Terakota.id-Sebuah pendapa mungil berdiri di kawasan permukiman padat penduduk di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Pagar besi setinggi satu meter mengelilingi seluruh pendapa, menyisakan sepetak pintu masuk.
Di dalam pendapa, tegak berdiri prasasti terpahat di batu andesit setinggi lebih dari satu meter dengan bentuk berbeda. Satu berbentuk silinder, satu lagi pipih dengan ketebalan sekitar 10 sentimeter. Guratan aksara sanksekerta di prasasti itu telah aus, sulit terbaca. Ada dua bongkah batu berbentuk lumpang di sisi kiri.
Prasasti itu adalah dikenal dengan Prasasti Cunggrang. Ini adalah salah satu prasasti tertua yang ditemukan di Jawa Timur. Dibuat pada tahun 851 Saka atau 929 Masehi oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa alias Mpu Sindok. Mpu Sindok adalah raja pertama Kerajaan Medang atau Mataram periode Jawa Timur sekaligus pendiri Wangsa Isana.
Arkeolog Universitas Negeri Malang, Muzakir Dwi Cahyono menyebut Prasasti Cunggrang adalah sebuah prasasti penting yang memiliki makna ganda era Wangsa Isana. Prasasti ini menjadi bukti bahwa sistem pengarsipan telah berjalan baik pada masa itu. Sekaligus menguak silsilah Mpu Sindok.
“Ada tiga Prasasti Cunggrang yang dikeluarkan Mpu Sindok dengan bahan berbeda. Yaitu bahan tembaga, daun tal atau lontar dan bahan batu ini,” kata Dwi Cahyono.
Bentuk daun lontar adalah draft awal yang memuat isi prasasti. Setelah naskah dinyatakan sempurna, berikutnya dipermanenkan dalam guratan di prasasti berbahan batu andesit atau disebut juga prasasti linggo. Inilah Prasasti Cunggrang A atau aslinya yang kemudian diserahkan ke Desa Cunggrang selaku penerima anugerah dari kerajaan.
Sementara prasasti berbahan tembaga atau Prasasti Cunggrang B sebagai kopiannya, ditemukan di lereng Gunung Kawi. Kini disimpan di Gereja Paroki Hati Kudus Yesus di kawasan Kayu Tangan Kota Malang.
“Prasasti Cunggrang bahan batu juga disebut batu sima, karena ditancapkan ke tanah desa perdikan yang dibebaskan dari pajak atas perintah Mpu Sindok,” papar Dwi Cahyono.
Penetapan desa perdikan bebas pajak itu ditandai dengan prosesi membanting telur ke lumpang oleh Mpu Sindok. Sebagai penanda mengubah status Desa Cunggrang dari semula desa biasa menjadi desa istimewa. Itulah sebabnya di prasasti ini juga terdapat lumpang.
“Membanting telur simbol sabda pandita ratu, bahwa keputusan raja tak bisa dicabut,” ucap Dwi Cahyono.
Selain menetapkan desa perdikan sebagai desa sima atau bebas pajak, Prasasti Cunggrang juga menguak jati diri Mpu Sindok. Bahwa Mpu Sindok memiliki permaisuri bernama Sri Parameswari Dyah Kebi putri dari Dyah Wawa. Artinya, Mpu Sindok adalah memantu dari raja terakhir Kerajaan Medang periode Jawa Tengah atau lazim disebut Mataram Kuno.
Menegaskan bahwa sebelum mendirikan Wangsa Isana, Mpu Sindok adalah pejabat karir. Dari semula sebagai Rakai Mahamantri Halu, naik pangkan menjadi Rakai Mahamantri Rakai Hino. Hingga pada akhirnya diangkat menantu oleh Dyah Wawa sekaligus menjadi raja dan mendirikan Wangsa Isana.
“Prasasti ini menguak identitas Mpu Sindok yang seorang pejabat karir sebelum menjadi raja,” ucap Dwi Cahyono.
Redaktur Pelaksana
saya tertarik membaca tulisan Menguak Identitas Mpu Sindok Lewat Prasasti Cunggrang, bila da transkrispsi dan terjemahannnya mohon untuk dishare.makasih!
Bagus bgt cerita/sejarah nya, khususnya bg saya org jawa..mengenal para leluhur. Dan peradapan di masa nya