Menara Garling Riwayatmu Kini

menara-garling-riwayatmu-kini
Gardu seruling berdiri di antara bangunan baru di kawasan Kedungkandang Kota Malang. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.id– Menara suling bagi sebagian warga Kota Malang yang setidaknya lahir tahun 1930-1980-an tentu menjadi kenangan tersendiri. Suara sirine melengking jika tentara Jepang datang, di tahun 1942-an, sampai suara sirine untuk penanda latihan udara bagi TNI Angkatan Udara ditahun 1970-190-an. Menjadi kenangan tersendiri bagi warga yang berada di wilayah tempat menara Suling itu berdiri.

Lantas apakah menara suling itu? Tentu bagi generasi di bawah tahun 1990-an tidak banyak yang mengantahuinya. Menurut Hasan Ishaq dalam artikel 2017, berjudul “Mengenang Menara Seruling/Sirine (Air Raid Siren) di Malang,”di laman www.ngalam.co (diakses, 08 Agustus 2018), menjelaskan: Menara Seruling atau Menara Sirine Bahaya (Air Raid Siren) atau kalau di luar Malang biasa disebut dengan Garling (Gardu Seruling) pada zaman dahulu merupakan sebuah tanda jika ada bahaya dari udara.

Sirine atau seruling dapat dioperasikan manual ataupun dengan listrik. Untuk yang manual, para pekerja memutar seruling tersebut. Mereka bisa naik melalui tangga yang tersedia di menara. Dua cara pengoperasian ini difungsikan apabila terjadi pemadaman listrik.

“Di Malang, dulu keberadaan menara yang dibangun pada tahun 1938 hingga 1940 tersebar dimana-mana. Dari Jalan Tenes (dekat stadion Gajayana sekarang), Jalan Nusa Kambangan (dekat Gedung Cendrawasih dulu), Jalan Muharto (dekat mesjid), Jalan Lembang (Samaan), Jalan Ahmad Yani (Blimbing), dalam areal RSUD Syaiful Anwar (sudah dirobohkan) dan lain sebagainya. Saya sendiri tidak pernah tahu data berapa jumlah menara tersebut di Kota Malang. Dari peta yang ada di laman museum Belanda, tertulis jika ada delapan menara yang dibangun di wilayah Malang”, tulis Hasan.

Belanda memang getol mempertahankan Malang karena kota ini merupakan kota strategi harus dilindungi wilayahnya. Karena itu seruling sebagai penanda akan dibunyikan saling sambung dengan yang lainnya begitu serangan datang dengan harapan tentara bisa langsung bersiap tanpa dikomando. Tetapi, Jepang akhirnya bisa juga menguasai Malang. Saat mereka di Malang fungsi alat itu berubah. Kakek penulis menceritakan jika saat seruling berbunyi maka masyarakat sipil disuruh masuk rumah semua karena akan ada pasukan Jepang yang akan lewat. Sehingga keberadaannya menjadi sebuah simbol ketakutan rakyat terhadap penjajahan Jepang di Malang.

Keterangan Hasan Ishaq, di atas memang sejalan dengan peristiwa sejarah yang terjadi saat itu. Menurut Dwi Cahyono, pemiliki Museum Malang Tempoe Doeloe dan Museum Panji di Tumpang, dalam buku berjudul, “100 Tahun Kota Malang: Menelusuri Kilasan Sejarah Kota Malang”, 2014, halaman 47-48, menyebutkan pada masa Perang Dunia II, Jepang berusaha menduduki Asia Tenggara karena membutuhkan sumber daya alam yang sangat potensial di wilayah tersebut. “Sedangkan Hindia-Belanda (Indonesia) termasuk di dalam targetnya, karena kekayaan potensi sumber daya minyak yang dibutuhkan dalam perang. Lalu, dengan mudah para tentara Jepang mampu menduduki Hindia-Belanda, setelah beberapa daerah Jajahan Bangsa Barat di wilayah Asia Tenggara jatuh ketangan Jepang,” tulis Dwi, dalam bukunya.

Kemudian dalam buku susunan Tim Guru Sejarah Kabupaten Malang, 2003, berjudul “Sejarah Daerah Kabupaten Malang: Napak Tilas Sejarah”, halaman 36 dan juga buku karya sejarawan serta dosen Universitas Airlangga Surabaya, Purnawan Basundoro, 2009 berjudul “Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan”, halaman 183, dijelaskan: “Setelah menduduki Hindia-Belanda, Tentara Jepang atau “Dai Nippon”, pada tanggal 8 Maret 1942 memasuki Kota Malang mengalir bagaikan air bah dari arah Surabaya. Untuk memikat hati masyarakat Malang, tentara tersebut melakukan propaganda. Masyarakat pribumi memiliki harapan yang terlalu tinggi kepada mereka, karena orang-orang Jepang itu mengaku sebagai “saudara tua” orang Jawa. Selain itu, masyarakat pribumi saat itu juga percaya dan terobsesi terhadap ramalan Joyoboyo, yang mengatakan bangsa Indonesia akan merdeka dari penjajahan Bangsa Barat setelah kedatangan “bangsa cebol kepalang soko lor wetan parane” atau kedatangan bangsa kate (atau kerdil) dari Timur yang akan membebaskan dari belenggu penjajahan”.

Sejalan dengan pernyataan diatas, Sejarawan Universitas Negeri Malang, Reza Hudiyanto, dalam buku berjudul “Menciptakan Masyarakat Kota Malang di Bawah Tiga Penguasa 1914-1950”, 2011, halaman 62 menyebutkan sebelumnya, beberapa saat sebelum pendudukan tentara Jepang ke Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda disibukkan dengan pembentukan  Stadwacht EHBO  (Eerste Behulp van Ongelukken: pertolongan pertama pada kecelakaan), latihan-latihan serangan udara dan propaganda bahaya tentara “kate” (suatu panggilan ejekan kepada orang Jepang yang bertubuh pendek yang ukuran tubuhnya disamakan dengan ayam kate, yaitu ayam yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari ayam biasa).

“Pemerintah Kolonial Belanda mempersiapkan kedatangan tentara Jepang dengan membangun bunker (lubang perlindungan), memasang sirine (atau menara suling, pen) di berbagai tempat yang strategis dan membagikan topeng atau masker gas. Semua usaha itu tidak mampu membendung jatuhnya Kota Malang ke tentara Jepang pada tanggal 9 Maret 1942. Selanjutnya pemerintahan Karesidenan Malang diserahkan dari Residen G. Schwencke kepada Mayor Jendral Abe Koichi”, terangnya dalam bukunya itu.

Pernyataan Reza Hudiyanto di atas dikuatkan sejarawan dan Arkolog Universitas Negeri Malang, M. Dwi Cahyono dalam artikelnya berjudul, “Telisik ‘Bunker’ Bareng, Ruang Lindung dalam Perut Bumi Jelang Perang Dunia II”, yang diunggah pada laman Facebook pada 24 Februari 2017. Ia menjelaskan posisi Belanda yang berada di pihak kontra terhadap Jepang amat memungkinkan militer Jepang untuk menyerang dan menuduki tahah jajahannya yang berada di region Asia, yaitu Indonesia.

“Dengan kesadaran itu, jelang PD II Pemerintah Hinda-Belanda menginstruksi kepada warga Belanda dan Eropa lain yang kala itu tinggal di Indonesia untuk membangun instalasi pelindungan dan penyelamatan diri dari bencana perang, antara lain berupa petanda bunyi (alarm) berwujud menara berterompet – dalam istilah lokal Jawa disebut ‘suling’ atau ‘sirine’ — di dekat Kedung Luncing Jalan Muharto Kota Malang terdapat ‘Kampung Suling’, padamanan terdapat menara sirine (suling) tinggalan masa Hindia-Belanda, khususnya untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya serangan udara dengan segera mengevakuasi diri antara lain dengan berlindung di dalam ruang bawah tanah (bungker) atau tempat aman lainnya,” tulis Dwi di dalam laman Facebooknya.

Dari pernyataan di atas dapat kita tarik kesimpulan jika menara suling pada awalnya didirikan sebagai sarana prasarana keperluan militer guna mempersiapkan kedatangan Jepang ke Indonesia khususnya di Kota Malang. Namun sayang usaha-usaha yang dilakukan Jepang itu sia-sia belaka pada akhirnya Kota Malang jatuh juga ketangan Dai Nippon.

Zaman telah berlalu kini Indonesia telah merdeka namun tinggalan-tinggalan cagar budaya salah satunya menara suling tersebut. Tidak ikut “merdeka” dari kepentingan-kepentingan orang-orang yang tidak peduli tentang sejarahnya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan bahwa diantara delapan buah menara suling, hanya setidaknya dua saja yang masih dalam kondisi utuh. Sebagai contoh di Kelurahan Samaan terdapat Bangunan Aniem dan juga Menara Suling yang sudah kehilangan ‘ujung’-nya.

Menara Suling dan Aniem di Kelurahan Samaan itu terletak di Pertigaan Jalan Sendang Biru dan Jalan Kaliurang Barat, tepatnya di rumah Bapak Soepomo Martohardjo (66) Nomor 82, RT 001, RW 006, Kelurahan Samaan, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Menara Suling dan Bangunan Aniem ini terletak di belakang toko peralatan dan perkakas listrik miliknya.

Menurut keterangannya, Belanda mendirikan Menara Suling dan Aniem itu dengan menyewa tanah milik ayahnya bernama Bapak M.N. Soeratnu (lahir 1901). Saat itu Belanda menyewa tanah dengan harga 1 Gulden per bulan. “Saat Indonesia merdeka Menara Suling dan juga Bangunan Aniem itu dikelolah PLN, namun pada 1967 PLN tidak lagi menggunakannya bahkan peralatan instalasi kelistrikan di dalam Bangunan Aniem tersebut dicopot PLN. Sehingga menara dan juga bangunan itu cukup terbengkalai,” kata Soepomo 29 Maret 2018.

Menurut Timur Triono dalam bukunya berjudul “Singkawang Heritage Sebuah Kajian Arkeologi Benda-Benda Cagar Budaya”,  2004, halaman 99, dijelaskan,”Aniem merupakan singkatan dari Algemene Nederland Indie Elektrische Matschapij (A.N.I.E.M.) didirikan 1927 oleh pemerintah Kolonial Belanda. Sebuah perusahaan pembangkit tenaga listrik.”tulis Timur Triono.

menara-garling-riwayatmu-kini

Gedung Aniem yang terdapat disemua menara suling itu, jelas berfungsi sebagai instalasi kelistrikan dari menara aniem. Dukut Imam Widodo, dalam bukunya berjudul “Malang Tempo Doeloe Djilid Doea”, 2006, pada rubrik yang berjudul “Dari Buk Gludug Hingga Stadsklok”, di halaman 86, menuturkan pengalamannya terkait menara suling beserta suaranya itu.

Dukut mengingat di Malang ada tiga buah suling tanda bahaya udara. Yang satu di dekat pertigaan Blimbing (Jalan A. Yani), kemudian ada yang di Jalan Kaliurang sebelah barat, dekat dengan Kuburan Sama’an, sedangkan yang satunya ada di Sawahan. Dugaan saya, menara suling itu didirikan Pemerintah Hindia-Belanda menjelang datangnya bala tentara Jepang. Seperti yang Anda ketahui bahwa Kota Malang itu memang dipakai sebagai kota pertahanan Pulau Jawa bagian timur. Segala macam peralatan tempur tumplek bleg di kota ini.

Namun, pada akhirnya bala tentara Hindia-Belanda menyerah juga pada tentara Jepang. Perang sudah lama lewat, tetapi sekitar tahun 1960-an Dukut masih sempat mendengar suara suling itu. Ketika itu saya masih kelas 2 Sekolah Rakyat di Sarangan, sementara rumah berada di Jalan Lowokwaru.

“Pada suatu hari ayah saya bilang bahwa nanti malam akan ada latihan bahaya udara. Benar saja, sekitar jam tujuh malam terdengar suara suling itu. Begitu terdengar bunyi sirine, maka seluruh lampu di Kota Malang dipadamkan! Jadi kala itu, suasana Kota Malang benar-benar gela gulita … Lantas bagaimana bunyi suling itu? Blas! Gak mirip sama sekali dengan suara sirine pemadam kebakaran, tetapi harus diakui ada kesan mistis dan dramatis gitu loh. Jelasnya begini, Kalau Anda saksikan di TV acara detik-detik Proklamasi 17 Agustus, maka akan terdengar suarau suling. Nah, seperti itulah bunyi suling tanda bahaya udara tersebut. Tahun 1980-an suling yang ada di Sawahan masih berfungsi. Kala itu ada acara detik-detik Proklamasi 17 Agustus dan suling itu dibunyikan. Bunyinya yaa seperti itu. Nguiiiiing … nguiiiing … nguiiing … !!! Nah suling tanda bahaya udara yang di Jalan Kaliurang itu masih ada. Daripada nanti ada pedagang besi tua yang berminat dan menara suling itu ada yang njual kiloan, lha mbok yaa-o bangunan itu dibongkar saja lalu disimpan di Museum Brawijaya di Jalan Ijen. ” tulis Dukut.

Namun pada kenyataannya kekawatiran Dukut itu benar-benar terjadi kini Suling di Kelurahan Samaan itu ujungnya sudah dijual kepedagang besi tua kiloan. Dan kini suling itu, hanya tinggal kenangan saja dalam foto yang masih sempat didokumentasikan Dukut Imam Widodo pada tahun 2006 dibukunya tersebut.

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini