
MALANG (Terakota.id)-Kendaraan ramai hilir mudik di kawasan Kayutangan atau Jalan Basuki Rachmat Kota Malang. Di persimpangan Kayutangan berdiri sebuah taman tertata rapi, aneka jenis tanaman hias dan bunga warna-warni. Tepat di tengah taman berdiri patung Chairil Anwar setinggi dua meter.
Patung berbahan batu semen, bercat warna merah tembaga itu mulai mengelupas. Di bagian bawah patung bertulis puisi Chairil Anwar yang terkenal ‘Aku’. Sebagian keramik lepas tak terurus. Tepat di bawah patung sampah plastik, rumput kering dan ban bekas berserakan. Patung menghadap ke arah barat membelakangi Gereja Katolik Hati Kudus Yesus atau yang dikenal dengan Gereja Kayutangan.
“Patung Chairil Anwar seperti terasing, sendiri, tak dikenali lagi,” kata Guru Besar Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang, Djoko Saryono, 53 tahun. Patung Chairil Anwar terabaikan setelah kawasan Kayutangan berubah menjadi kawasan ekonomi. Awalnya Kayutangan yang berdekatan dengan Alun-Alun dan Kantor Bupati Malang merupakan ruang kultural dan sosial bagi masyarakat Malang. Berbagai aktivitas kesenian dan kebudayaan tumbuh di kawasan itu, ditunjang kehadiran pertokoan buku bekas di sepanjang Jalan Majapahit. Termasuk gedung Dewan Kesenian Kota Malang yang hanya selemparan batu dari patung Chairil Anwar. Bahkan sejumlah kantor media cetak berada di sekitar kawasan itu seperti Suara Indonesia dan Surabaya Post Biro Malang.
“Gedung kesenian dan gedung film juga berdiri di sekitar situ,” katanya. Sehingga sosio kultural di Malang dimulai di kawasan tersebut. Aktivitas berkesenian tumbuh dan berkembang melibatkan seniman dan akademisi. Sejumlah tokoh kuat yang menggerakkan seperti Hashim Amir, dan Emil Sanossa. Dunia literasi, sastra dan berkesenian katanya, bergairah namun surut seiring berubahnya kawasan Kayutangan menjadi ruang bisnis. Sejumlah gedung pertunjukkan berubah menjadi pusat perbelanjaan, dan kompleks pertokoan.
Guru besar kajian budaya Universitas Negeri Surabaya Henricus Supriyanto, 73 tahun, mengenal patung Chairil Anwar pada 1956 saat menempuh pendidikan Sekolah Guru B atau setara SMP di Malang. Dia melihat patung Chairil Anwar setengah badan itu gagah berdiri di tengah-tengah Kayutangan. Tertarik melihat patung, dia mendekat dan membaca bait demi bait puisi ‘Aku’ yang ditulis di bawah patung. Henricus sangat familiar dengan puisi Chairil Anwar yang terkenal itu. “Saat itu sedang tren deklamasi, membaca puisi karya Chairil Anwar,” katanya.
Saat itu, katanya, setiap 28 April digelar hari Chairil Anwar digelar berbagai pertunjukan seni dan sastra. Pelajar dan pemuda berkumpul untuk menunjukkan kecintaannya terhadap dunia sastra degan mengikuti membaca puisi, dan deklamasi. Serta digelar berbagai drama perunjukan modern. Pertunjukan digelar di gedung Balai Pertunjukan Umum (BPU) tepat di samping patung, sekarang lokasi gedung tersebut berubah menjadi kompleks pertokoan kayutangan. “Saya ikut deklamasi meski tak menang. Lomba deklamasi malam hari, obor menjadi sumber penerangan saat itu,” katanya.
Puisi karya Chairil Anwar dan Armijn Pane yang paling popular dibacakan oleh para pelajar saat itu. Kawasan Kayutangan, katanya, menjadi pusat kesenian. Aktivitas sastra dan drama bermunculan termasuk mengorbitkan nama Emil Sanossa yang kerap menulis naskah drama dan menyutradarai drama modern dipentaskan di gedung BPU kawasan Kayutangan. (bersambung)

Jalan, baca dan makan
[…] puisi! Chairil Anwar lahir dan hadir sebagai binatang jalang yang tak bisa dirayu, yang ingin bebas dari segala, yang […]