Mengenang Tragedi Pesawat Dacota Pengangkut Obat-obatan

Palang Merah Indonesia (PMI) didirikan 17 September 1945. Saat Agresi Militer Belanda I, pesawat pemburu milik Belanda menembak jatuh pesawat Dacota yang mengangkut obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaja untuk PMI.

mengenang-tragedi-pesawat-dacota-pengangkut-obat-obatan
Pesawat Dakota VT-CLA mengangkut obat-obatan sumbangan palang merah Malaka ditembak jatuh oleh pesawat pemburu "Kitty Hawk" Belanda. (foto : Perpusnas).
Iklan terakota

Terakota.id–Seorang tentara pejuang sembari menenteng senjata berdiri di atas bangkai pesawat Dacota India VT-CLA. Sementara sejumlah orang berdiri meriung di sekitar badan pesawat di area persawahan Jatikarang, Tamanan, Gondowulung, Yogyakarta. Peristiwa tersebut terjadi pada sore hari 29 Juli 1947, dokumentasi foto disimpan di Perpustakaan Nasional (Perpusnas).

Peristiwa ini ditulis di Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Pesawat milik pengusaha India, Patnaik mengangkut bantuan obat-obatan sumbangan dari Palang Merah Malaja untuk Palang Merah Indonesia (PMI). Pesawat Dacota terbang dari Singapura menuju Yogyakarta.

Di badan pesawat terpasang atribut Palang Merah Internasional. Pukul 17.45 WIB pesawat terbang rendah mengitari Pangkalan Udara Maguwo bersiap mendarat. Tiba-tiba pesawat Belanda Kitty Hawk P-40 mengeluarkan tembakan, menembus badan pesawat Dacota VT-CLA.

“Sebagian besar obat-obatan hasil sumbangan Palang Merah Malaya habis terbakar,” seperti tertulis di buku panduan Museum Benteng Vredeburg. Pesawat tanpa senjata ini ditembak jatuh oleh dua pesawat Kitty Hawk milik militer Belanda.

Kru pesawat meninggal antara lain pilot A.N. Constantine (Australia), co pilot R. Hazelhurst (Inggris) dan Mekanik Bhidaram (India). Serta penumpang Komodor Udara A. Adisutjipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdurrahman Saleh, Opsir Udara Adisumarmo, Zainal Arifin dan istri pilot. A.N. Constantine. A. Gani Handonocokro merupakan satu-satunya penumpang yang selamat.

Jenazah korban terlebih dulu disemayamkan di Hotel Tugu Yogyakarta untuk mendapat penghormatan terakhir. Turut hadir Menteri Pertahanan merangkap Perdana Menteri Mr. Amir Syarifuddin, Panglima Besar Soedirman, Komodor Suryadi Suryadarma, Ir. Juanda, Sri Paku Alam VIII, Ny. Hatta, dan Ny. Suryadarma. Sebelum dimakamkan para korban diadakan upacara menurut agama masing-masing.

Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto menerima pemberkatan jenazah di gereja St. Fransiscus Xaverius Kidul Loji Jl. Panembahan Senopati Yogyakarta. Selanjutnya dimakamkan di Pemakaman Umum Pakuncen pada 30 Juli 1947.

mengenang-tragedi-pesawat-dacota-pengangkut-obat-obatan
Diorama pesawat Dacota pengangkut obat-obatan ditembak pesawat tempur Belanda. (Foto : Kemendikbud).

Untuk mengenang peristiwa itu didirikan monumen yang dikenal Monumen Ngoto atau Tugu Ngoto 1962. Kemudian 29 Juli ditetapkan sebagai Hari Bhakti TNI Angkatan Udara.  Pada 14 Juli 2000, makam Abdulrahman Saleh, Adisucipto, dan istri dipindahkan ke Kompleks Monumen Perjuangan TNI AU Dusun Ngoto, Desa Tamanan, Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta.

Belanda Melanggar Perjanjian Linggar Jati

Sejarah pesawat Belanda menembak pesawat Dacota yang mengangkut obat-obatan juga diunggah di lama TNI Angkatan Udara. Saat itu, Indonesia kekurangan obat-obatan akibat blokade Belanda. Terlebih setelah terjadi Agresi Militer Belanda I. Obat-obatan dibutuhkan untuk mengobati prajurit pejuang yang terluka saat bertempur di garis depan.

Setelah kejadian itu, sejumlah Negara tetangga bersimpati. Bantuan obat-obatan mengalir. Pada 26 Agustus 1947 mendarat sebuah pesawat membawa obat-obatan dari India di Pangkalan Udara Maguwo. “Disusul bantuan obat-obatan dari Internasional Red Cross,” seperti tertulis di laman TNI Angkatan Udara.

Obat-obatan bantuan tersebut dikirim ke Jawa Barat diangkut dua pesawat Cureng Setelah perintah Cease Fire atau gencatan senjata 4 Agustus 1947. Pesawat dipiloti Opsir Udara II Sunarjo dan Opsir Udara III Muljono, bertolak dari Pangkalan Udara Maguwo. Pesawat Cureng mendarat di Pangkalan Udara Gorda (Banten) karena terbatasan radius operasi dan kesulitan bahan bakar.

Serangan militer Belanda ini merupakan bagian dari aksi yang disebut “Politionele Actie”, pada 21 Juli 1947. Serangan ini sekaligus melanggar perjanjian Linggar Jati yang ditandatangani 25 Maret 1947. Pesawat militer Belanda menjatuhkan bom dan serangan roket di sejumlah Pangkalan Udara. Meliputi Pangkalan Udara Gorda, Jatiwangi, Kalijati, Cibeureum, Panasan, Maospati, Pandanwangi sampai Bugis.

Sedangkan Pangkalan Udara Maguwo terhindar dari serangan karena saat itu cuaca berkabut. Lantas dua pesawat latih “Cureng” dan satu pesawat pembom Mitsubishi 98 “Guntei” melakukan serangan balasan. Pesawat dilepas Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara S. Suryadarma dan Perwira Operasional Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma.

Kadet Penerbang Suharnoko Harbani dan penembak udara Kaput menaiki pesawat “Cureng” menyerang pertahanan militer Belanda di Kota Ambarawa. Sedangkan Kadet Penerbang Sutardjo Sigit dan penembak udara Sutardjo dengan pesawat “Cureng” terbang di Kota Salatiga. Sementara Mitsubishi 98 “Guntei” diterbangkan oleh Kadet Penerbang Muljono dan penembak udara Abdurrahman menuju ke sasaran Kota Semarang.

Sebanyak 400 kilogram bom dijatuhkan di basis militer Belanda di Kota Ambarawa, Salatiga dan Semarang. Serangan udara balasan ini merupakan operasi serangan udara pertama sejak Indonesia merdeka dan memiliki sekolah penerbang.