Menikmati Kebohongan

Ilustrasi : shutterstock.com
Iklan terakota

Terakota.id–Kehidupan yang kita jalani tidak hanya dihuni oleh kebenaran, tapi juga tersusun oleh semesta kebohongan. Jutaan kebohongan meresap dalam diri kita, lalu kita anggap sebagai kebenaran, sampai terbukti atau terungkap sebaliknya.

Saya tidak berbohong soal ini: bahwa semua manusia pasti pernah berbohong, sekecil apapun itu— seberat bubuk kopi yang mudah diterbangkan angin, misalnya. Percayalah! Sepasang suami istri berbohong kepada anak kecilnya, bahwa makanan tak dihabiskan bisa berakibat kematian ayam-ayam di kandang belakang rumah.

Seorang cewek membohongi cowok yang mengejarnya tak kenal waktu dengan mengatakan, “Abangku seorang tentara, dia bisa mematahkan tulang lehermu semudah mencuil kerupuk,” atau “maaf, aku masih ingin sendiri,” atau “aku terlanjur nyaman menganggapmu sebagai kakak,” dan semacamnya.

Dan kandidat presiden membohongi jutaan pemilihnya dengan janji-janji terbaik. Ketika terpilih dan banyak orang menagih janjinya, dengan enteng ia kembali berbohong sembari tersenyum dan berkata: “Itu bukan urusan saya.”

Tenang. Itu sekadar contoh. Tak perlu lempar kursi, apalagi mengerahkan buzzer.

Tuhan tak pernah berbohong. Dan Ia telah mengancam bakal memotong lidah para pembohong, lalu mencincangnya seperti daging di tangan para penjual sate. Meski begitu, kebanyakan dari kita tetap saja enteng berbohong. Parahnya lagi, seringkali kebohongan dirayakan, meski kebenaran telah diutarakan dan dibuka lebar.

Saya pun sebagaimana kalian, pernah berbohong. Tentu saja untuk tujuan bermacam-macam. Dan saya yakin, semua orang—meski pernah berbohong— tak akan pernah suka dibohongi, kecuali kebohongan dalam sastra.

Kebohongan dalam sastra adalah sejenis kebohongan yang dapat dinikmati dan menyenangkan. Gunter Grass, sastrawan Jerman, mengatakan bahwa mengarang adalah kebohongan yang tidak melukai. Kebohongan pengarang justru membuat kita terhibur, alih-alih tersakiti.

Ketika dunia yang kita huni disesaki kebohongan menjijikkan, kebohongan para pengarang adalah penawar yang manjur. Ia akan membongkar kebohongan yang terbungkus rapi di sekitar kita, mengulitinya, menunjukkannya ke khalayak, dan membuat merah hidung pinokio-pinokio. Vincent Crummles, tokoh dalam novel Charles Dickens mengatakan: “Seni adalah kebohongan yang membuat kita menyadari kebenaran.”

Haruki Murakami mengatakan hal yang senada: “Dengan menyampaikan kebohongan secara lihai, artinya, menulis fiksi secara meyakinkan, seorang novelis tengah menggiring kebenaran ke wilayah baru dan menyorotinya dengan cahaya yang juga baru.”

Sastrawan Jepang yang mengisi masa mudanya dengan membuka cafe ini menyebut seorang novelis sebagai seorang pembohong profesional. Mereka diberikan keleluasaan untuk berbohong tanpa takut dicap sebagai munafik atau amoral. Kebohongan mereka adalah kenikmatan, sejauh itu diracik secara cerdik, logis, dan bertenaga.

Saya menikmati karya-karya Murakami, novel juga cerpen-cerpennya. Ia benar-benar seorang pembohong profesional, pembohong yang tak memberikan sedikitpun celah bagi pembaca untuk meragukan kelogisan dan kebenaran cerita rekaannya. Setiap adegan terasa masuk akal tanpa dibuat-buat. Setiap karakter menghidupi cerita dengan rajutan peran masing-masing.

Beberapa kali saya menamatkan novel Arok Dedes, karya Pramoedya Ananta Toer. Setelah meraba isi novel itu, pelan-pelan, saya menyadari mengapa novel itu dianggap menggambarkan peta kudeta politik ala Jawa yang disumbangkan  untuk Indonesia. Saya pikir, karena novel itu menunjukkan kemiripan dengan cara Orde Baru memulai kekuasaannya. Kira-kira Pram ingin mengatakan: “Kudeta yang dilakukan oleh Arok, kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan Orde Baru terhadap Orde Lama.”

