Ilustrasi: Istockphoto.com
Iklan terakota

Terakota.ID–Pembangunan, mungkin ini adalah bahasa yang sering digunakan oleh mereka yang punya kuasa, terutama yang sedang ongkang-ongkang kaki di kursi kekuasaan. Tak jarang kata ini menjadi semacam mantra sakti yang seringkali dijejalkan pada pelajar-pelajar ataupun orang-orang kampung, sebagai suatu hal yang fantastis.

Kata pembangunan sendiri, merupakan mantra sakti di era Seoharto, di mana aneka penggusuran, perampasan, dan pelanggaran hak adalah sebuah kewajaran, demi ‘kata’ pembangunan. Karenanya, pembangunan dalam versi negara sangat relasional dengan kemaslahatan, kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak.

Tapi apakah memang demikian? Kata pembangunan merupakan translasi dari ‘developmentalism’ yang oleh Tony Smith dalam karyanya ‘Requiem or New Agenda for Third World Studies?‘ dikatakan sebagai salah satu model intervensi ekonomi, di mana pembangunan yang sejak awal menjadi agenda politik Amerika Serikat, khususnya sejak perang dunia ke dua. Target dari pembangunan adalah negara dunia ketiga, atau negara-negara yang dilabeli berkembang, rata-rata bekas negara jajahan.

Agenda pembangunan ini merupakan bentuk dari politik “mengikat” agar negara dunia ketiga terutama selekas merdeka tidak lepas begitu saja dari kontrol negara yang pernah menjajah dan sekutunya, tentu ini bukan soal sekedar penguasaan wilayah secara fisik, tetapi lebih merawat modal dan keuntungan. Salah satu agendanya adalah mendorong agenda-agenda ekonomi berbasis pasar, bantuan mengikat, penguasaan atas bahan mentah, dan tentu pekerja murah. Semuanya dilakukan sebagai bentuk mempertahankan “modal.”

Menarik juga membaca catatan Grosfoguel yang berjudul “Developmentalism, Modernity, and Dependency Theory in Latin America.” Mengungkapkan jika pembangunan ini erat kaitannya dengan ketergantungan. Ide ini memang digunakan untuk merawat relasi timpang, terutama saat-saat kolonialisme berjalan, yang dilakukan adalah mengikat negara bekas jajahan agar tetap dikontrol.

Maka salah satu yang dilakukan adalah menjejalkan kata pembangunan yang didasarkan pada klasifikasi, negara maju, berkembang dan terbelakang. Definisi maju sangat erat dengan negara maju yang rata-rata bekas penjajah atau sekutunya. Apalagi dengan dibumbui rumus modernisasi yang tak lain adalah “rumus” bagaimana negara-negara utara atau kolonial mengikat negara bekas jajahan. Sebab modernisasi tolok ukurnya adalah negara utara, seperti Amerika, Inggris dan Eropa.

Seperti diungkapkan Naomi Klein dalam “Shock Doctrine” di mana kata maju tolok ukurnya adalah Amerika dan Eropa. Jadi negara-negara yang dilabeli berkembang dan terbelakang kalau mau maju harus mengikuti model mereka. Agar mereka benar-benar mengikuti rumus tersebut, salah satu yang dilakukan adalah dengan memberikan bantuan bersyarat. Kondisi tersebut pada akhirnya menjerat dan membuat negara-negara bekas jajahan yang beru merdeka itu harus terjerat kembali tetapi dengan skema lain, inilah yang dinamakan dependensi.

Dari sinilah pembangunan nasional dan kontrol negara-negara utara direproduksi sebagai sebuah ilusi bahwa pembangunan terjadi melalui organisasi dan perencanaan rasional di tingkat negara yang dilabeli berkembang atau terbelakang. Padahal sebaliknya, kontrol penuh negara utara atas negara-negara yang mereka labeli berkembang dan terbelakang.

Maka dari situlah kata pembangunan benar-benar tidak murni berasal dari pengalaman atau keseharian orang-orang di bawah. Tetapi hasil sejarah panjang yang erat dengan kolonialisme dan terus direproduksi sebagai kata kunci untuk menuju kemajuan peradaban. Tidak mengherankan di setiap kata pembangunan selalu berasal dari elite, bergerak dari atas ke bawah, dijadikan dalih untuk merampas dan mengambil alih hak-hak mereka yang tak punya kuasa. Seperti pemgangunan di Orde Baru yang disertai kekerasan, teror dan pengambilalihan paksa wilayah adat, tanah-tanah petani, atau rumah-rumah penduduk desa.

Mungkin masih ingat kasus Waduk Kedungombo atau proyek skala besar perkebunan kelapa sawit dan tambang di sekitar Meratus. Sementara dalam era terkini, kita tahu proyek NYIA, Bendungan Wadas, Jalur Lintas Selatan, pembangunan PLTU dan Geothermal di Gunung Slamet, Mataloko, Sorik Marapi. Proyek food estate, seperti MIFE di Merauke, Papua dan Kalimatan Tengah. Sampai proyek Ibukota Negara Nusantara di Kalimantan Timur.

Di mana manusia yang telah dulu lahir dan hidup di sana, dipaksa pindah atau bahasa kasarnya diusir dari ruang hidupnya. Apakah itu sekedar ide dari pemerintah pusat saja? Tentu tidak, lebih ke persoalan bahwa penggusuran dan pengusiran itu merupakan relasi kompleks dari perluasan kapital yang melampaui batas nasional.

Di sinilah kita bahwa kata pembangunan bukan sekedar kata, tetapi memiliki sejarah panjang, memiliki makna politis dan erat dengan kolonialisme, serta politik dominasi. Sedikit uraian ini, akan mengajak kita berpikir ulang, apakah benar kata pembangunan itu berasal dari kita sendiri? Atau memang berasal dari sejarah panjang yang lekat dengan penindasan. Karena kata pembangunan adalah bentuk politik bahasa yang digunakan untuk menegaskan dominasi dan kontrol atas sumber-sumber kehidupan.

Meski dari pembaca catatan ini akan menyanggah, bahwa kata pembangunan itu netral, jika dikaitkan dengan hal yang positif dan progresif akan menjadi sesuatu yang baik. Memang benar pandangan seperti itu, jika kita melihatnya dalam ilmu bahasa. Tetapi, perlu diketahui bahasa tidaklah netral, karena erat dengan sejarah dan ekonomi politik.

Tapi di sini, penulis hanya ingin mengajak mereview ulang, apakah benar pembangunan “developmentalism” berasal dari pengalaman rakyat? Atau berasal dari mereka yang berkuasa? Karena bahasa adalah cara yang mudah untuk menormalisasi eksploitasi.

 

 

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini