
Terakota.ID—Proses pengolahan pasca-panen kopi, tak dapat dipungkiri, turut pula menentukan citarasa kopi. Selama ini, secara turun-temurun petani kopi Desa Kucur, Kecamatan Dau Kabupaten Malang mengenal proses pengolahan pasca-panen, dengan cara petik-jemur.
Artinya, setelah petani memetik biji kopi yang matang (meski tidak selalu sudah matang), kemudian dijemur di atas terpal. Biji kopi dari ladang langsung dijemur seketika setelah dipetik, atau esok harinya.
Seperti yang dilakukan Rupi. Warga Dusun Ketohan, Desa Kucur, anggota Kelompok Tani Kopi RTM. Menjelang pukul 5 sore, ia tiba di rumah. Seharian ia di tegal untuk panen kopi. Hasilnya sebanyak dua karung biji kopi. Hasil panen kemarin, tersimpan di dalam karung yang diikat rapat dengan tali di pojok rumah.
Ketika diangkat, nampak basah di bagian bawan karung. Saat dibuka, segera meruar aroma kopi yang telah mengalami fermentasi. “Iya, kemarin memang terasa capek,” ujarnya seraya sambil tersenyum.
Ladang bu Rupi, ada di kawasan lahan milik Perhutani. Dibutuhkan waktu tempat, sedikitnya 1,5 sampai 2 jam, dengan jalan yang menanjak. Pada Jumat, 2 Juni 2023, telah dilakukan pengolahan pasca-panen. Pembelian kopi arabika sebanyak 58,8, kilogram milik anggota atas nama bu Rupi/Kusria. Setelah disortir dan dirambang, didapatkan 18 kilogram (30,6%) biji kopi yang belum matang (hijau-kuning) dan 40,8 kilogram (69,4%).
Kemarin juga dilakukan simulasi percobaan, menyortir 10 kilogram kopi. Rerata dibutuhkan 1 jam untuk sortir 10kg biji kopi. Proses pengolahan pasca-panen, kemarin dimulai pada pukul 17.30, diawali dengan sortir. Setelah disortir, kemudian dirambang, diambil biji kopi yang mengambang tanda biji yang kurang sehat.
Setelah dirambang, kulit biji kopi dikupas (selep pecah kulit basah). Proses selanjutnya, biji kopi dicuci. Proses pencucian ini membutuhkan waktu agak lama, karena dilakukan dengan memisahkan (mengambil) kulitnya.

Proses pengolahan pasca-panen, selesai pada pukul 23.30. Dengan demikian, dibutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk mengolah pasca-panen sebanyak 58,8kg kopi. Meski, jumlah tenaga juga mengalami ‘pasang-surut’. Artinya, jumlahnya tidak konstan.
Bisa jadi, jika proses dilakukan dengan jumlah dan orang yang tetap, waktu riil pengerjaan, akan bisa lebih akurat. Hal ini berkaitan dengan biaya tenaga kerja yang nantinya, akan turut berpengaruh terhadap penentuan harga pokok produksi dan harga pokok penjualan (HPP).
Lebih dari seminggu, sejak minggu ketiga bulan Mei, telah dilakukan pembuatan rak jemur. Sepulang dari kerja, Mas Ali Romadhon merancang sekaligus membuat rak jemur kopi. Direncanakan ada 5 unit rak.
Dia dibantu adiknya, Mendur, dan sesekali Renggik, Samuel, Adam (mahasiswa yang sedang Praktek Kerja Lapang) mahasiswa IKIP Budi Utomo, Malang. Nampaknya, sampai tadi malam, ada 4 rak yang sudah jadi dan dapat digunakan.
Demikian halnya dengan mas Didik. Rumah jemur tersebut, berada di halaman depan rumahnya. Pembuatan rumah jemur, belum sepenuhnya selesai. Ada dua bagian dinding yang belum ditutup plastik (rumah jemur kopi yang berdinding plastik). Bersama dengan Bowo Susilo, kakaknya, beberapa hari terakhir menyempatkan diri menuntaskan penyelesaian rumah jemur tersebut.
Ya, rumah jemur itu berisi rak. Biji kopi yang telah mengalami proses pengolahan pasca-panen, dijemur di dalam rumah berdinding plastik. Biji kopi ditempatkan di atas rak yang berjarak sekurangnya 70 cm dari atas tanah. Dengan jarak itu, biji kopi tak langsung menempel di atas tanah. Jarak yang memungkinkan sirkulasi udara, sehingga uap air dari dalam tanah, tak masuk dalam biji kopi yang dijemur.
Selain memasang dinding plastik dengan pak Supadi (anggota RTM), mas Susilo juga meratakan tanah di bagian dalam rumah jemur. Menyiapkan lampu penerang untuk mendukung proses pengolahan pasca-panen.
Di tengah proses pengolahan, ada mahasiswa program studi akuntansi Universitas Ma Chung yang hadir. Dengan ringan tangan, Wechen, Alin, Elva, Nabila, mencoba melakukan sortasi. Memisahkan biji kopi yang belum berwarna merah tanda belum matang. Malam itu, hadir pula Pdt. Bil Sudirman, turut menamani proses sinau bareng.
Proses semalam, menjadi sedikit meriah, ketika suasana ditimpali musik yang menyusup di antara hawa dingin. ‘Kemeriahan’ malam itu, mencuri perhatian sebagian warga yang kebetulan lewat.
“Apa itu, Pak?”
“Sortir kopi, Pak RT,” jawab mas Didik, ketika pak Sugianto, ketua RT yang kebetulan lewat di depan rumah.
Selalu saja, demi hal baru, dibutuhkan langkah pertama. Tidak semua hal, terjadi begitu mudah untuk pertama kalinya. Namun selalu saja dapat melampaui kata ‘sulit’, ketika anak tangga pertama telah dilampaui..
Selamat datang era baru..

Pegiat literasi dan dan bekerja di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPMM) Universitas Ma Chung Malang.