
Terakota.id–Pada pertengahan bulan Juli 2021, beredar di media sosial berbagai pesan yang isinya seragam yaitu mengajak untuk berhenti mengabarkan kabar buruk tentang pandemi Covid-19. Ajakannya adalah hanya mengabarkan informasi yang positif alias baik-baik saja. Beredar luas di berbagai platform media sosial dan aplikasi percakapan, adanya pesan seperti ini berpotensi membuat masyarakat abai tentang bahaya Covid-19 yang masih terus mengintai.
Melonjaknya kasus Covid-19 di bulan Juli 2021 sebenarnya telah diprediksi oleh para ahli terutama ahli epidemiologi. Pemerintah yang tidak konsisten melakukan pembatasan mudik Idul Fitri, masuknya warga negara asing sebagai yang tidak terawasi dengan baik, kebebalan sebagian masyarakat yang nekat mudik, ketidakpatuhan untuk menegakan protokol kesehatan dan munculnya varian Delta dari India membuat kasus Covid-19 menjadi tidak terkendali.
Ketidaksiapan pemerintah dalam mengalokasikan fasilitas kesehatan semakin membuat kondisi menjadi semakin karut marut. Di Yogyakarta misalnya, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito mengalami kekurangan pasokan oksigen. Beredar di berbagai media sosial dan aplikasi percakapan tentang kurangnya pasokan oksigen di rumah sakit terbesar di daerah ini.
Namun, seperti biasa pemerintah daerah terkesan menutupi apa yang terjadi dengan menyatakan bahwa bukan semua pasien yang meninggal bukan hanya disebabkan oleh kurangnya pasokan oksigen melainkan karena faktor penyakit bawaan. Alasan yang sesungguhnya tidak menjawab persoalan, karena memang faktanya ada pasien yang meninggal karena kurangnya pasokan oksigen.
Kabar buruk tentang persoalan ini terus beredar luas di media massa, media sosial dan aplikasi percakapan. Kenyataan bahwa terjadi persoalan serius dalam penanganan pandemi memang tidak bisa dipungkiri. Di tengah kenyataan ini munculah ajakan untuk berfikir positif dengan alasan untuk meningkatkan imunitas dengan bentuk ajakan untuk tidak lagi menyebarkan pesan tentang Covid-19.
Ajakan untuk berfikir positif dengan tidak menyebarkan pesan Covid-19 justru mengundang beberapa implikasi yang berbahaya. Pertama, ajakan seperti ini menjadikan masyarakat menjadi bias informasi. Hanya informasi yang dipilah yang disebarkan ke publik. Fatalnya, informasi yang disebarkan ke publik adalah informasi yang menutupi realitas. Informasi tentang pandemi Covid-19 masih mengancam justru semakin dipinggirkan.
Kedua, bias informasi di atas akan menyebabkan masyarakat abai terhadap bahaya Covid-19 yang masih mengancam. Terlena dengan informasi yang bias, masyarakat akan terjebak pada ilusi kontrol tentang keyakinan berlebihan bahwa mereka bisa mengendalikan situasi eksternal. Fakta bahwa situasi eksternal belum terkontrol dengan baik menjadi terabaikan. Kondisi ini menjadikan masyarakat menjadi abai dengan protokol kesehatan karena mereka merasa situasi eksternal telah terkontrol dengan baik. Kontrakdiksi antara ilusi dan realitas terjadi dalam alam pikiran yang terjebak dalam bias kontrol.
Ketiga, ajakan untuk mengabarkan kebenaran semu ini bertolak belakang dengan peranan media massa. Mengikuti amanat pasal 6 Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 disebutkan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; dan melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dengan demikian, menghentikan informasi tentang Covid-19 berarti menghalangi hak masyarakat untuk mengetahui serta mendapatkan dan menyebarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Keempat, ajakan untuk berhenti mengunggah berita tentang bahaya Covid-19 akan membahayakan mitigasi penanggulangan dan pencegahan penyebaran Covid-19. Berhenti mengunggah informasi tentang Covid-19 akan menyebabkan bias informasi tentang penyebaran Covid-19 yang membuat masyarakat menjadi tidak tahu dengan pasti daerah mana yang sedang mengalami lonjakan kasus.
Demikian pula penyaluran bantuan pun bisa tersendat. Dalam beberapa kasus, viralnya pemberitaan di media massa dan informasi di media sosial telah membuat pemerintah menjadi lebih tanggap. Kasus kelangkaan oksigen di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito yang menjadi viral adalah salah satunya. Viralnya kasus ini telah membuat pemerintah memasok oksigen.
Jika memang yang diunggah adalah hal yang benar-benar positif sesuai realitas, maka tentu sangat bisa diterima dan diapresiasi. Namun jika ajakan mengunggah hal yang positif hanya berupa ilusi kepalsuan yang dikemas seolah positif maka sudah seharusnya ajakan itu dihentikan, agar tidak ada korban lagi dalam pandemi ini.
