
Terakota.id–“Salam satu jiwa,” teriak vokalis DeWolff Pablo Petrus Andreas Van De Poel, menyapa ratusan penonton di gedung Kesenian Gayana, Jalan Nusakambangan Kota Malang, Selasa 12 Maret 2018. Para penonton spontas menjawab, “Arema.” Sapaan khas bagi arek-arek Malang (Arema) ini berkumandang saat banda asal Belanda ini tampil di depan paunggung. Band yang digawangi tiga personil, selain vokalis Pablo juga Luka Hendrikus Ramon Van De Poel (Drum), dam Robin Piso (Keyboard).
Suasa di gedung berkapasitas 500 penonton riuh, tepuk tangan membahana menyambut kehadiran para musisi muda tersebut. Mereka menyajikan instrumentalia, improvisasi lantaran keyboard yang dipegang Robin bermasalah. Sedangkan para penonton menyemangati dengan Improvisasi tepuk tangan dan sahutan menyebut, “DeWolff”.
Sejumlah penonton merangsek ke depan, mereka memenuhi ruang kosong di depan panggung. Penonton berdiri, sehingga sebagian kursi kosong. Penggemar DeWolff di Malang rela berdesakan, berdiri dan bersiap berjoget di depan panggung. Pablo yang juga bermain gitar juga menunjukkan keterampilannya memetik dawai.
Penonton terpukau, mereka bertepuktangan mengapresiasi permaianan Pablo bermain gitar listrik. Menarik perhatian publik Malang, Pablo dan kedua rekannya tampil percaya diri. Mereka membuka dengan lagu big talk. Irama rock n roll yang enerjik semakin memikat para penonton. Mereka terlihat menggoyangkan badan di lantai depan panggung.
Sedangkan sebagian penonton yang duduk di kursi penonton juga ikut alunan lagu yang ditampilkan musisi muda asal Belanda. Mereka menghentakkan kaki atau sekadar menggoyangkan kepala. Sebagian besar penonton merupakan anak muda Kota Malang. Sebagian berambut gondrong, seolah kita ditarik ke masa lalu.
Barometer Musik Rock
Era 1970-1980-an, Kota Malang merupakan barometer musik rock. Para musisi rock tanah air dipastikan tak pernah melewatkan tampil di depan public Malang. Ada sejumlah musisi yang menilai publik Malang menjadi indikator keberhasilan sebuah band rock di masa itu.
Penonton Malang akan mengapresiasi band yang tampil menarik, namun sebaliknya bakal melempari band yang dianggap kurang menarik. Sehingga penonton di Malang menjadi salah satu indikator. “Dulu semua band rock papan atas pasti pernah bermain di GOR (Gelanggang Olahraga) Pulosari Malang,” kata Ketua Museum Musik Indonesia (MMI) Hengky Herwanto.

Pablo cukup piawai untuk menakhlukkan penonton di Malang. Pengalaman dan “jam terbang” yang cukup tinggi dengan berkeliling Eropa menjadi modal DeWolff untuk tampil memukau. Meski berlainan budaya dan bahasa, Pablo mencoba berinteraksi dengan penonton turut bernyanyi bersama.
Di atas panggung Pablo meminta saat tangannya diangkat ke atas, mengajak penonton meneriakkan ho…o..o…. Interaksi Pablo dengan penonton berhasil, seolah tak ada jarak dan tak ada perbedaan budaya dan bahasa. DeWolff tampil memikat dan penonton turut berinteraksi dalam setiap lagu yang dinyanyikan.
Saat memasuki lagu ketiga berjudul Medicine tepuk tangan penonton bergemuruh. Mereka mulai menikmati setiap lagu yang dinyanyikan DeWollf. Sebagian penonton di deretan kursi memegang gawai, mereka merekam dan memfoto atraksi DeWolff di atas panggung. Hingar binger musik bergema di seluruh ruangan. Sorot lampu warna-warni turut mendukung penampilan DeWolff semakin memikat.
“Thank you, terima kasih,” kata Pablo kepada penonton. Para penonton semakin larut menikmati lagu yang disuguhkan. Melodi yang indah dan lirik yang mengugah, turut membangkitkan semangat para penonton. Mereka tetap duduk atau berdiri di atas panggung, mereka tak rela beranjak dari tempat duduk.
Selama tampil selama 1,5 jam DeWolff menyanyikan 11 lagu. Pablo mengaku menyukai tampil di Malang, apalagi Malang dikenal sebagai kota rock pada era 1980-an. Menurutnya selain masyarakat Malang yang ramah, kotanya indah sehingga Pablo menyukai Malang.
Instrumen Musik Tradisi
Pablo menyukai makanan, dan suasana Malang yang hijau dengan bentangan taman yang indah. Namun sayang, katanya, Indonesia luas sehingga tak memungkinkan mereka untuk menggelar tur keliling Indonesia selama 10 hari. Ia juga mengagumi instrumen musik tradisional yakni angklung dan gending.
“Suara angklung, indah,” katanya. Sehingga mereka tertaruk untuk menyiapkan diri berkolaborasi bermain bersama dengan iringan angklung. Kedepan, katanya, memungkinkan kolaborasi antara seniman tradisi Indonesia dengan DeWolff.
Tur kali ini, katanya, merupakan kali pertama mereka menjejakkan kaki di Indonesia. Sepanjang berkarir dalam musik, mereka telah menghasilkan enam buah album. Karya lagu yang dilahirkan ditulis, dimainkan dan dinyanyikan bersama-sama di studio. “Membuat lirik bersama-sama Lagu kami bertema cinta, politik, dan fenomena social yang terjadi di dunia,” katanya.
Ketiganya bermain musik sejak kecil, Pablo bermain gitar sejak usia delapan tahun, sedangkan luka bermain drum usia sembilan tahun. Kakak beradik ini lantas mendirikan band menggandeng Robin saat usia mereka 15-17 tahun.
Sejumlah musisi dan band dunia menginspirasi mereka bermain musik. Salah satunya Led Zeppelin yang menjadi panutan mereka bermain band. Semua lirik berbahasa Inggris, lantaran bahasa Belanda kurang menarik dan tak mudah dipahami.

Manajer Erasmus Huis Kedutaan Kerajaan Belanda, JJM Joyce Nijssen berharap lawatan musik DeWolff memungkinkan untuk terkoneksi antara musisi Indonesia dan Belanda. Termasuk mengkombinasi dengan instrumen musik tradisi Nusantara.”Potensi kerjasama kebudayaan terbuka luas,” katanya.
Konser diselenggarakan di Malang lantaran Malang dikenal sebagai barometer musik rock di Indonesia. Sehingga diharapkan menumbuhkan kembali kejayaan musik rock. Selain itu, menjalin kebudayaan lintas Negara antara Indonesia dan Belanda.
Termasuk menggandeng band Malang Remissa, sebuah band yang dibentuk musisi muda. Mereka adalah mahasiswa yang menggeluti musik bergenre grunge. Sebagai band pembuka Remisaa mampu menunjukkan keterampilan bermusik. Lirik yang sarat kritik menyuarakan isu politik, sosial dan lingkungan.
Kolaborasi
Remissa beranggotakan tiga personil terdiri dari Rizky Muhammad vocal dan gitar, Baron Wisnumurti bass dan Bintang Mahatma bermain drum. Band terbentuk 2014 saat ketiganya masih menempuh kuliah di Malang. Remissa telah menghasilkan dua album.
Album kedua “Tegangan Tinggi” menyuarakan mengenai Pemilihan Presiden. Kini tengah meluncurkan video lirik berjudul satu garis. Karya lagu Remissa banyak membicara isu politik Indonesia saat ini.
Remissa beranggotakan tiga personil terdiri dari Rizky Muhammad vocal dan gitar, Baron Wisnumurti bass dan Bintang Mahatma bermain drum. Band terbentuk 2014 saat ketiganya masih menempuh kuliah di Malang. Remissa telah menghasilkan dua album.
Album kedua “Tegangan Tinggi” menyuarakan mengenai Pemilihan Presiden. Kini tengah meluncurkan video lirik berjudul satu garis. Karya lagu Remissa banyak membicara isu politik Indonesia saat ini. Musisi folks Iksan Skuter turut menemani Remissa beraksi di atas panggung.
Iksan Skuter seolah menguasai panggung, mencabit gitar dan meliak-liuk atraksi dia tas panggung. Iksan mampu mencuri perhatian penonton, meski hanya tampil satu lagu di atas panggung bersama Remissa.
Salah seorang penonton M. Nashir mengakui penampilan DeWolff memukau. Ketiga personil DeWolff berhasil membangun harmoni dalam setiap lagu yang ditampilkan. Tak menonjolkan kemampuan individu tetapi bergantian memberi porsi yang sama. Sehingga lahir lagu mempengaruhi emosi penonton.
“Mereka mampu menghadirkan musik genre musik Blues Rock dan Progresif Rock era 1970-an,” katanya. Nashir menilai DeWolff patut diteladani musisi di Kota Malang. Kolaborasi dan bekerjasama dalam bermain musik patut dicontoh musisi muda di Kota Malang.
“Saya sangat menikmati pertunjukan mereka sepanjang konser.”
Menutup konser, DeWolff berkolaborasi dengan instrumen musik tradisi asal Dayak, Sapek. Dentingan Sampek menghipnotis para penonton yang hadir. DeWolff mampu mengatur nada, irama dan melodi dengan musik tradisional. Sapek koleksi MMI dimainkan Vigil, musisi muda asal Malang.
Pablo memanggil Remissa diajak ke atas panggung. Mereka turut berkolaborasi. DeWolff, Sapek dan Remissa menutup dengan lagu Bento. Lagu karya Iwan Fals yang saat itu diciptakan untuk mengkritik pemerintah Orde Baru. Sapek selaras dengan gitar listrik, menghadirkan harmonisasi.
Para penonton
juga diajak bernyanyi bersama. Salah seorang oenonton meraih mikrofon dan
menyanyikan lagu khas OI. Tepuk tangan bergemuruh, setelah lagu Bento selesai
berkumandang.

Jalan, baca dan makan