Pram tidak menuliskannya dalam bentuk buku sejarah yang ketat dan lugas, melainkan menyajikannya dalam bentuk fiksi sejarah yang nikmat dan bernas. Ia mengkritik dengan menempuh jalan sastra yang lebih lentur namun tetap bertenaga.

Apa yang dilakukan Pram itu, mirip dengan kata-kata sastrawan Amerika Latin, Mario Vargas Llosa: “Tapi kendati penuh kebohongan—atau malah justru karena itu—sastra mengisahkan ulang sejarah yang tidak bisa atau tidak sanggup ditulis oleh sejarah tulisan sejarawan.” Ketika jurnalis, sejarawan, atau bahkan akademisi tak berani mengetengahkan kebenaran, sastrawan dapat tampil sebagai juru tutur yang mencerahkan. Seno Gumira Adjidarma berkredo, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”

Sebaliknya, jika kebohongan para pengarang sangat menghibur, maka kebohongan politisi sangat memuakkan. Jika kebohongan para pengarang dapat mengungkap kebenaran, maka kebohongan politisi mampu menimbun kebenaran serapat lubang buaya. Dan jika kebohongan para pengarang patut kita rayakan, maka kebohongan politisi patut kita lawan.

Sayangnya, di dunia ini kadung dipercaya bahwa politik adalah seni berbohong, dan politisi adalah sejenis spesies yang bebas untuk berbohong. Orang-orang—seolah-olah— memaklumi mereka ketika kedapatan berbohong. Bahkan berkembang pameo yang mengatakan: “Politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah”

Saya tidak tahu siapa yang mula-mula mengatakannya, dan kemudian dikutip berulang kali dan berulang kala serupa hadis nabi. Saya tak menyalahkan kalimat tersebut. Dengan ataupun tanpa kalimat tersebut, saya pikir, politisi memang kadung dikutuk Tuhan untuk menjadi semacam makhluk yang selalu juara satu dalam berbohong.

Dengan percaya diri dan tanpa sedikitpun rasa ragu, mereka mengatakan bahwa banjir adalah akibat curah hujan tinggi, bukan akibat salah arah kebijakan. Di depan sorot kamera, mereka tampil penuh simpati terhadap pandemi yang rakyat derita. Sementara di belakang, mereka merampok hak-hak yang seharusnya diterima rakyat demi meringankan penderitaannya. Anda tentu masih ingat kelakuan Menteri Sosial yang mengkorupsi dana bansos Covid-19, itu sekadar salah satu contoh. Dan sungguh, itu perbuatan yang iblis pun tak tega melakukannya.

Sebenarnya, saya ingin berlari dan melapor kepada Nuh, agar ia berdoa sekali lagi meminta air bah. Dan mereka, para politisi pendusta itu, adalah golongan pertama yang terseret arus, lalu disusul para buzzer— sejenis makhluk yang pekerjaannya mengulang-ulang kebohongan agar diterima sebagai kebenaran. Mereka meracik kebohongan sepresisi mungkin, kemudian menyebarkan seluas-luasnya.

Kita tahu bahwa perkembangan teknologi informasi semakin memudahkan mereka mereproduksi kebohongan dan menanamkannya di batok jutaan manusia. Di Twitter, kita menjumpai mereka. Di Facebook, kita menemukan mereka. Di Instagram, kita melihat mereka. Di Youtube, kita menonton mereka. Tapi di galeri ponsel, kita tetap harus menyimpan senyum orang-orang berharga dalam hidup kita: keluarga, anak-anak, teman, dan lain sebagainya.

Nuh sudah tak mungkin bangkit lagi. Itu artinya, keinginan saya tak mungkin diwujudkan. Tak akan ada lagi banjir Nuh. Dan politisi pembohong itu— suka tak suka— tetap bercokol seperti berhala hingga kiamat nanti.

Karenanya, kita meniru Muhammad saja, berdoa yang baik-baik. Misalnya, berdoa agar para juara berbohong itu segera insaf, dan menyalurkan hobi dan bakat mereka untuk mencipta cerpen atau novel yang mengesankan. Tentu saja itu akan lebih menghibur dan bermanfaat bagi mereka sendiri, kita, dan alam semesta; daripada mereka tetap ongkang-ongkang sebagai politisi, pejabat, atau bahkan kepala negara.