Jalan Petjinan di Malang pada 1935. (Foto : KITLV/ Studio Malang)
Iklan terakota

Terakota.idKampung Pecinan menjadi penanda aktivitas ekonomi dan perdagangan di sebuah kota. Hampir semua kota di Jawa berdiri kampung yang juga disebut “Chinezen Wijk” atau “China Town. Sebuah daerah perdagangan yang ramai. Salah satu ciri khasnya terdapat klenteng sebagai pusat ibadah dan sosial etnis keturunan Thionghoa.

Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Petra, Handinoto  pada 1999 menulis hasil penelitiannya berjudul Lingkungan “Pecinan” dalam Tata Ruang Kota di Jawa pada Masa Kolonial. Bangsa Cina berpindah secara besar-besaran ke Jawa pada abad ke-14 mereka mendirikan pemukiman di sepanjang pantai Utara Jawa.

Tinggal di sekitar pelabuhan mempermudah pedagang Cina berinteraksi dengan sesama dagang dari berbagai negara yang singgah. Sejumlah kota kemudian berkembang menjadi entrepot atau kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan. Meliputi Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Jepara, Lasem, Semarang, Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa.

Catatan pemerintah Hindia Belanda pada 1800-an jumlah penduduk Cina di Jawa sebanyak 100 ribu. Pada akhir abad ke-19 mencapai 500 ribu. Pertumbuhan penduduk Cina meroket pesat. Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan Passenstelsel pada 1816 untuk mengontrol penduduk Cina, dengan alasan keamanan dan persaingan. Komunitas Arab dan Timur Asing lainnya wajib membawa kartu paspor jalan ketika melakukan perjalanan keluar daerah. Peraturan ini membatasi ruang gerak orang-orang Cina. Mereka berkonsolidasi di daerahnya sendiri.

Peta Pecinan Malang (Dokumen : Aryanti Dewi dan Antariksa, 2005).

Pada 1826 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang “Wijkenstelsel”, mewajibkan etnik-etnik di suatu daerah untuk tinggal di wilayah yang telah ditentukan dalam kota. Penduduk berkebangsaan Cina harus pindah ke kawasan Pecinan. Pemukiman Cina di pesisir pantai semakin eksis diakui. Tak pelak di Jawa terbagi menjadi tiga wilayah besar, daerah penduduk Eropa (Europeesche Wijk), daerah penduduk Cina (Chinezen Wijk) dan penduduk Timur asing lainnya (Vreemde Oosterlingen) serta daerah penduduk pribumi

Kebijakan Wijkenstelsel dihapus pada 1920-an. Meski begitu beberapa bekas kawasan Pecinan masih bertahan hingga kini. Kota Malang, kota kedua terbesar di Jawa Timur salah satu kota yang masih menyisakan kawasan pemukiman orang Cina.  Kampung Pecinan Malang terbentuk sejak 1910-an, kini diberi nama Jalan Pasar Besar, Kota Malang. Olivier Johannes Raap dalam buku Kota di Djawa Tempo Doeloe terbitan 2017 menyebut saat itu Kota Malang mulai berkembang menjadi pusat perkebunan kopi.

“Menurut laporan saksi mata, pada awal abad ke-19 sudah dibangun jaringan jalan yang bagus dan penduduknya sejahtera, yang kelak menarik pedagang Tionghoa,” tulis Olivier Johannes Raap.

Abdul Rani Usman dalam bukunya Etnis Cina Perantauan di Aceh, 2009 menyebut Pecinan Malang dibangun pada 1904 oleh Kwee Sam Hway, seorang letnan Tionghoa asal Sumenep. Daerah pemukiman orang Cina ini terletak di sebelah tenggara Alun-alun atau sekitar Pasar Besar.

Dinamika Sosial Penduduk Cina di Kota Malang

Soeharto memberlakukan kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa pada masa Orde Baru. Pendaftaran sekolah dan pengelolaan Koran Tionghoa dibatasi. Mohammad Zaenal dan Retno Winarni dalam penelitiannya Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Etnis Tionghoa di Kota Malang  Tahun 1967-2000 menyebut Soeharto menatakan secara jelas keturunan Tionghoa harus seera berintergrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli, termasuk yang terjadi di Kota Malang.

“Kebijakan asimilasi mendasar pada awal masa Orde Baru adalah ganti nama etnis Tionghoa,” tulisnya.

Presidium Kabinet di Jakarta menetapkan keputusan mengganti nama pada 27 Desember 1966. Alasannya dalam rangka nation dan character building. Penggantian nama keturunan asing menjadi nama Indonesia asli dibatasi hingga 31 Maret 1968.

“Penggantian nama bukan hanya sebatas mengikuti aturan. Pada sisi lain ganti nama menjadi bagian menyelamatkan diri dari berbagai ancaman di luar pihaknya, menjaga keberlangsungan bisnisnya dan kehidupan sosial dengan masyarakat setempat,” tulis Mohammad Zaenal dan Retno Winarni.

Ketua Klenteng Eng An Kiong Kota Malang turut mengganti nama dengan lafal Indonesia. Liem Kok Hoo (periode 1967-1977), Kusuma Rahardjo (periode 1977-1978), Wirianto (periode 1978-1981), D.S. Kasworo (periode 1981-1988), Soetjipto Tanojo (periode 1988-2000)

Pada aspek pendidikan, orang-orang Tionghoa di Kota Malang membangun sekolah khusus, sekolah Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK) Malang atau Ma Hoa.  Berdiri 16 November 1903, Ma Hoa dinaungani organisasi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK).

Organisasi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK) kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah, ganti nama Yayasan Pendidikan Taman Harapan Hari Kemudian (YPTHHK). Akhirnya ganti menjadi Yayasan Pendidikan Taman Harapan. Kesadaran pendidikan yang tinggi, orang Tionghoa di Malang juga mulai membangun perguruan tinggi yang disponsori oleh Baperki, yaitu Universitas Respublika (Ureca) pada 1964.

 Dinamika Politik Etnis Tionghoa di Kota Malang

Melalui Baperki , orang Tionghoa di Kota Malang turut berperan aktif dalam politik. Perkembangannya, muncul rangkaian kekerasan anti Tionghoa, kemudian Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). LPKB sempat bertarung dengan Baperki. LPKB menuntut Baperki dibubarkan, pejabat militer dan kantor cabang LPKB bekerjasama membekukan Baperki.  Etnis Tionghoa yang aktif dalam Baperki mendapat tudingan sebagai anggota dan bekerjasama dengan PKI. Baperki dan anggotanya lalu menjadi ancaman pemerintah.

Rezim Orde Baru menutup semua koran Tionghoa. Hanya tersisa koran harian dengan dwibahasa yang dikelola pemerintah dan pihak militer. Pemerintah kerap memburu para wartawan beretnis Tionghoa di Malang yang tidak mendukung pemerintah Orde Baru

Partisipasi politik etnis Tionghoa di Kota Malang pada masa Orde Baru nyaris nihil. Pemerintah Orde Baru melarang ketat etnis Tionghoa ikut campur panggung politik nasional dan daerah. Keterlibatan mereka dalam pers dan Baperki pun hanya sekejap. Hal ini memperparah sentiment anti-Tionghoa kala itu.

Perubahan berdasar kepentingan politik selama masa Orde Baru lainnya terjadi dengan perubahan nama jalan Jalan Pecinan Kecil yang identik dengan Tionghoa diubah menjadi Jalan Wiromargo.

Selepas pemerintah Orde Baru runtuh, Presiden B.J Habibie megeluarkan dua Intruksi Presiden terkait etnis Tionghoa. Intruksi Presiden No. 26/1998, penghentian istilah pribumi dan non-pribumi.  Intruksi Presiden No. 4/1999 tentang pelaksanaan Surat Bukti Kewarganegaraan Repulik Indonesia (SBKRI)

Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkanlah Keputusan Presiden No. 6/2000 tentang pencabutan Intruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, Dan Adat Istiadat Cina pada  17 Januari tahun 2000. Abdurrahman Wahid menilai Intruksi Presiden no. 14/1967 telah membatasi ruang gerak etnis Tionghoa dalam melakukan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya.

“Keputusan yang sangat memberikan perlindungan nyata terhadap kaum minoritas Tionghoa,” tulis Mohammad Zaenal dan Retno Winarni.