Ilustrasi: Eurekastreet.com.au
Iklan terakota

Terakota.id–Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit untuk mengimunisasi anak kembar kami, istri saya dan saya mengobrol ngalor-ngidul sambil menunggu terurainya kemacetan. Kedua anak kami saat itu terlelap, satu di car seat dan yang lain di pangkuan istri. Salah satu topik yang menarik dalam obrolan kami adalah status kami sebagai perantau di kota tempat kami tinggal sekarang. Kami berdua memang berasal dari kota lain dan orang tua serta para kerabat kami tidak berasal atau tinggal di kota ini.

Kami lantas membandingkan kehidupan kami—yang self-reliance—dengan beberapa tetangga kami di perumahan. Muncullah beberapa nama yang dari generasi kakek-nenek, orang tua, anak, dan cucu tinggal di kompleks perumahan yang sama. Biasanya, salah seorang dari generasi tersebut cukup berada sehingga mampu membelikan beberapa rumah untuk anak  dan cucu mereka.

Tentu saja, kami menyadari bahwa ada beragam alasan mengapa orang merantau (atau tidak merantau); beberapa di antaranya bersifat sangat personal dan yang lain sangat praktis. Kami sendiri memutuskan merantau karena alasan pekerjaan. Saya mendapat pekerjaan di kota ini. Di luar itu, ada pertimbangan-pertimbangan ‘romantis’ dan ‘idealis’. Kami ingin menjadi keluarga yang lebih mandiri dan tidak bias dalam mendidik anak-anak kami karena kehadiran kakek-nenek si bocah.

Apa pun itu, alasan kami merantau kami sadari sebagai sebuah hasil dari kebebasan kehendak kami sendiri. Tidak ada pihak mana pun, dengan kuasa apa pun, yang ‘memaksa’ kami untuk meninggalkan kampung halaman kami dan menetap di suatu tempat yang baru.

Merantau atau Diasingkan?

Merantau, seperti saya dan istri saya lakukan, umumnya bersifat sukarela dan didasari terutama oleh pertimbangan praktis dan ekonomis. Namun, terdapat suatu keadaan ketika orang meninggalkan kampung halaman atau bahkan tanah air karena alasan lain yang lebih ‘serius’. Alasan tersebut bisa bersifat politis, ekonomis, tetapi pada umumnya dilandasi oleh pertimbangan keamanan dan keselamatan jiwa. Mereka ini adalah orang yang dipaksa tercerabut dari ‘akar kultural’ mereka. Merekalah para pengungsi, pencari suaka, kaum buangan atau eksil.

Dalam sejarah modern, nyaris selalu dijumpai orang atau kelompok orang yang dipaksa atau terpaksa meninggalkan tanah atau kampung halaman mereka. Mereka ini pergi atau dipaksa pergi karena dianggap berbahaya bagi kalangan penguasa atau rezim. Biasanya mereka meyakini atau memegang ideologi yang berseberangan dengan pemerintah.

Pada zaman kolonial Hindia Belanda, banyak pemimpin pergerakan yang diawasi, diteror, dan lalu dibuang ke tempat yang jauh yang menjadikan mereka terpisah dari tanah dan bangsanya. Soekarno pernah dibuang atau diasingkan ke Ende (1934-1938), Bengkulu (1938-1942), Berastagi (1948), Perapat (1949), dan Muntok di Pulau Bangka (1949). Pasangan Proklamatornya, Mohammad Hatta, juga tidak asing dengan pengasingan. Yang disebut terakhir ini bahkan di buang ke tempat-tempat yang lebih jauh, yaitu di Boven Digoel (1935) dan di Banda Neira (1936-1942). Begitu pun para pejuang atau penggerak semangat nasionalisme yang lain seperti Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, dan lain-lain.

Ketika anak benua India tercabik-cabik oleh perang saudara yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Inggris, yang ditandai oleh terbelahnya negeri itu menjadi India dan Pakistan Barat dan Pakistan Timur (kelak Bangladesh), ribuan atau bahkan jutaan orang tercerabut dari asal-usul dan akar kultural mereka. Mereka harus memilih: tinggal atau pergi, Hindu atau Islam, selamat atau mati. Ketercerabutan tersebut masih terasa hingga kini dan akan membekas entah dalam rupa penyangkalan dan luka batin atau dalam sublimasi.

Ketika pada 1948 Palestina digempur oleh tentara Israel dan negara-negara Arab kacau-balau oleh serangan tentara Zionis yang mendapat bekingan Amerika Serikat, tidak sedikit orang dari kawasan yang bergolak itu meninggalkan tanah air mereka dan mendarat di negeri-negeri baru di Asia Barat, Eropa, dan bahkan Amerika. Salah satunya yang melarikan diri adalah keluarga dari penulis Orientalism (1978), Edward Said.

Sampai sekarang, konflik-konflik politik, militer, agama, sosial, ras, dan ekonomi terus memaksa berpuluh atau beratus juta orang untuk mengungsi dan meninggalkan tanah nenek-moyang mereka. Kepergian mereka dari tanah-tanah tersebut tidak hanya menandai perpindahan badaniah atau ragawi dari orang dan harta benda material mereka, tetapi juga pergerakan budaya, hancurnya mimpi-mimpi, remuknya peradaban, hilangnya nyawa, serta tumbuhnya romantisme akan negeri asal.

Ketika orang dipaksa pergi dan meninggalkan hal-hal yang familiar dan masuk lalu memeluk sesuatu yang asing, yang dirasakan melewati beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah tahap meratapi kehilangan. Pada tahap ini, orang masih benar-benar tidak rela melepaskan apa yang sudah tidak ada dan sudah ditinggalkan. Ada beragam upaya untuk merepresentasikan dan menghidupkan yang hilang tersebut.

Orang yang senasib akan saling mencari, secara reguler saling bercerita dan saling mendengarkan, membangun komunitas, berbagi makanan dan memorabilia.

Tahapan selanjutnya adalah tahapan menatap dan menata. Di sini, orang mulai bersikap realistis dan sadar bahwa mereka hidup di dunia yang berbeda dari yang sebelumnya. Tidak jarang, tahap ini tidak mampu dicapai oleh generasi pengungsi atau eksil pertama, tetapi sedikit lebih mudah bagi generasi kedua atau mereka yang mengungsi pada usia yang lebih muda.

Bisa jadi, itu dikarenakan generasi kedua tidak memiliki ingatan pada tanah asal yang semelekat dan selangsung generasi ayah-ibu mereka. Selain itu, mereka sudah lebih ‘terpapar’ dan bergaul dengan budaya baru tempat mereka tinggal. Banyak dari mereka mungkin juga sudah mengenyam pendidikan di negeri baru mereka dan itu sangat membantu mereka dalam beradaptasi dengan kehidupan di sana.

Namun demikian, terlepas dari adanya tahapan-tahapan tersebut (yang tidak semua mampu lampaui), secara lebih khusus bagi generasi pengungsi pertama, kehidupan baru di negeri asing adalah sebuah tantangan. Mereka merasa seperti seorang yang meriang, atau dalam istilah kerennya, mereka mengalami nervous condition, kondisi yang menggelisahkan.

Di satu sisi, ingatan dan keterikatan mereka pada budaya asal masih sangat kuat dan kerinduan akan kampung halaman kadang terasa sangat menekan. Di sisi lain, mereka harus menghadapi hidup ini dan menerima fakta bahwa mereka menjadi tamu yang asing di negara yang berbeda budaya dan tata nilainya.

Singkatnya, mereka menyadari bahwa mereka sudah tercerabut dari akar mereka. Mereka tidak dapat lagi mengklaim sebagai orang Palestina, orang Timor, orang Afghanistan, orang Libya, orang Kosovo karena mereka sudah pergi dari tanah-tanah tersebut. Pada waktu yang sama, mereka pun amat sadar bahwa mereka bukan (atau belum, atau tidak akan pernah) menjadi orang atau warga penuh dari masyarakat baru yang mereka tinggali.

Mereka ini adalah kaum yang selain meriang ternyata juga ada di tengah-tengah atau berada di in-between. Berada di tengah dan yakin bahwa dia akan bisa kembali ke permulaan atau tiba di suatu tujuan di depan rasanya tidak akan menjadi masalah. Persoalannya adalah keadaan in-between itu seakan tanpa tepi. Untuk kembali ke akar, tidaklah mungkin. Bahkan akar itu pun sesuatu yang dinamis dan tidak menetap. Apa yang mereka bayangkan tentang tanah air adalah hasil pembekuan atas ingatan.

Namun, berada di keantaraan atau in-betweenness tidak selalu bernuansa negatif. Orang yang selalu diingatkan serta sadar bahwa mereka tidak berakar atau telah tercerabut dari akar semula dan belum atau tidak mampu mengakar di tempat yang baru akan selalu menjadi kaum yang sangat dinamis dan amat ‘kreatif’. Mereka ini ibarat berdiri dengan satu kaki di kursi yang lama sementara kaki yang lain sudah bertumpu pada kursi yang baru. Mereka akan terus berusaha mencari keseimbangan agar tidak terguling.

Kedinamisan itulah yang boleh jadi memungkinkan para pengungsi, eksil, buangan untuk menjadi reflektif, kontemplatif, dan tak berhenti berpikir dan merasa. Soekarno melahirkan gagasan tentang Pancasila ketika memiliki waktu untuk berpikir di pembuangannya di Ende. Begitu pun Hatta, Sjahrir, dan para penggerak lain.

Shalman Rushdie, novelis Inggris berdarah Pakistan itu pun menyadari hal tersebut ketika berkata bahwa orang yang berada di keantaraan, yang mau memeluk kondisi menggelisahkan, adalah orang yang paling kreatif. Edward Said menyatakan bahwa banyak dari orang buangan sudah selayaknya menjadi novelis, pemikir, atau pemain catur.

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini