
Terakota.id–Novel “Merdeka Sejak Hati” karya novelis top A Fuadi diluncurkan di Jakarta pekan lalu. Novel ini tentang Pak Lafran Pane, jejak hidup keteladanannnya. Pada 2017 Pemerintah menetapkannya sebagai pahlawan nasional.
Tak saja ia sekadar pemrakarsa dan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947, tetapi juga seorang akademisi dan pemikir ketatanegaraan yang maju pada masanya. Novel itu babak awal dari perjalanan menuju pembuatan film kisahnya.
Terbetik pertanyaan, apa yang hendak dikisahkan dari sosok bersahaja dan tak suka menonjolkan diri ini?
***
Dua tahun lalu, ponsel saya bergetar ketika mobil yang saya tumpangi tengah berada di tol menuju Bintaro. Pagi itu, seseorang mengabarkan, saya ditunggu di istana untuk ikut upacara pemberian gelar Lafran Pane sebagai pahlawan nasional.
Tentu ini mengagetkan, mengingat sebelumnya dikatakan undangan sudah habis. Sebagai bagian dari “panitia”, saya telah mengalah. Agar undangan yang ada diberikan ke para senior yang lebih berhak. Tapi, lantas terkabarkan ke saya, masih ada satu undangan, dan “ditunggu sekarang juga di Istana!”
Saya ragu-ragu memutuskan ketika kabar itu mendadak. Waktunya sudah sangat mepet. Tapi lantas, mobil saya suruh putar balik. Di tengah jalanan yang mecet, saya turun naik ojek online.
Meliuk-liuk di antara kemacetan, dan sesekali membayang wajah Pak Lafran, akhirnya sampai pula saya ke istana. Jas dan dasi telah disiapkan kolega. Sambil berlari-lari sampailah saya di lokasi acara. Dua menit kemudian, Presiden Jokowi masuk, acara dimulai.
Hari itu tulisan saya tentang Pak Lafran dimuat sebuah suratkabar nasional. Pak Malik Fadjar Wantimpres suatu saat berkomentar, kok bisa pas Pak Lafran diberi gelar pahlawan, “Anda sudah nulis?” Ya, tentu karena saya sudah menyiapkan tulisan itu, mengontak kolega yang sudah jadi senior di suratkabar itu, agar dimuat.
***
Ketika Pak Lafran meninggal pada 1990, saya belum mahasiswa. Barulah setahun kemudian saya jadi mahasiswa. Pada 1992 saya masuk HMI. Tapi, masuknya saya ke organisasi itu, bukan karena terinspirasi nama Pak Lafran. Bahkan saya pun tidak ngeh dengan nama itu.
Ketika ketua komisariat HMI setempat melobi saya supaya masuk HMI, akhirnya saya bersedia karena terkenang nama-nama besar. Saya sebut Nurcholish Madjid, Dahlan Ranuwihardjo, Deliar Noer, M Dawam Rahardjo, Akbar Tandjung, Ridwan Saidi, Fachry Ali, Azyumardi Azra, Bahtiar Effendy, dan sederet lainnya, termasuk rektor kampus saya, A Malik Fadjar.
Nama-nama itu saya ketahui ketika sejak SD saya ikut membaca Panji Masyarakat, majalah yang dilanggani ayah saya.
Dan, lagi-lagi, tak terkenang sama sekali dalam benak, nama Lafran Pane. Nama itu sepintas lalu saja melekat, ketika pemateri menyampaikan sejarah HMI. Disebut, bahwa dia pendirinya. Dan memang demikian adanya, bahwa salah satu keputusan kongres HMI di Bogor tahun 1974 ialah penegasannya. Informasi mengenainya lantas, tambah diperkaya oleh buku-buku Agusssalim Sitompul.
Timbul kesan dalam benak saya, saya kira juga para aktivis HMI lainnya ketika itu, kenapa kok Pak Lafran tidak sepopuler para “pendekar” yang tersembul dalam perkembangan HMI?
Ragam jawaban bisa kita catat mengenai hal ini. Tapi, barangkali yang paling penting ialah, jiwa volunter atau kesukarelaannya tinggi. Dia memprakarsai pendirian HMI dengan yang lainnya, dalam semangat menggelindingkan suatu organisasi sukarela di kalangan mahasiswa Muslim. Tujuan mendesaknya ketika itu, mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sekaligus mempertinggi derajat umat Islam.

HMI tentu tidak akan besar, manakala terbatas dan eksklusif, maka Lafran terus bergerak mencari sosok-sosok penggerak yang bisa diandalkan. Maka, tak heran semasa formatifnya, dia rela untuk tidak dalam posisi ketua umum kecuali beberapa waktu saja. Dari sana muncul nama HMS Mintaredja, Achmad Tirtosudiro, Dahlan Ranuwihardjo, Usep Ranawidjaja, demikian seterusnya hingga Deliar Noer, Ismail Hasan Metareum, Sulastomo, Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung.
Dan, ketika tokoh-tokoh penggerak itu bergerak, seiring dengan meluasnya pengaruh HMI di universitas-universitas, seiring dengan itu pula, Lafran Pane “menenggelamkan diri”. Dia memang tak ingin menonjol, cukup melihat “kemajuan HMI” dari jauh. Sesekali di tengah hiruk-pikuk khalayak HMI, dia “menyusup” ke acara-acara. Bahkan, hingga 1970-an, dikiranya dia intel oleh peserta training HMI di Yogyakarta.
Pada Kongres HMI 1966 di Solo, Sulastomo sang ketua umum pernah berkisah, kalau saja dia tak melihatnya, Pak Lafran tidak dapat masuk ke arena kongres. Penyebabnya jelas, para panitia, kader-kader HMI itu, tak ada yang mengenal sosoknya.
***
Beribu kisah tentang keserhanaannya. Integritasnya tinggi. Juga, yang tak kalah, bahkan paling mencolok ialah independensinya, jiwa merdekanya. Akbar Tandjung mengisahkan sikap Pak Lafran yang pandai berdiplomasi kepada para elite Masjumi, sehingga HMI bukan merupakan underbouw partai politik itu.
Tidak saja dalam konteks independensi organisasi HMI yang seringkali dibilang neo-Masjumi, Pak Lafran juga merdeka dalam menentukan sikap-sikap politiknya. Misalnya, dia tak mau teken surat keanggotaan Golkar, ketika diusulkan sebagai calon anggota DPR di usia sepuhnya. Dia juga selalu memberi nasihat sama ketika, para mantan anggota HMI memintanya nasihat berpolitik. Silakan ke mana saja pun.
***
Bab-bab pertama novel ini mengulas kisah masa formatif kanak-kanak dan remaja Pak Lafran. Dia telah menjadi yatim sejak kecil. Kehilangan ibu pada usia dini di satu sisi, dan di sisi lain berada dalam lingkaran kegiatan perjuangan ayahnya dalam mengupayakan kemerdekaan, membuat Lafran bergerak mencari jatidirinya sebagai manusia merdeka.
Dia ingin menunjukkan kepada kakak-kakaknya, terutama Sanusi Pane dan Armjn Pane sebagai dua nama besar yang menyembul dalam sejarah kesusastraan Indonesia era “Poedjangga Baroe”, bahwa Lafran merupakan pribadi yang mandiri, tak bisa diarahkan dan diperintah menuruti kemauan yang dia sendiri tak menginginkannya.

Maka, dan ini juga direkam dalam catatan Agusssalim Sitompul, Lafran menjalani fase remajanya di Medan sebagai “gelandangan”, pun fase Jakartanya sebagai anggota gang remaja, bahkan juga pernah menjalani hidup sebagai petinju di kawasan Senen.
Tapi, lantas Lafran berubah menjadi lebih “religius” setelah menjalani fase-fase keras dalam hidupnya. Bagaimanapun dia santri yang ngaji sejak kecil dari neneknya. Ayahnya pun tokoh Muhammadiyah pula. Dan, sekolahnya di Jakarta, ketika dia dibawa kakak-kakaknya ke sana, ialah sekolah Muhammadiyah.
Ada ragam tokoh di sini, yang menyembul dalam garis hidup Lafran remaja yang “nakal” itu, justru ketika dia bersekolah Muhammadiyah. Antara lain tokoh yang pada 2018 telah ditetapkan pula sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah, yakni Kasman Singodimedjo.
***
Tidaklah mengherankan, manakala karena kakak-kakaknya yang dikenal beraliran “kebangsaan”, dan Lafran pun terpetakan sebagai kelompok “kebangsaan” pula bahkan dia aktif di kelompok “sosialis”, teringat atau terpanggil pula untuk mencari tempat sholat ketika itu.
Dia ikut aktif di Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) ketika itu, tetapi kecewa karena kegiatan keagamaan tak ditemukannya. Maka dia tergerak untuk mencari teman-teman, para mahasiswa yang sadar akan kebutuhan keagamaan, dan lantas terinspirasilah untuk memunculkan HMI pada 1947.
HMI telah bertahan dan berkembang hingga kini. Pada 1965, HMI hampir saja hilang. Kelompok komunis mendesak Presiden Sukarno membubarkan HMI. Tapi, sebagaimana saya catat dalam buku saya “HMI 1963-1966” (2013), HMI terus bisa eksis. Memang lantas pada dekade 1980-an HMI terbelah menjadi HMI dan HMI-MPO, keduanya bertahan hingga kini. Tapi di level alumni, mereka sama-sama bertemu di KAHMI.
***
Novel “Merdeka Sejak Hati” itu, bagian penting menemukan kembali Pak Lafran. Tak hanya komunitas HMI dan para alumninya, tetapi juga publik luas. Pak Lafran telah menjadi pahlawan nasional. Tentu, apa yang dia prakarsai dan dirikan, HMI, telah berkembang pesat (kendati kritik atas “kemerosotan perannya” terus mengemuka), telah menghasilkan beragam manusia Indonesia dengan segala spektrumnya.
Maka, dalam konteks ini, wajah Pak Lafran telah membelah ke berbagai-bagai tokoh, baik yang menyembul sebagai nama-nama besar, maupun mereka yang tidak dikenal nama-namanya, tetapi mampu tampil sebagai “insan cita, pencipta dan pengabdi” bagi kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia.***
* M Alfan Alfian, Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta, dan Pengurus Pusat HIPIIS.

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS