Terakota.id–Bulan Agustus akan tiba tak sampai satu bulan lagi. Di bulan Agustus tahun 2021 ini, bangsa Indonesia akan merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-76. Dan, kemungkinan besarnya adalah ini akan menjadi Agustus kedua kita merayakannya di bawah situasi pandemi, yang bukannya memudar melainkan justru bertambah-tambah hebatnya. Jumlah warga yang terinfeksi terus mencatatkan rekor tertinggi selama sebulan terakhir ini. Sampai saat ini, jumlah total warga yang terinfeksi menembus angka 3 juta jiwa, dengan angka kematian harian yang bertambah memilukan.
Di tahun-tahun sebelumnya, pada momen Agustusan, saya kadang bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa para pahlawan dan pejuang kemerdekaan berhasil membebaskan diri dan memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah. Tantangan mereka tentunya sangatlah besar.
Bagaimana tidak? Yang mereka hadapi adalah raksasa-raksasa Perang Dunia II, baik dari pihak Jepang maupun terutama Sekutu. Dari segi persenjataan perang, jelas kita kalah besar. Kita tidak memiliki pesawat tempur. Jepang dan Sekutu memiliki ratusan atau bahkan ribuan. Kita tidak memiliki tank. Jepang dan Sekutu punya ribuan yang sudah teruji di berbagai medan. Kita tidak memiliki tentara yang terorganisasi rapi, dengan strategi perang yang disusun cermat. Jepang dan Sekutu punya jutaan pasukan profesional dan bayaran yang siap mati.
Lalu, apakah itu yang membuat para pendiri bangsa (founding fathers) yakin untuk melanjutkan perjuangan mereka menghadapi tantangan yang sedemikian besar? Ibaratnya, mereka tidak hanya perlu mendaki bukit, tetapi merangkak mendaki gunung.
Salah satu hal yang, menurut saya, menabalkan niat para pemimpin awal Republik untuk berjuang adalah keyakinan bahwa rakyat yang berada di belakang mereka, mendukung mereka. Apakah itu berarti waktu itu mereka sudah memiliki pengetahuan terukur dan teruji bahwa mereka mendapat dukungan rakyat berdasarkan, minimal, poling atau jajak pendapat? Pastinya, tidak. LSI, Indobarometer, Charta Politika, dan seterusnya terpikirkan pun belum.
Perjuangan yang hasilnya memuncak dalam proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sudah diawali sejak awal abad ke-20 dan menjadi resmi ketika para pemuda mengucapkan Sumpah Pemuda pada 1928. Kata ‘Indonesia’ menjadi kata sakti yang mempersatukan berbagai pandangan dan perbedaan.
Dalam dan dengan kata ‘Indonesia’ itu, para penggagas dan pemimpin pergerakan kemerdekaan membangun solidaritas dan ikatan terbayang di antara mereka. Di seputar kata ‘Indonesia’, diciptakanlah cerita-cerita atau mitos mengenai kejayaan dan kegemilangan masa lampau, dan keekaan dalam hal berbangsa, bertanah air, dan berbahasa (Sumpah Pemuda).
Itulah sebabnya, ketika kita belajar sejarah Indonesia di bangku Sekolah Dasar sampai SMA, guru-guru kita akan membawa kita pada pembahasan jauh sampai kepada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, dengan dwi-puncaknya pada Sriwijaya dan Majapahit. Yang ingin ditanamkan ke benak kita sebagai siswa adalah bahwa ‘Indonesia’ itu sesuatu yang sudah berakar-menyejarah dan pernah jaya sebelum kedatangan para penjajah.
Kejayaan itulah yang perlu kita pelajari dan gali. Itu dikarenakan kita ingin mengulanginya atau menggelorakannya kembali dalam lingkup Indonesia modern. Dengan kata lain, yang diajarkan kepada kita adalah mitos tentang Indonesia yang diinginkan oleh para pemimpin agar kita percayai, agar kita kuat dan sanggup menghadapi penjajah yang ‘seribu kali’ lebih kuat dan terorganisasi. Daud membutuhkan cerita tentang Allah yang menyertai dan menguatkannya agar dia berani menghadapi Goliath.
Mitos Baru untuk Mengikat Solidaritas Melawan COVID
Saat ini, para pemimpin dan pejabat pemerintahan Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kalah besar dengan tantangan yang dihadapi para pejuang dan pendiri bangsa. Tantangan itu adalah dalam wujud bagaimana menghadapi dan mengalahkan virus COVID yang telah merusak banyak segi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dan, bangsa Indonesia tidak sendirian menghadapi masalah ini, karena seluruh dunia pun menderita karena pandemi ini. Namun, dalam konteks kebijakan dan langkah-langkah penanganan, identitas nasional ternyata tetap mengemuka, mengalahkan solidaritas internasional dan global.
Untuk dapat menghadapi dan mengalahkan pandemi ini, para pemimpin tidak dapat melakukannya sendiri. Mereka butuh dukungan sebagian terbesar rakyat yang berdiri di belakang mereka, yang siap mendukung langkah-langkah strategis dan konkrit yang mereka rencanakan.
Realitasnya, bagaimana rakyat Indonesia sekarang ini di hadapan pandemi? Sekitar 17 persen warga Indonesia tidak percaya bahwa COVID itu benar-benar ada dan mengancam, atau bahwa itu adalah bencana dan tantangan yang mesti dihadapi bersama. Tujuh belas persen dari 270 juta jiwa rakyat Indonesia setara dengan 46 juta. Jumlah yang tidak sedikit.
Belum lama ini, misalnya, ada berita tentang emak-emak di Sumatra Barat yang menyatakan bahwa COVID itu tidak ada di sana dan bahwa mereka bebas dari prokes. Dia bahkan mengajak orang untuk tidak usah tunduk dan patuh pada anjuran pemerintah yang zolim.
Sekilas, kira-kira begitulah potret masyarakat kita. Tidak semuanya berada sepenuhnya di belakang pemerintah dengan langkah-langkah yang telah disusun untuk menghadapi dan mengalahkan pandemi COVID. Tetapi, memang hanyalah ilusi untuk menciptakan ketundukan penuh pada pemerintah (dan itu justru bisa menjadi bumerang pada waktunya nanti). Namun, untuk mengalahkan COVID, kita tetap butuh herd immunity di mana sekitar 70-90% rakyat telah kebal berkat vaksinasi.
Bisa dikatakan berat sekali langkah bangs akita sekarang ini. Bahkan dengan dijalankannya PPKM Darurat (atau berlevel) selama bulan Juli ini, tidak sedikit warga yang nggendoli. Cara-cara persuasif dan ‘represif’ bisa jadi cara yang mudah untuk diambil, meskipun ‘biaya’-nya tidak sedikit.
Di sinilah, kita perlu belajar dari sejarah. Bukan sejarah tentang keindonesiaan yang sudah ada sejak zaman Majapahit, karena itu tidak ada. Itu hanya mitos. Tetapi, justru cara kerja mitos dalam sejarah itulah yang bisa kita tiru dan replikasi saat ini.
Pemerintah perlu mengajak para ilmuwan sosial, pencipta konten, dan pemasar untuk menganggit dan merekayasa suatu mitos tentang COVID sebagai musuh bersama yang harus dilawan. Persis seperti mitos bahwa Belanda adalah penjajah yang keji dan merampok kekayaan selama 350 tahun; meskipun tidak semua yang Belanda lakukan merugikan dan tidak semua orang Belanda keji.
Intinya, pemimpin dan pejabat perlu merangkul kalangan yang paham bagaimana psikologi sosial berjalan sehingga rencana-rencana strategis mereka untuk mengatasi COVID mendapatkan dukungan yang semakin luas. Kalau perlu, ciptakan mitos yang baru di mana intinya bukan apakah isi mitos tersebut benar atau salah, tetapi bahwa mitos itu mampu menggerakkan orang untuk mendukung langkah penanganan pandemi COVID 19.
Mitos itu bisa sesederhana penggambaran COVID sebagai raksasa jahat yang hendak memangsa putri jelita. Atau slogan-slogan yang catchy dan terus diulang-ulang, seperti: NKRI Harga Mati, Nggak Pakai Masker Lo Bisa Mati. Para ilmuwan dan psikolog sosial tentu paham dengan baik terkait rekayasa sosial untuk menciptakan dan menjalankan mitos semacam ini.
Pandemi COVID 19 ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keberlangsungan hidup bangsa. Ini perlu ditanggapi secara serius sekali. Keseriusan menanggapinya bisa terlihat dalam dilibatkannya sebanyak mungkin pihak dalam menanganinya, termasuk para ilmuwan sosial, psikolog, penulis konten, dan pemasar.
Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.