Aneka jenis kerajinan dari bahan bekas dipajang di kantor Bank Sampah Malang. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.id-Seorang petugas ramah menyapa dan melayani setiap nasabah yang datang. Kursi tunggu disediakan untuk nasabah yang akan menarik tabungannya. Ramah, petugas melayani dan menyerahkan uang yang ditabung nasabah. Layanan disesuaikan dengan standar perbankan. Inilah Bank Sampah Malang (BSM), di sini sampah naik kelas. Warga Kota Malang tak lagi menjauhi, sebagian justru mendapat keuntungan dari menyetor sampah ke BSM.

Bangunan bergaya arsitektur kolonial ini didesain khusus arsitek Herman Thomas Karsten 1921. Gedung BSM meminjam Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemakaman Umum, Dinas Lingkungan Hidup. Berada di kompleks tempat pemakaman umum Sukun, yang didesain khusus dalam perencanaan pembangunan Kotapraja Malang saat itu.

Inisiator BSM, Rahmat Hidayat menilai perkembangan Kota Malang memicu pertumbuhan penduduk. Sehingga jumlah penduduk turut meningkat hingga memicu persoalan sampah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang jumlah penduduk Kota Malang pada 2019 sebanyak 870.682 jiwa, pada 2020 naik menjadi 874.890. Sedangkan volume sampah melonjak mencapai 600 ton per hari.

“Masyarakat menganggap sampah tak bisa dimanfaatkan lagi. Selama ini pengolahan sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke TPA.  Sampah terus menumpuk,” ujar inisiator BSM, Rahmat Hidayat. Lantas, Rahmat yang saat itu bertugas di Dinas Lingkungan Hidup berinisiatif mengubah cara pandang masyarakat terhadap sampah. Sampah juga menawarkan keuntungan ekonomi. BSM berdiri sejak 15 November 2011.

BSM menyiapkan manajemen dan tata kelola sampah. Serta mengedukasi masyarakat dan pelajar untuk memilah sampah dari sumbernya, di rumah. BSM menerima 72 jenis sampah anorganik untuk bahan baku industri daur ulang. Harga tergantung jenis dan disesuaikan dengan harga di pasaran.

BSM membeli sampah plastik seharga Rp 250 sampai Rp 23 ribu per kilogram. Sampah kertas Rp 300 sampai Rp 3.700 per kilogram. Sampah logam kisaran Rp 100 sampai Rp 33 ribu. Sedangkan sampah botol dan kaca dihargai Rp 75 sampai Rp 1.000.

Beragam jenis tas dan dompet produk bahan daur ulang yang dijual di kantor Bank Sampah Malang (BSM). (Terakota/ Eko Widianto).

Nasabah BSM dibagi dua kelompok, yakni nasabah individu dan nasabah kelompok atau biasa disebut unit BSM.  Unit BSM terdiri atas sekolah, RT, RW, perguruan tinggi, institusi pemerintah dan komunitas.

Staf administrasi BSM, Isa Trio Zulmi Azis menjelaskan perbedaan harga beli sampah dari nasabah individu dan nasabah kelompok. Nasabah kelompok lebih tinggi, selisih  Rp 75 hingga Rp 1.000 rupiah. Harga sampah akan lebih tinggi lagi, katanya, jika hasil penjualan dimasukkan dalam tabungan. “Selisih Rp 75 hingga Rp 1.000 dibanding nasabah yang langsung ambil uang,” ujarnya.

Untuk mendaftar sebagai nasabah individu, cukup membawa fotokopi KTP dan membayar keanggotaan Rp 3.500. Nasabah akan mendapat buku tabungan. Sedangkan pendaftaran nasabah kolektif dengan menunjuk ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota minimal 20 orang. Nasabah terdiri atas 1.200 nasabah individu, 500 unit nasabah kelompok, 210 unit sekolah, 175 instansi/perusahaan/hotel dan 30 nasabah lapak/pengepul sampah.

Selain program tabungan, BSM juga mengolah sampah menjadi aneka kerajinan, mencacah plastik, dan melatih pengolahan sampah organik jadi kompos, biogas, dan pakan cacing. BSM turut membina masyarakat untuk menerapkan reduce, reuse, recycle (3R) dari limbah sampah rumah tangga.

Aktivitas BSM mampu mengurangi sampah anorganik di Kota Malang sampai 4,5 ton per hari. BSM yang memperkerjakan 25 pegawai ini beromzet hingga Rp 300 juta sampai Rp 400 juta per bulan.

