Habiburrokhman alias Bedjo Supangat beradu akting dengan Siti Nurvianti di Gedung Dewan Kesenian Malang, Sabtu 11 Maret 2017. Bedjo berdiri menghadap tiang gantungan yang dibakar. Sedang Siti Nurvianti merapalkan kidung. (Terakota.id/ Muntaha Masyur).
Iklan terakota

Terakota.id–Kain hitam dibentangkan mengikuti lajur pagar gedung Dewan Kesenian Malang (DKM). Menutup akses penglihatan dari luar ke halaman tengah gedung DKM. Sekaligus mereduksi kebisingan jalanan. Halaman tengah gedung Dewan Kesenian Malang (DKM) yang dilengkapi joglo, disulap menjadi panggung pertunjukan yang disesaki penonton. Mereka duduk lesehan menikmati suguhan pementasan teater bertajuk “Eliminasi,” garapan ke-3 Teater Komunitas (Teko), Sabtu malam 12 Maret 2017.

Dua orang, laki-laki dan perempuan berpakaian serba hitam, menghadap papan hitam dan menyemprotinya dengan berbagai warna. Sesekali mereka panjat tangga lipat yang berdiri di depan papan hitam. Usai coret-coret papan, mereka berdua mundur dan saling berpandangan. Keduanya perlahan berjalan menjauh. Namun, saat ada irama ketukan keduanya segera berlari saling menghadap. Bercakap dengan bahasa tatapan dan raut muka. Suara yang diucapkan, seolah bahasa yang tak dimengerti khalayak.

Lantas, keduanya berlari. Perempuan mengejar si laki-laki dan sesekali menjegal. Terus berulang sampai si laki-laki terjatuh dan duduk memeluk lututnya. Wajahnya menyimpan duka, nelangsa. Tiba-tiba ia berdiri kembali, tersenyum dan tertawa. Memeragakan beberapa adegan secara acak. Jumpalitan, menekuk-nekuk tubuhnya, seolah sedang memotret, dan sebagainya.

Sedang si perempuan berdiri mematung menghadap bak besar berisi air. Samar-samar terdengar kidung terapal dari mulutnya. Ia menyirami tubuhnya dengan air dari dalam bak sampai kuyup. Si laki-laki yang kembali duduk memeluk lutut, ia dekati. Ia kembali mengambil air dan memandikan si laki-laki. Keduanya basah kuyup, menggigil.

Si laki-laki kembali berdiri. Mengambil tangga lipat dan membawanya berhadapan dengan sebuah tiang gantungan. Ia melilitkan tali pada tiang itu. Seolah, ia akan melakoni bunuh diri. Ia melepas kaos yang dikenakan, basah dan diperas. Kaos digantungkan pada tali yang ia lilitkan di sebuah tiang. Ia turun dari tangga, dan membakar tiang-tiang gantungan.

Memerankan Diri Sendiri

Siti Nurvianti menghampiri penonyon sambil merapalkan kidung. (Terakota.id/ Muntaha Masyur).

Sekelumit adegan pementasan di atas menjadi bagian konsep teater eksploratif yang dipadukan dalam narasi persoalan kemanusiaan. Eliminasi hadir bagaikan sebuah cermin yang memantulkan konflik diri manusia melalui interaksi subjek dan objek pementasan. Seperti properti dan simbol-simbol pertunjukan lainnya.

“Dalam teater eliminasi ini sebenarnya yang diperankan adalah diri sendiri. Wilayah-wilayah diri manusia sebenarnya kosong, kuasa lingkungan membuat endapan-endapan diri yang membuat manusia semakin jauh dengan dirinya,” jelas Habiburrokhman alias Bedjo Supangat, pemeran laki-laki dalam pementasan, kepada Terakota.id seusai pementasan. Bagi Habiburrahman, ruang teater eksploratif ibarat laboratorium kemanusiaan. Ia menuntut setiap aktornya untuk jujur pada diri sendiri.

“Setiap pengalaman hidup sang aktor berbeda-beda. Masing-masing aktor diharuskan memanggil masa lalunya, baik rasa kecewa, sedih, putus asa. Intinya, setiap diri harus jujur dan siap dengan dirinya,” Habiburrokhman menambahkan. Pementasan Eliminasi ini menggunakan metode spiritual yang menjadi jalan penggalian diri sendiri. Jalan itu ditempuh melalui dua perahu yang dekat dengan latar belakang dan kehidupan sehari-hari para aktor dan kreator.

Penggarapan pentas Eliminasi ini memakan waktu hampir empat bulan. Banyak hal mereka persiapkan. “Satu bulan melakukan riset dan brainstorming. Bulan kedua brainstorming atas materi-materi seperti filsafat, kemanusiaan, tentang diri, dan spiritual. Akhir bulan kedua baru mulai latihan dan aktor sudah harus siap memerankan diri,” terang Habiburrokhman, alumni IKIP Budi Utomo Malang.

Pemahaman diri sang aktor benar-benar digali melalui serangkaian metode. Kegiatan olah tubuh, teknik pernafasan, latihan fokus, merespon, dan proses menggunakan materi di alam (air, tanah, udara, dan api). Tidak berhenti di situ, secara kognitif sutradara dan para pemain melakukan kajian literasi tentang spiritualitas jawa dan islam. Literatur yang berisi kisah Dewa Ruci, konsep Memayu Hayuning Bawono, hingga filsuf muslim Jalaluddin Rumi, mereka lahap demi pencapaian kualitas aktor.

Kedua aktor pementasan Eliminasi telah terasah untuk berkolaborasi secara spontan. Pun, keduanya tangkas merespon simbolisasi ruang pertunjukan. “Dua simbolisasi yang cukup dominan. Air simbol membersihkan diri. Api simbol kekecewaan, marah. Yang jelas energi ruang terkumpul di panggung,” terang Habiburrokhman.

Simbol-simbol dalam ruang pertunjukan menjelma kata yang mengomunikasikan. “Ledakan diri manusia seringkali tidak bisa diwakili oleh kata. Karenanya, symbol-simbol teramat penting,” tambahnya.

Dalam menghadirkan narasi pertunjukan, bebunyian musik turut mewarnai sepanjang pementasan. Seperti Instrumen alat musik gitar klasik, biola, dan bebunyian dari mainan anak-anak.

“Nomor lagu klasik berjudul café 1930 gubahan Astor Piazzolla dihadirkan dalam memaknai spirit untuk memasuki penelusuran diri hingga mencapai sebuah kesadaran tingkat tinggi,”jelas Habiburrokhman.

Habiburrokhman alias Bedjo Supangat dan Siti Nurvianti, dalam memerankan pementasan Eliminasi memakai kostum dan tat rias natural. Kesederhanaan ditampilkan sebagai representasi pelepasan materi dari diri manusia. Juga mempertimbangkan kenyamanan para aktor dalam menyajikan detail gerakan.

Pementasan Eliminasi ini disutradarai Bedjo Supangat (Habiburrokhman). Didukung Dramaturgi Mutia Husna Avezahra, actor Siti Nurvianti dan Bedjo Supangat. Penata artistik Muhammad Kholidur Roziqin dan Wahyu Arianto. Penata lampu M. Ronald Irsyadi dan Yudha A.N. Penata Musik Mariana, Nana Enrica, Lihonk, dan kawan-kawan. Dokumentasi dikerjakan oleh Jerry Febrya Rislyani. Sedangkan tim produksi Lilis Nur Hidayati dan Ahmad Istiqlal.