Mendidik Secara Virtual

Tiga pakar pendidikan dari Chicago School for Profesional Psichology, USA, Lonnie R Morris, Christine Morse, dan Ta Karra Jones mencoba melakukan terobosan dengan mengidentifikasi tipikal kepemimpinan di era virtual. Morris dan kawan-kawan mengatakan bahwa ada empat kepemimpinan tradisional.

Iklan terakota

Terakota.id Dunia semakin lama semakin berlari tunggang langgang. Kemajuan teknologi dan arus informasi yang semakin deras sudah tidak dapat dibendung lagi. Konektifitas karena internet juga semakin lama semakin menembus batas. Jarak dan waktu bukan lagi menjadi halangan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya.

Jepang memanfaatkan kondisi ini dengan mengkreasikan masyarakat 5.0. Masyarakat yang nantinya disebut dengan smart society ini diaharapkan mampu mengintegrasikan antara realitas kehidupan sehari-hari dengan realitas maya dalam dunia virtual. Teknologi pembayaran dan kesehatan sudah mulai merambah proses digitalisasi.

Perlahan tapi pasti, pendidikan juga menuju ke arah itu. Semakin lama, pendidik sudah tidak lagi mendidik secara konvensional atau bertatap muka dengan peserta didiknya. Melainkan mulai mendidik secara virtual dan memiliki peserta didik dari berbagai penjuru dunia.

Untuk mewujudkan hal itu maka diperlukan kemampuan pedagogis yang mumpuni. Kemampuan pedagogis ini adalah kemampuan untuk mendidik peserta didik. Saah satunya adalah pendidik harus mampu mengondisikan atau memimpin kelas agar situasi belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan konsep yang direncanakan. Jangan sampai pendidik mengonsep pembelajaran aktif tapi peserta didiknya malah pasif, di sisi lain pendidik mengonsep pembelajaran yang membutuhkan tingkat konsentrasi tinggi tapi peserta didik malah asyik bermain sendiri.

Berbagai model pembelajaran dalam kelas telah ditemukan. Tapi model pembelajaran dalam kelas virtual masih dicari dan diraba-raba ketepatanya. Meskipun demikian kemampuan dasar pendidik selain materi adalah kemampuan memimpin kelas. Kemampuan ini yang harus diasah. Percuma apabila materi sudah dikuasai tapi tidak tersampaikan dengan maksimal pada peserta didiknya. Itulah sebabnya pendidik perlu memiliki kemampuan memimpin dalam kelas.

Tiga pakar pendidikan dari Chicago School for Profesional Psichology, USA, Lonnie R Morris, Christine Morse, dan Ta Karra Jones mencoba melakukan terobosan dengan mengidentifikasi tipikal kepemimpinan di era virtual. Morris dan kawan-kawan mengatakan bahwa ada empat kepemimpinan tradisional. Yaitu melayani, transaksional, transformasional, dan kepemimpinan bersama.

Kita akan mencoba membedah model kepemimpinan ini dalam dunia pendidikan yang selama ini kita lakukan. Kepemimpinan melayani digunakan oleh pendidik ketika memberikan pelayanan berupa penyampaian materi hingga konsultasi dengan peserta didik. Kepemimpinan transaksional dilakukan oleh pendidik dan peserta didik berdasarkan kepentingan kedua belah pihak. Transaksi dasar yang biasa dilakukan adalah kesepakatan proses pembelajaran di awal pertemuan. Dalam perkuliahan, hal ini sering disebut dengan kontrak kuliah.

Kepemimpinan transformasional misalnya adalah kepemimpinan yang dilakukan oleh pendidik untuk mentransformasi peserta didik. Contohnya adalah pendidik memberikan penyadaran mengenai etika membuang sampah agar peserta didiknya sadar terhadap kebersihan. Kepemimpinan bersama merupakan kesepakatan hingga kerja proyek bersama yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik. Keempat kepemimpinan ini ternyata merupakan dasar pembentukan kepemimpinan baru di era virtual.

Kepemimpinan baru di era virtual ternyata lebih kompleks. Moris dan kawan-kawan menjelaskan bahwa setidaknya ada enam bentuk kepemimpinan di era virtual. Kepemimpinan ini dapat digunakan ketika pendidik mengajar dalam kelas virtual. Keenam kepemimpinan itu adalah membangun kepercayaan, manajemen konflik, membangun relasi, pemberdayaan, pelatihan, pendampingan, dan manajemen komunikasi.

Penggunaan teknologi untuk pendidikan. (Sumber: https://www.tribunnews.com).

Kepercayaan merupakan poin utama yang harus dimiliki seorang pendidik virtual. Kepercayaan ini menentukan jumlah peserta didik yang tergabung dalam kelas virtual tersebut. Semakin terpercaya pendidik, maka semakin banyak peserta didik yang berminat bergabung dalam kelas virtual. Kepercayaan dapat diperoleh melalui karya yang pernah dihasilkan, penguasan materi, hingga aktualitas topik pembelajaran dengan kondisi yang terjadi. Setelah percaya, maka pendidik perlu membangun manajemen konflik. Upayakan materi yang dismpaikan tidak menimbulkan konflik bagi peserta didik.

Hoaks adalah hal yang perlu dihindari karena berdampak besar menimbulkan konflik. Selanjutnya adalah membangun relasi. Relasi perlu dilakukan dengan peserta didik. Membalas komentar yang diberikan serta memberikan hand out pembelajaran untuk diunduh dan memberikan kontak atau setidaknya akun jejaring sosial merupakan upaya positif yang dapat digunakan untuk membangun relasi. Peserta didik yang tertarik dengan materi yang disampaikan, biasanya cenderung mencari akun jejaring sosial pendidiknya.

Bisa jadi dia ingin mengetahui lebih dalam tentang sosok pendidiknya atau ingin menanyakan materi yang kurang dimengerti. Tahap berikutnya adalah pemberdayaan. Memberdayakan peserta didik merupakan upaya yang tepat dalam kelas virtual. Memberi mereka tugas kemudian dikirim secara daring pada kolom yang telah disediakan merupakan upaya untuk memberdayakan peserta didik.

Berikutnya adalah pelatihan. Keterampilan ini masih ada kaitanya dengan keterampilan selanjutnya yaitu pendampingan. Pelatihan dan pendampingan merupakan dua wujud pelayanan yang dapat diberikan dalam pendidikan virtual. Pendidik yang baik tentu dengan senang hati dan teliti mengoreksi tugas yang diberikan pada peserta didiknya. Sifat kepemimpinan tradisional yaitu melayani, merupakan sifat utama dalam hal ini. Melatih dan mendampingi berarti rela untuk menyediakan waktu di luar jam perkuliahan yang disampaikan secara virtual.

Kepemimpinan teakhir yang juga tak kalah penting adalah manajemen komunikasi. Pendidik harus mampu mengatur pola komunikasi mulai dari nada bicara, intonasi, hingga pelafalan. Pendidik juga harus mampu mengatur background serta tampilan agar peserta didik tidak bosan. Kelas virtual yang dilakukan secara luring biasanya membuat pendidik memiliki banyak waktu untuk menyunting video pembelajaran yang diunggahnya. Tambahan ilustrasi serta animasi tentu merupakan hal yang sangat menarik dan mampu membantu menjaga pola komunikasi dalam proses pembelajaran virtual.

Keenam pola tersebt merupakan pola yag dapat dadaptasi oleh pendidik apabila hendak melakukan model pembelajaran secara daring atau secara virtual. Di era yang serba digital ini semua bisa memulai. Tidak jarang kita melihat di akun youtube para pendidik yang mulai melakukan model pembelajaran virtual ini. Subscriber dan viewers merupakan sasaran utama.

Oleh sebab itu banyak pendidik atau bahkan masyarakat yang tidak mengenyam perkuliahan di bidang pendidikan tapi tertarik untuk mendidik, melakukan pembelajaran model virtual ini. Semoga enam pola yang telah diteliti tersebut dapat membantu para pendidik virtual untuk semakin dapat meningkatkan kualitasnya dalam proses pembelajaran secara virtual.