Mengabadikan Perayaan dalam Bingkai Kartu Pos

mengabadikan-perayaan-dalam-bingkai-kartu-pos
Repro buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe
Iklan terakota

Terakota.idKartu pos menjadi media komunikasi antar penduduk, sebelum tergerus kemajuan teknologi yang melahirkan surat elektronik dan media sosial. Kartu pos juga berisi foto yang mengisahkan tradisi, dan kehidupan. Sejarawan Olivier Johannes Raap menyajikan kisah seabad silam melalui kartu pos yang dikoleksinya. Kisah mengenai kehidupan masyarakat Jawa dihimpun dalam buku berjudul Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe, Kepustakaan Populer Gramedia, 2015.

Sebuah buku sejarah berisi foto yang dikejaskan dengan teks. Melalui kumpulan foto kartu pos, Olivier melakukan riset serius untuk melacak lokasi foto, memeriksa peta dan banyak bertanya. Sumber terpenting keterangan berasal dari buku kuno berbahasa Belanda dan keterangan orang generasi tua. Salah satu bagian dari buku tersebut terdiri atas perayaan atau hari raya.

Tradisi Pekanan

Repro buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe

Delapan orang duduk bersila di atas tikar, meriung sembari memegang rebana. Cangkir teh tersaji, disuguhkan bagi yang mendaras puji-pujian yang dibaca dari kitab yang diletakkan di atas bantal. Potret kartu pos berjudul Zingen van heilige liederen op een Donderdag-avond (melantunkan puji-pujian pasa kamis malam).

Sholawat diselingi parikan atau pantun berbahasa Jawa diiringi alat music pukul. Salah satunya instrumen musik rebana yang disebut terbang. Sehingga kesenian ini disebut terbangan. Bagi umat Islam, hari Jumat merupakan hari raya Pekanan yang dimulai matahari terbenam saat maghrib pada hari Kamis.

Bagi kepercayaan Jawa, Jumat Kliwon dianggap hari keramat. Berdasar kosmologi tradisi Jawa, malam Jumat Kliwon komunikasi antara manusia dengan dunia lain berlangsung lancar. Banyak yang meyakini malam Jumat Kliwon hantu bergentayangan.

Sedekah

mengabadikan-perayaan-dalam-bingkai-kartu-pos
Repro buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe

Aneka hidangan tersaji dalam sebuah piring, lelaki dewasa duduk bersila meriung mengenakan kemeja dan udeng. Sebuah acara sedekah diabadikan dalam sebuah kartu pos berjudul Offermaal (sedekah). Diterbitkan Atelier H. Salzwedel di Surabaya pada 1909. Tersaji nasi, ikan, sate dan aneka jenis buah, ayam ingkung, dan teko minuman.

Aktivitas sedekah ini dipotret forografer H. van Ingen, di Surabaya. Sedekah bermakna religius. Sedekah dilangsungkan pada peringatan hari besar, tolak balak, meminta berkah, peringatan orang meninggal dan peresmian gedung atau rumah baru.

Inti acara sedekah memanjat doa, mengucap syukur kepada Tuhan memohon keselamatan. Acara sedekah di Jawa disebut selamatan. Usai berdoa, dilangsungkan makan bersama dan sebagian dibungkus dibawa pulang untuk keluarga di rumah.

Pawai Sedekah Bumi

mengabadikan-perayaan-dalam-bingkai-kartu-pos
Repro buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe

Iring-iringan lelaki dewasa memanggul tandu berbentuk rumah dalam sebuah. Berisi bermacam hasil panen terdiri atas sayuran, umbi-umbian, dan buah-buahan. Upacara selamatan sebagai wujud syukur ini tergambar dalam kartu pos berjudul Inlandsche optocht (Pawai pribumi atau selamatan) di Lembang, 1920. Diterbitkan Kolff and Co, Batavia.

Upacara ini sebagai ungkapan atas hasil bumi yang melimpah. Melantunkan doa, sembari diiringi kesenian daerah. Selain selamatan, upacara ini dilangsungkan untuk merayakan Maulid Nabi.

Sekaten

mengabadikan-perayaan-dalam-bingkai-kartu-pos
Repro buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe

Upacara sekaten merupakan pesta rakyat tahunan yang dilangsungkan memperingati Maulid Nabi Muhammad, SAW. Upacara ini adabtasi dari pesta panen zaman Kerajaan Majapahit. Sekaten bersalin menjadi pesta bernafas Islam pada zaman Kerajaan Demak. Kemudian dilestarikan secara turun temurun oleh Kerajaan Mataram hingga sekarang.

Pesta dibuka mulai tanggal lima dan puncak grebek berlangsung pada hari ke-12 pada bulan Maulid, yakni kelahiran Nabi Muhammad, SAW. Pesta sekaten berbentuk pasar malam besar yang dikunjungi keluarga.

Banyak kisah asal mualasa sekaten, salah satunya menyebut berasal dari sekati. Yakni gamelan besar yang diberi nama Kanjen Kyai Sekati, dimainkan di pesta tersebut. Dua set gamelan di sisi utara dan selatan Masjid Agung. Gamelan dimainkan secara bersamaan selama tujuh hari sampai 11 Mulud.

Garebeg 

mengabadikan-perayaan-dalam-bingkai-kartu-pos
Repro buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe

Sejumlah gunungan atau tumpeng besar dibuat di keraton diarak, dipanggul menuju masjid terekam dalam sebuah kartun pos berjudul Garebeg  di Solo 1928. Gerebeg merupakan perjamuan sultan bersama rakyat. Puluhan prajurit berjaga dan mengawal acara sampai selesai.

Ada dua jenis gunungan, satu gunungan laki-laki berbentuk kerucut  dan gunungan perempuan berbentuk seperti bokor besar berjumlah lima buah. Gunungan tumpeng berisi buah-buahan, ke, sayuran, daging dan nasi.

Usai upacara tumpeng diperebutkan rakyat, dianggap membawa berkah yang harus disyukuri. Acara ini menjadi simbol sultan memberi kemakmuran kepada rakyat. Rakyat yang berhasil memperebutkan gununga dibawa pulang dijadikan pupuk. Ada kekuatan magis yang dipercaya meningkatkan kesuburan tanah pertanian.

Hari Raya Pehcun

mengabadikan-perayaan-dalam-bingkai-kartu-pos
Repro buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe

Dua perahu naga beradu kecepatan di kali Ciliwung, Batavia pada 1920. Setiap berahu berisi sekitar 10 orang mendayung, seorang pengemudi dan penabuh gendang. Gendang ditabung berirama menentukan gerakan bersama dalam mendayung perahu naga.

Sementara di tepi kali Ciliwung ratusan orang menonton dan memberi semangat para pendayung. Aktivitas ini diabadikan dalam kartu pos yang diterbitkan Francken’s Cacao en Chocolade, Koog aan de Zaan. Berjudul Pitjoen bij Molenvliet atau Pehcun di  sekitar Molenvliet.

Pehcun berasal dari bahasa Hokkian, peh (mendayung) cun (perahu). Hari Raya Pehcun jatuh pada hari kelima bukan kelima Imlek. Yakni upacara kematian Qu Yuan (243-278 Masehi). Seorang tokoh sejarah Cina, yang menurut legenda terjun dan tenggelam di dasar sungai. Pehcun dirayakan komunitas Tionghoa, dimulai dengan menyantap makanan bakcang dan beradu dayung perahu naga.

Perayaan Cioko

mengabadikan-perayaan-dalam-bingkai-kartu-pos
Repro buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe

Sebuah panggung setinggi tiga meter berdiri di halaman klenteng, tempat peribadatan Tridarma (Konghucu, Tao dan Buddha). Berbagai bahan makanan diletakkan di atas panggung. Sebagai wujud persembahan kepada arwah para leluhur.

Potret aktivitas perayaan diabadikan di atas kartu pos berjudul Chin Choko en Reboentanfeesten. Diterbitkan FB. Smits di Batavia pada 1900. Festival Cioko (hantu kelaparan) dikenal dengan sebutan sembahyang rebutan. Dilangsungkan pada hari ke 15 bulan ketujuh Imlek.

Di bulan ketujuh atau bulan hantu, pintu alam baka terbuka. Para hantu dengan leluasa mengunjungi dunia manusia. Para arwah leluhur berebut menyantap makanan yang disajikan. Usai upacara makanan yang dihidangkan dibagikan kepada masyarakat miskin. Setelah diberi tanda, masyarakat menyerbu panggung. Dijarah oleh kerumunan.

Hari Ratu

mengabadikan-perayaan-dalam-bingkai-kartu-pos
Repro buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe

Sebuah gapura jalan utama di Solo berhias simbol dan lambang Kerajaan Belanda bertulis Leve de Koningin (Hidup sang Ratu). Kemeriahan jalanan dipotret dalam sebuah kartu pos berjudul Keramean di Solo ,Wektoe S.S Poetri Wilhelmina di Makotaken pada 1898. Diterbitkan N/V Solosche Snelpersdrukkerij Sie Dhian Ho.

Kemeriahan menyambut Ratu Wilhelmina naik tahta pada 6 September 1898. Berikutnya, setiap tahun dilangsungkan perayaan Ulang Tahun Ratu Wilhelmina setiap 31 Agustus. Semua jalanan dihias, dan digelar pesta rakyat. Dimeriahkan dengan beragam permainan tradisional.

Karnaval menyajikan kesenian dari komunitas, dan drum band keliling kota. Para petinggi diundang ke gedung pemerintahan bersama-sama bersulang sembari mengucap Leve de Koningin.

Sedangkan bagi para pelajar merupakan liburan terakhir setelah liburan panjang. Hari berikutnya, 1  September kembali masuk sekolah. Setelah merdeka, tradisi ini tetap dilangsungkan dan diadakan setiap 17 Agustus. Untuk merayakan hari kemerdekaan.

Upacara Tetesan

mengabadikan-perayaan-dalam-bingkai-kartu-pos
Repro buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe

Formasi simetris, tujuh orang berpose di beranda rumah mewah seorang bupati. Tiga anak menggunakan kostum dan aksesoris zaman kerajaan Hindu. Seorang anak perempuan duduk di tengah. Berusia sekitar delapan tahun. Pada usia sewindu, sebelum haid pertama digelar tetesan yakni upacara bagi anak perempuan Jawa.

Upacara tersebut direkam dalam kartu pos terbitan EA. Wolff di Tjilajap pada 1900 berjudul Regentskinderen in feestdos (anak bupati berpakaian pesta). Dua anak lelaki berpakaian kostum penari berdiri di kanan dan kiri di samping anak perempuan, lengkap dengan membawa keris. Diperkirakan keduanya merupakan kakak dari si anak perempuan.

Dua anak perempuan duduk bersimpuh di belakang. Diperkirakan keduanya abdi dari keluarga bupati. Sedangkan dua lelaki dewasa duduk di barisan paling luar. Sembari membawa benda pusaka.