pendukung seperti perpustakaan, diorama, ruang pertemuan, penginapan, teatre terbuka dan pasar seni. Patung panglima besar Soedirman yang berada di kawasan seluas 7 hektare ini, berada di ketinggain 1.400 meter di atas permukaan laut.
Monumen berdiri di lahan seluas 10,7 hektare ini kini terkesan tak terawat. Pintu masuk tak dijaga petugas, rumput liar tumbuh di sela lapangan. “Tak terurus sejak muncul sengketa,” kata warga setempat.
Ahli waris Roto Suwarno meminta ganti rugi sebesar Rp 40 miliar. Hingga kini, tarik ulur antara Pemerintah Kabupaten Pacitan dan ahli waris melalui Yayasan Roto Suwarno tak kunjung berakhir.

Jalan, baca dan makan