Menatap Era Kelimpahan Sembari Menyaksikan Senjakala Era Disrupsi

menatap-era-kelimpahan-sembari-menyaksikan-senjakala-era-disrupsi
(Foto: Ariel Zambelich)
Iklan terakota

Terakota.id–Era disrupsi sudah sampai pada senjakalanya. Kemajuan teknologi yang tak dapat dibendung membuat manusia dipaksa untuk mampu segera beradaptasi dengan cepat menghadapi era ini. Manusia yang tertinggal akan tergagap-gagap dan berkeluh kesah terus karena merasa terdisrupsi.

Padahal, kemajuan teknologi bukan berhenti di titik disrupsi saja. Peter Diamandis menyebutkan bahwa ada enam era yang bertahapan di era teknologi informasi ini. Keenam era tersebut adalah digitalisasi (digitalization), muslihat (deception), disrupsi (disruption), dematerialisasi (dematerialization), demonetisasi (demonetization), dan demokratisasi atau era kelimpahan (abundance era).

Era digitalisasi terjadi setelah ditemukanya mesin komputer serta kemampuan manusia untuk membuat program-program baru. Setelah itu manusia terlena terhadap kondisi ini karena proses digitalisasi benar-benar mempermudah manusia dalam mencapai tujuannya. Manusia yang terlena seolah mengalami tipu muslihat proses digitalisasi yang memabukkan serta memanjakan.

Keterlenaan tersebut menimbulkan dampak berupa disrupsi. Manusia terbuai sehingga tidak sadar pada temuan-temuan baru yang pada dasarnya menggerus usaha atau bisnis mapan sebelumnya. Perusahaan-perusahaan besar yang terlalu terlena, tidak siap dengan temuan-temuan mutakhir dari perusahaan kecil yang ternyata mampu menggulingkannya.

Era disrupsi ternyata berdampak pada pencerabutan hampir segala hal yang  bersifat fisik (material). Data dan segala perangkatnya diubah menjadi sinyal, berukuran mikroskopik, hingga ditransfer pada penyimpanan digital secara masal. Pengubahan wujud ini membuat data menjadi mudah untuk digandakan. Contohnya buku, ketika buku dipindai menjadi wujud digital maka tidak membutuhkan waktu lama untuk menggandakan dan menyebarluaskan. Pada tahapan ini, nilai tukar juga sangat melemah bahkan cenderung tergantikan.

Kemunculan uang digital, berupa koin, poin, atau sejenis alat tukar lainya yang sangat mudah berlipat ganda membuat tahap ini disebut sebagai tahap demonetisasi. Sebagian besar masyarakat Indonesia telah merasakan tahap ini dengan mulai melakukan pembayaran barang atau jasa menggunakan uang digital dari berbagai fitur penyedia dana digital.

Buku, pion, hingga uang digital ini belipat ganda dengan mudah terlebih ketika sering digunakan. Data dengan mudahnya berhamburan dan menjadi berlimpah. Kelangkaan mulai diperangi. Selera manusia terbaca, dan keinginan pemenuhan selera tersebut nyatanya sudah dapat digandakan sehingga sampailah manusia pada tahap demokratisasi atau juga dapat disebut era kelimpahan (abundance era).

Mengerdilkan Amydgala

Era kelimpahan jangan disamakan dengan era disrupsi. Pada era disrupsi, banyak kemapanan dan perusahaan besar yang jatuh berguguran karena terdisrupsi. Parahnya lagi era disrupsi dianggap sebagai era yang sangat mencekam sehingga semakin mengerdilkan pemikiran manusia untuk berkreasi.

Peter Diamandis juga mengingatkan agar pikiran kita tidak terpengaruh oleh pemberitaan media massa yang sifatnya merusak. Ketika memberitakan tentang hal-hal yang buruk, pemberitaan di media massa mengelola salah satu lokus temporalis pada otak kita yang disebut amydigala.

Bagian ini merupakan bagian yang mendeteksi ancaman atau bahaya sejak dini pada manusia. Media tahu betul bahwa otak manusia memiliki batas penyimpanan dalam menerima informasi sehingga media memiliki cara agar pemberitaanya dapat diingat oleh pemirsa ataupun pembacanya.

Salah satunya adalah dengan memainkan bagian amydgala pada otak. Hal ini sebenarnya sesuai dengan pendapat pakar neurologi, Dr. Ryu Hasan yang mengatakan bahwa kekhawatiran manusia terbesar adalah kematian sehingga manusia berusaha untuk bertahan hidup. Apabila manusia tidak dapat mengelola pikiranya maka amydgala ini akan semakin kuat konektifitas neuronnya sehingga kreatifitas menyempit.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu kita merespons era kelimpahan ini secara positif. Kemajuan teknologi sesungguhnya telah meningkatkan taraf hidup manusia. Kemudahan untuk berkomunikasi serta akses transportasi dapat dengan mudah ditempuh dari manusia di negara satu dengan negara lain. Konektifitas semakin luas dan berjejaring serta memperlebar relasi untuk berkolborasi semakin luas. Ini adalah segelintir peluang-peluang yang dapat ditemukan dari sekian banyak peluang lain pada era ini.

Kelimpahan juga seharusnya tidak dianggap sebagai momok melainkan sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Semakin manusia terhindar dari kelangkaan dalam pemenuhan kebutuhan hidup, maka semakin kuat manusia tersebut dalam mengembangkan dirinya. Keberadaan mesin, robot, hingga teknologi kecerdasan buatan juga jangan dianggap sebagai pengganti pekerjaan melainkan dianggap sebagai sarana mewujudkan kreatifitas.

Manusia sudah tidak lagi mengerjakan hal yang bersifat berulang, membosankan, hingga membahayakan. Semua resiko itu ditanggung oleh robot hingga kecerdasan buatan. Manusia sebagai pribadi hendaknya terus menerus berinovasi dan berkreasi sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Menjadi manusia seutuhnya, manusia yang berkreasi bukan manusia yang diperbudak.