Mengapa Tak Ada Lagi Kunang-kunang di Waktu Malam

Sehingga, kata ani-ani, lumpang, alu, luku, garu dan kosakata-kosakata pertanian lama benar-benar tidak lagi dikenal oleh generasi milenial, karena mereka tidak menemukan visualnya lagi. Juga kunang-kunang, atau makhluk-makhluk lain yang punah entah kenapa.

Ilustrasi. (Sumber: Merdeka.com)
Iklan terakota

Terakota.id Perkembangan dan dinamika kata-kata baru, dewasa ini dipercepat oleh melejitnya pemanfaatan teknologi. Sehingga, ia terkait dengan konteks revolusi industri 4.0 dengan segala ciri dan konsekuensinya. Perkembangan teknologi memicu kemudahan hidup, sehingga kebiasaan lama (tradisonalitas), ikut berubah.

Pada 1960-an, Soe Hok Gie melaporkan perjalanannya dari Amerika, dan dia mengisahkan tentang kenyamanan-kenyamanan hidup manusia modern, ketika semakin banyak rumah tangga yang memakai mesin cuci dan kulkas. Ketika itu pula, ilmu sosial banyak berkonsentrasi pada isu modernisasi. Bab pertama tentang diskusi modernisasi, ialah membedakannya dengan yang tradisional.

Masyarakat-masyarakat tradisional di negara-negara berkembang, dicatat sebagai kelompok yang rentan menolak perubahan, ketika modernisasi hendak menyasar mereka. Karenanya para perancang dan pelaksana pembangunan akan berhadapan dengan kondisi tradisonalitas itu, diharapkan mengetahui atau memahami ciri-ciri spesifiknya, serta tetap mampu melakukan perubahan, modernisasi, tanpa harus menuai resistensi yang berarti.

Di Indonesia, misalnya, kita bisa melacak kembali, bagaimana pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan Keluarga Berencana (KB). Bagaimana reaksi kalangan tradisional keagamaan? Pada mulanya, banyak yang kontra, tetapi dengan pendekatan yang tidak semata-mata politik, tetapi juga komunikasi kultural, yang terjadi sebaliknya: para tokoh agama menyatakan dukungannya.

Dulu, dekade 1950-an, 1960-an dan seterusnya, ketika modernisasi menjadi jimat sakti pembangunan, semua diarahkan ke sana. Wacana keagamaan, juga dikaitkan dengan gerak langkah modernisasi. Nurcholish Madjid misalnya, termasuk cendekiawan Muslim yang sangat getol mengkampanyekan isu-isu modernisasi yang selaras dengan semangat kemajuan Islam.

Penjelasannya dalam berbagai makalah memang kemudian memicu polemik panjang. Misalnya, ketika dia menyebut keharusan sekulerisasi, agar tidak mencampurkan yang sakral dan yang profan. Dari sisi leksikografi, muncul kosakata-kosakata baru yang populer ketika itu: sekulerisasi, westernisasi, cetak biru, dan sebagainya.

Perkembangan sejarah dari pasca-perang dunia kedua menuju perang dingin, seiring pula dengan kampanye perebutan pengaruh blok Barat dan Timur ke semua negara, tak luput dari konteksnya. Modernisasi merupakan proyek yang tak lepas dari gencarnya ilmuwan sosial Barat yang tampaknya memang disengaja untuk “mengajari” negara-negara di luar Barat yang baru merdeka dan berkembang, bisa maju seperti mereka. Dalam pandangan Nurcholish, modernisasi memang tak terelakkan, tetapi modernisasi tidak identik dengan westernisasi.

Westernisasi atau pembaratan memang wacana yang bukan dimulai 1960-an di Indonesia, tetapi setidaknya sudah sejak polemik kebudayaan terjadi, 1935-1940 antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan yang lain. Pendapat Alisjahbana mengesankan dia pembela westernisasi, kalau Indonesia mau maju tirulah Barat. Walaupun, pada 1970-an, Alisjahbana menjelaskan ulang pendapatnya itu dalam wawancara dengan majalah Prisma, bahwa Barat juga tidak konsisten dengan dirinya sendiri.

Westernisasi yang habis-habisan dilakukan ialah di Turki. Adalah Mustafa Kemal Ataturk yang melakukan itu. Dia memunculkan Turki modern sebagai Turki yang ingin sama dalam segala hal dengan Barat. Tradisionalitas dibabat habis, westernisasi dilakukan bahkan sampai ke dataran simbolik. Namun, yang unik ialah ketika lantas dia berkebijakan mengubah abjad Arab ke latin. Maka, pekerjaan ahli bahasa hiruk-pikuklah saat itu.

***

Sekarang kita sudah melampaui kenang-kenangan itu, dan kita dipaksa untuk merenungi masa depan: apa yang bisa dilakukan agar kita bisa beradaptasi. Adaptasi yang terpenting ialah, kita harus bisa memanfaatkan piranti-piranti teknologi yang serba canggih dan berkembang pesat. Inipun cukup mempengaruhi gaya hidup. Orang berupaya mengendus informasi terbaru telepon seluler. Yang sudah dianggap tercanggih hari ini, siapa tahu sudah tergusur, terdisrupsi oleh yang lebih canggih lagi.

Adaptasi yang kedua, yang tidak kalah penting ialah, adaptasi kebahasaan. Dalam bingkai besar revolusi industri 4.0 serta hal-hal yang menjadi antitesisnya, telah menimbulkan banyak kosakata baru hadir. Kehadirannya seringkali di luar dugaan. Ada hal-hal yang secara spontan menjadi kesepakatan informal tentang kebiasaan tertentu, yang mengemuka menjadi istilah populer dan lantas dibakukan. Para leksikograf, tidak boleh ketinggalan kereta dalam merekam perkembangan istilah-istilah itu.

Dalam kasus temuan kata “post-truth” atau pasca-kebenaran, misalnya, ia dapat kita intip perkembangannya di dalam situs pencarian Google: seberapa sering orang mencari kata itu. Pada 2016, jumlahnya tinggi sekali, sehingga lantas Kamus Oxford mencatatnya sebagai kata tahun ini. Pada 2016 itu pula otoritas perkamusan Oxford memberi definisi kata tersebut.

Tentu tak hanya post-truth, tapi juga banyak kata lain yang muncul belakangan, seiring dengan dampak sosial, politik dan sebagainya, yang ditimbulkan oleh kecanggihan teknologi. Tetapi setidaknya, kata post-truth menjadi semacam pintu masuk ke arah kesadaran yang lebih luas: betapa banyak dan perlunya kata-kata baru itu ditangkap oleh para leksikograf.

***

Tidak saja kulkas dan mesin cuci yang sekarang dianggap sebagai benda ajaib yang membuat manusia modern nyaman, tetapi juga ragam lainnya, yang dulu tak terbayangkan. Perkembangan teknologi komputasi, internet untuk segala (internet of things), semakin terakumulasinya mahadata (big data) dan sebagainya, membuka peluang-peluang baru bagi timbulnya kenyamanan atau termanjakannya manusia. Dan, ini bisa memicu masalah-masalah baru yang muaranya ialah justru membuat manusia zaman kenyamanan ini menjadi rapuh secara spiritual.

Sudah banyak ulasan mengenai topik seperti itu. Bahwa ketika kecerdasan buatan (artificial inteligent, AI) banyak menggantikan fungsi-fungsi pekerjaan manual, manusia tak disibukkan dengan ikhtiar yang terkait dengan mencari kedalaman makna. Karena, semua sudah serba instan, tergantikan mesin. Hal-hal yang bersifat data, analisis data untuk tujuan tertentu, secara cepat tersaji dengan tingkat akurasi yang tinggi. Itulah kerja AI.

Memang, sebagaimana dikatakan Mendikbud Muhadjir Effendy, pada akhirnya yang tersisa memang konteks keunikan manusia yakni, kemampuan kreatifnya. Manusia masih punya beda yang nyata dibanding AI, yakni kreativitas. Tantangan utama leksikograf di abad kita ialah, menggunakan daya kreatifnya itu untuk mencatat perkembangan-perkembangan baru yang memungkinkan kosakata-kosakata baru hadir. Tetapi, mereka juga berjasa dalam mengawetkan kosakata-kosakata lama, dalam pertanian, perpolitikan dan sebagainya, ketika kosakata baru datang menggusur dan menimbun yang lama.

Apakah ke depan, dengan banyaknya kosakata baru berarti semakin membuat kamus-kamus kita menjadi museum kata-kata? Barangkali demikian. Hal ini diakibatkan oleh daya disruptif teknologi modern yang semakin berkemampuan cepat mengganti yang lama. Sehingga, kata ani-ani, lumpang, alu, luku, garu dan kosakata-kosakata pertanian lama benar-benar tidak lagi dikenal oleh generasi milenial, karena mereka tidak menemukan visualnya lagi.

Juga kunang-kunang, atau makhluk-makhluk lain yang punah entah kenapa.***