Nasabah Untung

Salah seorang nasabah BSM Prihastuy mengaku terbantu dengan kehadiran BSM. Di sini, selain menjadi nasabah, BSM juga menyediakan ruang pamer produk kerajinan. Termasuk kerajinan berbahan daur ulang sampah yang dilakoni Prihastuy. Kerajinan dari bahan bekas dilakoni sejak lama, sebelum begabung BSM. Prihastuy biasa membuat tas dari bahan bekas aneka jenis barang bekas pakai.

Atas kreasinya, ia menjadi juara dua lomba kreasi pakaian daur ulang yang diselenggarakan BSM. Kepeduliannya terhadap lingkungan semakin tersalurkan setelah menjadi kader lingkungan PKK. Prihantuy menjadi anggota komunitas Fasilitator Reduce, Reuse, Recycle (F3R).  “Saya mengajak ibu-ibu di sini untuk berkreasi dengan barang bekas,” ujar Prihastuy.

Prihastuy menjadi nasabah BSM sejak 2014. Kini Prihastuy tak perlu repot mengurus sumpah rumah tangga yang menumpuk di rumah. Sejumlah ibu-ibu di lingkungannya bergabung menjadi anggota kelompok bank sampah. Meski sebagian tak merespon dan cenderung meremehkan.

Dompet kreasi Prihastuy dari bahan bekas, didaurulang menjadi kerajinan bernilai jual tinggi. (Terakota/ Nur Sitti Khadijah).

“Menjual sampah itu kegiatan rendah menurut mereka,” ujarnya. Tak pantang arang, Prihastuy terus membujuk warga agar tak membuang sampah sembaarangan. Mereka diajak untuk manfaat bergabung dengan bank sampah. Uang hasil tabungan menjual sampah, katanya, tak disangka terkumpul banyak. Saat lebaran, warga mengambil uang tabungan untuk kebutuhan lebaran.

Uang tabungan kelompok yang dikelolanya berputar, dikelola koperasi untuk simpan pinjam. Anggota koperasi mengajukan plafon pinjaman antara Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu. Angsuran pinjaman bisa dibayar dengan menyetor sampah. Acapkali warga tak sadar jika utangnya telah lunas, dibayar dengan sampah.

Masing-masing anggota bank sampah memiliki buku tabungan sendiri. Jumlah tabungan tiap anggota berbeda tergantung sampah yang disetor. Mmulai Rp 10 ribu hingga Rp 100 ribuan per bulan. Sebagai ketua kelompok unit bank sampah, Prihastuy mencatat tabungan anggota.

Sebulan sekali sampah dikumpulkan di depan rumah Prihastuy, petugas BSM datang mengangkut ke tempat penampungan BSM. Setiap bulan terkumpul berbagai jenis sampah dari anggota antara 75 kilogram hingga 100 kilogram.

Sejumlah truk dan pikap mengangkut kertas, dan aneka plastik berjajar di depan Tempat Pemakaman Umum Sukun, Kota Malang. Bergantian truk masuk ke sebuah lahan kosong beratap seng di samping kantor makam yang bergaya arsitektur kolonial. Sejumlah lelaki menurunkan karung berisi plastik dan kertas.

Para pekerja Bank Sampah Malang (BSM) memilah sampah anorganik sesuai jenis yang dibutuhkan industri daur ulang. (Terakota/ Nur Sitti Khadijah).

Sedangkan sebagian cekatan memilah tumpukan sampah yang menggunung. Memilih dan memilah sesuai dengan jenis berdasar kebutuhan industri daur ulang sampah. Terik mentari tak menyurutkan mereka untuk menunaikan tugas. Menyortin sampah. Inilah kesibukan di Bank Sampah Malang (BSM), setiap hari.

Salah seorang pekerja Sujatmiko, sibuk memilah tumpukan sampah. Ia menyebutkan jika pengambilan sampah dilakukan setiap Senin sampai Sabtu. Mobil pikap dan truk melayani penjemputan sampah ke nasabah di Kota Malang, Kota Batu hingga Kabupaten Malang.

Nasabah kelompok difasilitasi pengambilan sampah ke lokasi dengan syarat berat minimal 50 kilogram. Sampah dipilah berdasarkan jenis, pemilahan dilakukan rutin setiap pekan. Sampah plastik di-press dan digiling. Sampah kertas dan kardus dihancurkan lalu dijual ke pabrik daur ulang. Sedangkan Ssampah botol kaca langsung disetor ke pabrik.

Memicu Kreatifitas

Seorang wirausaha sosial Taufiq Saguanto memandang botol plastik bekas, botol oli, sedotan atau pipet dan sendok plastik bekas sebagai material atau bahan baku. Bukan sampah yang harus dibuang atau dihancurkan. Apalagi dijauhi dan dimusuhi.

Melalui Hot Bottles Recycle Company ia memulai usaha tanpa modal sepeserpun. Sampah plastik dari limbah rumah tangga menjadi bahan baku dari karya kreatif yang diciptakan. Ide kreatif muncul saat menantang diri sendiri untuk sebuah usaha tanpa modal. “Bagaimana membangun usaha tanpa modal uang,” ujar Taufiq.

Taufiq Saguanto menunjukkan berbagai jenis kriya berbahan plastik bekas. Kerajinan dipasarkan ke luar negeri. (Terakota/ Nur Sitti Khadijah).

Bermodal lem tembak dan cat semprot seharga Rp 50 ribu, ia memulai usahanya. Serta peralatan lain seperti gunting dan gergaji besi. Awalnya, ia sering gagal membuat model mobil, motor atau robot. “Jangan berfikir pertama kali membuat produk hasilnya langsung bagus. Produk yang sekarang hasil ratusan bahkan ribuan kali kesalahan,” ujarnya.

Taufiq berkali-kali gagal, namun ia  tetap bersemangat mengolah sampah menjadi rupiah. Serta menyelesaikan masalah sampah di lingkungan sendiri. Kini, rumahnya disulap menjadi Museum Hotbottles. Aneka kenis kerajinan tangan yang dihasilkan dipajang di sini. Berbagai produk home décore dengan tema robot, motor, mobil, dan pesawat tertata apik.

Kerajinan miniatur ini jual Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu per biji. Menariknya, pasar penjualannya justru 80 persen luar negeri.  “Sejak awal pesanan datang lewat media sosial. Pembeli dari  Jepang, Kongo, Kanada,”ujar Taufiq.

Kerajinan yang dijual masih tergolong miniatur atau ukuran mini dari bentuk asli. Taufiq mengaku produk berukuran besar terkendala pengiriman ke luar negeri. Selain membuat dan memasarkan produk kerajinan, Taufiq juga menyelenggarakan pelatihan bisnis cara mengolah daur ulang botol bekas.

Rumah Taufiq Saguanto sekaligus menjadi Museum Hotbottles. (Terakota/ Nur Sitti Khadijah).

Taufiq berharap semakin banyak orang yang mengolah sampah plastik. Sedangkan peluang bisnis untuk kerajinan daur ulang sampah terbuka lebar. Murah dan tak membutuhkan banyak modal. Membuat kerajinan mainan anak atau replika berukuran satu banding 36 ini laris manis.

“Sekarang kita ditantang untuk menciptakan pekerjaan sendiri. Hanya orang yang mau berusaha yang akan eksis,” ujar Taufiq menegaskan.

Beban TPA Supit Urang

Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang mengakui sulit untuk mengurangi sampah tanpa meningkatkaan kesadaran bersama masyarakat. Sementara kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Supot Urang semakin kritis. Menambahan luas lahan tak sebanding dengan laju pertambahan sampah yang diproduksi.

Untuk itu, Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang menetapkan berbagai langkah untuk mengatasi masalah sampah. Kepala Seksi Kajian Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang, Tri Santoso mengatakan Pemerintah Kota Malang menetapkan kebijakan strategi daerah dalam menangani sampai sampai 2025. Targetnya, pengurangan sampah di rumah tangga 30 persen, sedangkan kewajiban pemerintah 70 persen.

“Saat ini, pengurangan sampah di rumah tangga baru 18,5 persen,” katanya. Sementara pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran. Untuk itu dibutuhkan keterlibatan dan peran aktif masyarakat. Berbagai usaha dilakukan antara lain menggerakkan BSM, dan kompetisi kampung bersinar untuk penanganan sampah dan adaptasi perubahan iklim di skala perkampungan.

DLH Kota Malang mengajak masyarakat mengolah dan memilah sampah di rumah tangga. Serta diterapkan pendidikan lingkungan sejak dini dengan menyelenggarakan Adiwiyata di lingkup sekolah. Pelajar dilatih memilah sampah, dan mengolah sampah. Harapannya, tumbuh kesadaran para pelajar dengan menularkan kepada teman, lingkungan dan keluarga.

Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Supit Urang Malang menumpuk sampah dari penduduk Kota Malang. Setiap hari sekitar 600 ton sampah dibuang ke sini. (Terakota/ Nur Sitti Khadijah).

Baru sebagian kecil wilayah yang mengolah sampah. Salah satunya Kelurahan Tlogomas, Lowokwaru, Kota Malang, jadi satu model permukiman di bantaran sungai yang mengolah sampah. Mereka memilah sampah plastik dan dikumpulkan di BSM.

Sedangkan sampah organik dan sampah yang tak bisa daur ulang diangkut ke TPS terdekat. Selain itu, mereka mengolah limbah cair rumah tangga dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal. Tlogomas pun dinilai berhasil menerapkan mitigasi perubahan iklim.