Mencicipi Puthu Lanang, Jajanan Tradisional Sejak 1935

mencicipi-puthu-lanang-jajanan-tradisional-sejak-1935
Pembeli antre untuk mencicipi puthu lanang. Warung puthu lanang dibuka mulai pukul 17.00 sampai 21. 00. (Terakota/M. Yufirly Raizza Fadilah).
Iklan terakota

Reporter : M. Yufirly Raizza Fadilah

Terakota.id–Saban malam puluhan orang berbaris berjajar sembari berdiri di Jalan Jaksa Agung Suprapto Gang Buntu, Kota Malang. Sementara di depannya beberapa orang tengah sibuk menghadap meja berisi aneka jenis kudapan. Mulai puthu klanting alias cenil, klepon, dan lupis. Inilah Puthu Lanang, kuliner khas Kota Malang,  sejak 1935.

Jemari kanan pekerja memegang sebuah benang, inilah alat pemotong lupis. Sebatang lupis berbentuk silinder berbungkus daun pisang itu dipotong dengan benang sebagai pengganti pisau. “Begini tak lengket dan lebih rapi,” ucap salah seorang pekerja Puthu Lanang.

Sedangkan pekerja lain fokus memasak puthu. Cekatan ia mengisi potongan bambu dengan bahan dasar puthu di atas tungku untuk mengukus. Ia sesekali mengecek puthu secara bergantian dan akan mengangkat setelah matang.

Pekerja lain, menyiapkan daun pisang berlapis kertas bungkus untuk wadah kudapan. Tangannya cekatan memasukkan klanting, klepon, puthu dan lupis. Aneka kudapan itu lantas ditaburi parutan kelapa. Selanjutnya giliran gula merah cair dituangkan di atas jajanan.

Sejumlah pelanggan hanya bisa menelan ludah sembari menunggu giliran pesanannya tiba. Berkunjung ke Malang tak lengkap rasanya jika belum mencicipi jajanan tradisional ini. Tak susah menemukan lokasi Puthu Lanang, terletak di dalam gang kecil. Tempatnya sederhana. Puthu Lanang berada di ruang terbuka dengan gerobak untuk berjualan. Bagi yang ingin menyantap di lokasi, disediakan dua kursi panjang.

Pemilik usaha Puthu Lanang, Rini berkisah kuliner legendaris ini kini dikelola bersama suaminya, Siswoyo. Siswoyo merupakan generasi ke dua.  Pada 1935 orang tua Siswoyo berjualan puthu berkeliling sekitar rumah. Lantas membuka warung di lokasi sekarang sejak 25 tahun.

mencicipi-puthu-lanang-jajanan-tradisional-sejak-1935
Pembeli antre Rini dan sejumlah pekerja meladeni pembeli untuk menyajikan aneka kudapan khas puthu lanang. (Terakota/M. Yufirly Raizza Fadilah).

Awalnya warga mengenalnya dengan sebutan warung Puthu Celaket, lantaran lokasinya berada di Celaket. Sejak usaha puthu diserahkan ke suaminya sejak 2000, lantas diberi nama Puthu Lanang. “Biasanya nama Puthu Ayu, biar ada temannya jadilah nama Puthu Lanang,” tuturnya.

Lanang dalam bahasa jawa artinya laki-laki, mengisyaratkan lawan  dari ‘ayu’ artinya cantik. Pada 2003, Siswoyo mendaftarkan hak paten atas merek Puthu Lanang.

Pembeli bisa memesan puthu, klepon, lupis, dan cenil dicampur menjadi satu. Satu porsi cukup membayar Rp 10 ribu. Harga yang ramah di kantong, dengan sembilan potong varian. Lengkap dengan taburan kelapa dan saus gula merah.

Kualitas, katanya, menjadi pembeda dengan jajanan tradisional lainnya. Rini mengaku terus menjaga kualitas keaslian bahan baku sejak dulu. Menggunakan bahan-bahan pilihan. Jajanan ini tanpa pengawet, aman dan sehat. Sehingga terus menjadi pilihan pelanggan sampai sekarang.

Suara yang dikeluarkan dalam proses membuat kue puthu menarik perhatian. Sehingga banyak yang antre membeli kudapan tradisional ini. Selama sehari ribuan potong jajanan ludes terjual. “Sehari bisa habis 500 sampai 600 porsi. Juga ada pesanan di rumah mulai pagi sampai sore,” ucap Rini.

Setiap hari, Puthu Lanang buka mulai pukul 17.30 – 22.00 WIB. Perlu diingat, jika berniat mencicipi aneka kudapan ini jangan tiba terlalu malam karena khawatir tak kebagian . Sejak sore antrean panjang, sampai jalan raya Jaksa Agung Suprapto. “Jam sembilan biasanya sudah habis,” katanya.

Rini menceritakan proses pembuatan kue ini dimulai sejak pukul 04.00 WIB. Mereka bangun sebelum fajar, menyiapkan bahan baku. Serta mengirim sesuai pesanan. Sehari menghabiskan bahan baku sekitar 70  kilogram.

Tak salah jika banyak wisatawan datang dari berbagai daerah mencicipi kuliner tradisional. Perpaduan rasa gurih, dan manis seolah membawa memori ke masa lalu. Era jajanan tradisional menjadi kuliner andalan.

mencicipi-puthu-lanang-jajanan-tradisional-sejak-1935
Inilah aneka kudapan khas puthu lanang tersaji berbungkus daun pisang. Satu porsi cukup Rp 10 ribu. (Terakota/M. Yufirly Raizza Fadilah).

“Pembeli dari Surabaya dan Pasuruan. Bisa memesan sampai 20 porsi. Ada juga dari luar Jawa. Sejumlah artis dan wisatawan mancanegara penasaran untuk mencicipinya,”  ujar Rini. Pembeli biasa mendapat informasi dari mulut ke mulut dan media massa.

Pembeli dari Tanjung Pinang, Iwan menyempatkan singgah ke Puthu Lanang di sela-sela kesibukannya menyelesaikan pekerjaan di Malang. Ia memang berniat mencari jajanan tradisional, seperti klepon dan cenil. “Saya cari di internet ketemu Puthu Lanang. Naik ojek dari Ijen cuma untuk beli ini,” katanya.

Saat dicoba, katanya, bikin ketagihan. Enak, dan manisnya pas. Ia tak menyesal datang dari jauh untuk menikmati kuliner tradisional ini. Sayang, kudapan ini tak bisa bertahan lama sehingga tak bisa dijadikan oleh-oleh.

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini