
Oleh: Talbyahya Herdy Putra, Atha Nursasi & Wahyu Eka Styawan (Aliansi Selamatkan Malang Raya)
“Kalau dilihat, sebelum memasuki jalan Soekarno-Hatta ada jembatan dan di bawahnya itu sungai, tetapi kok bisa sampai banjir kan jadi pertanyaan.”
Kutipan di atas diambil dari pernyataan salah satu warga Kota Malang pada saat diwawancarai oleh salah satu media. Aneh memang. Bagaimana bisa jembatan yang berdiri di atas sungai tergenang banjir pada saat hujan. Kontradiktif. Tetapi, sebenarnya pertanyaan ini telah dijawab pada dua catatan kritis sebelumnya. Pertama, berkaitan dengan bencana iklim. Tidak hanya banjir yang menerjang jembatan Soekarno-Hatta saja, hampir di semua titik jalan raya Kota Malang selalu terdapat genangan ketika diguyur hujan. Wujud genangannya pun beragam. Dari sekadar genangan dengan kedalaman kurang dari 5 centimeter, kolam dengan kedalaman hingga setengah tinggi sepeda motor, sampai dengan banjir setinggi 2 meter yang dapat melelap rumah dan mobil. Hal ini diakibatkan oleh siklus hujan yang semakin tak menentu, baik besaran curahnya ataupun intensitasnya dalam setahun.
Kerusakan iklim akibat aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak, menjadi penyebab utamanya. Hal ini tidak hanya terjadi di Kota Malang saja, seluruh dunia mengalami ancaman bencana yang sama. Tetapi, benarkah Pemerintah Kota Malang tidak memiliki peran dalam upaya pencegahan, atau mungkin memperparah keadaan, bisa ditelusuri lebih lanjut.

Jawaban kedua berkaitan dengan upaya pencegahan banjir yang cenderung tidak tepat guna, terutama di soal pelaksanaannya. Selama bertahun-tahun, Pemerintah Kota Malang selalu memfokuskan penanganan banjir melalui program pembangunan dan rehabilitasi saluran drainase. Dengan jumlah anggaran yang memiliki kecenderungan peningkatan setiap tahun, program ini hampir selalu menjadi prioritas di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Malang. Tetapi, kenyataan menunjukkan hal lain. Meskipun dengan anggaran besar, setiap tahunnya, Kota Malang selalu dilanda banjir. Hal ini tentu patut dipertanyakan. Melihat kenyataan ini, pola-pola korupsi yang umum pada sektor pengadaan barang dan jasa seperti mark-up (meninggikan anggaran), mark-down (menurunkan anggaran), pengurangan kualitas, hingga pembagian jatah proyek, sangat mungkin terjadi. Kenyataan lain yang muncul bahwa ternyata selama ini terdapat 287 km jalur drainase yang tidak berfungsi, mempertegas dugaan ini.
Tetapi, benarkah persoalannya hanya sekadar itu? Tentu saja tidak. Minimnya area resapan air seperti Ruang Terbuka Hijau dan alih fungsi yang terjadi pada area sempadan sungai juga menjadi penyebabnya. Dalam menindak dua persoalan tersebut, sayangnya Pemerintah Kota Malang masih sangat tertatih-tatih, baik disengaja maupun tidak.
RTH Kota Malang Penuh Kontradiksi
Persoalan ruang memang cukup rumit, karena merupakan perpaduan problem sosial, ekonomi dan politik yang menyebabkan peningkatan resiko bencana. Konteks tersebut turut mendorong bagaimana ruang didefinisikan secara teknokratis, sesuai dengan siapa yang punya atas akses kuasa. Nantinya definisi tersebut akan dilegitimasi melalui kebijakan dan regulasi. Seperti definisi Ruang Terbuka Hijau yang sangat lekat dengan persoalan politis. Karena pendefinisian ini sangat lekat dengan kepentingan kuasa terutama untuk mendorong perampasan ruang dan bagaimana ke depan ruang tersebut akan dibentuk dan akhirnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga kota.[1]
Seperti jika kita membahas Ruang Terbuka Hijau, maka rujukan utamanya adalah regulasi. Seperti Ruang terbuka hijau menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Ruang Terbuka Hijau didefinisikan sebagai, “area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam”. Definisi ini kemudian diperbarui melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi, “area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam, dengan mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, dan estetika”.
Pasal 29 UU Nomor 26 Tahun 2007 menjelaskan pembagian Ruang Terbuka Hijau, atau yang kemudian disebut RTH, menjadi dua: RTH publik dan RTH privat. Untuk luasannya sendiri, RTH harus meliputi paling sedikit 30% dari total luasan wilayah kota yang dibagi persentasenya menjadi 20% RTH publik dan 10% RTH privat.
Dalam konteks perencanaannya, Kementerian Pekerjaan Umum telah mengeluarkan pedoman melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Kota. Pada Pasal 3 menjelaskan bahwa tujuan dari pedoman ini adalah:
- Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;
- Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat;
- Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
Melihat dari tujuan itu, jelas bahwa penyediaan RTH ini sangat berkaitan dengan pencegahan banjir. Berkaitan dengan luasan RTH yang diatur sendiri, proposisi RTH di Kota Malang masih sangat minim, terutama RTH publik. RTH publik sendiri adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Kota Bab I bagian 1.3 poin 21).
Sejauh ini, luasan RTH publik di Kota Malang masih berkisar 4% dari total 20% yang harus dipenuhi. Hal ini dikonfirmasi oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Dwi Rahayu melalui media. Padahal, sejak tahun 2011 Pemerintah Kota Malang telah mencanangkan penyediaan RTH publik seluas kurang lebih 2.350 Ha, atau setidaknya kurang lebih 21% dari total luas wilayah Kota Malang.
Hal ini selalu menjadi catatan, baik dari elemen internal pemerintahan maupun elemen masyarakat. Hal ini juga dibuktikan dengan rencana Pemerintah Kota Malang untuk merevisi Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Malang. Berdasarkan Berita Acara Pertemuan Lintas Sektor Rancangan Peraturan Daerah Kota Malang tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Nomor 56.I/BA-200.13.PB.01/XII/2021, terlihat bahwa persoalan ini telah disadari oleh internal Pemerintah Kota Malang. Poin 4 dalam Berita Acara tersebut berbunyi, “Pemerintah Kota Malang perlu menyesuaikan perubahan muatan substansi yang terdapat dalam ranperda ke dalam muatan materi teknis, seperti muatan KP2B dan pemenuhan RTH Publik 20% yang belum sesuai antara ranperda dan materi teknis”.

Pertanyaannya kemudian adalah, dengan kesadarannya, apa yang menyebabkan Pemerintah Kota Malang hingga kini sulit memenuhi aturan yang bahkan telah direncanakan sendiri sejak 11 tahun yang lalu?
RTH Kota Malang dan Kepentingan
Catatan di atas menunjukkan adanya kontradiksi bagaimana mendefinisikan RTH dan seperti apa implementasinya. Karena pembentukan ruang tidak dapat lepas bagaimana pemegang kuasa berperan. Pemegang kuasa ini adalah aktor-aktor yang memiliki kepentingan atas pembentukan ruang. Seperti bagaimana kolaborasi antara swasta dan pemerintah pusat hingga daerah yang mendorong definisi ruang seperti RTH untuk mengakomodir kepentingan mereka. Kolaborasi demikian dapat dimaknai sebagai relasi kuasa, di mana ada upaya mendorong konseptualisasi atas ruang untuk mendorong kebutuhan mereka, termasuk salah satunya melancarkan akumulasi kapital.
Tak jarang konseptualisasi atas ruang yang diterjemahkan secara teknis menjadi kebijakan dan regulasi mendorong operasi kapital lebih masif dan luas, selama bertahun-tahun, karena memang sudah disesuaikan dengan jangka waktu untuk mencapai kondisi stabil, seperti mulai dari konsep, pembangunan infrastruktur sampai bagaimana warga kota menjalani kehidupan sehari-harinya. Maka salah satu yang lahir dari penataan ruang atas pemegang kuasa adalah konflik dan secara lebih luas disebut sebagai kuasa eksklusi (power of exclusion).[2][3]
Pernyataan di atas, tergambar dari persoalan yang tengah dihadapi oleh Kota Malang. Sebagai catatan, Kota Malang memiliki sejarah yang cukup kelam terkait RTH dan perampasan ruang publik, sebagaimana kata Harvey bentuk komodifikasi atas ruang, dari ruang publik menjadi ruang akumulasi kapital.[4] Pada tahun 2002, terjadi konflik agraria perkotaan yang melibatkan Pemerintah Kota Malang, masyarakat yang tergabung di dalam Forum Masyarakat Tanjung (FORMAT), serta swasta pengembang perumahan elit di daerah Kelurahan Tanjungrejo, Sukun. Konflik ini berkaitan dengan alih fungsi Hutan Kota Tanjung menjadi perumahan elit. Dengan luasan sekitar 28,5 Ha, hutan yang berfungsi sebagai zona penyangga Kota Malang itu diubah menjadi rumah-rumah mewah.

Kepentingan ekonomi yang lebih didahulukan ketimbang kepentingan ekologis dan masyarakat, berdampak hingga saat ini. Warga Tanjung selalu menderita kebanjiran setiap musim penghujan datang. Banjirnya pun telah masuk di tahap yang parah. Umum sudah jika saat ini banyak rumah-rumah warga yang terendam dikala hujan. Akibat dari kebijakan Pemerintah Kota Malang yang mengizinkan alih fungsi Hutan Kota Tanjung di masa lalu, memberikan dampak berkepanjangan bagi masyarakat Kota Malang. Jangan lupa jika genangan-genangan air juga bisa mendatangkan bencana lain yang mengancam kesehatan manusia. Setiap harinya, warga sekitar harus berhadapan dengan banyak sekali ancaman, hanya dari satu kebijakan Pemerintah Kota Malang saja.
Berkaca pada kejadian tersebut, maka kita melihat Kota Malang dengan para pengurusnya tak lebih dari operator bisnis yang hanya memikirkan bagaimana akumulasi kapital dapat diperluas, sementara korban-korban bencana semakin banyak. Sehingga melihat perkembangan Kota Malang yang semakin sesak dengan gedung-gedung bangunan, mulai menjamurnya perumahan-perumahan baru, hingga bermunculannya apartemen-apartemen yang berdiri kokoh menjulang ke langit, menimbulkan pertanyaan baru. Sebenarnya kebijakan tata ruang ini untuk Siapa?
Tampak ruang Kota Malang menunjukkan kontradiksi yang semakin mengerucut. Di satu sisi, banyak fasilitas permukiman seperti perumahan dan apartemen yang kini menjamur. Di sisi lain, tak sedikit pula area-area kumuh yang umumnya berbentuk permukiman di pinggir sungai. Hal ini memperlihatkan ketidakadilan ruang yang begitu besar. Lagi-lagi, kepentingan masyarakat, terutama masyarakat miskin penghuni permukiman kumuh, serta kepentingan ekologis, kembali dikesampingkan oleh Pemerintah Kota Malang melalui kebijakannya. Terkait hal ini, kita bisa menelusuri persoalan lain yang menjadi penyebab banjir di Kota Malang—alih fungsi sempadan sungai.
Referensi
Burkitt, I. (2004). The time and space of everyday life. Cultural studies, 18(2-3), 211-227.
Hall, D., P. Hirsch and T. Murray Li. 2011. Powers of exclusion: land dilemmas in Southeast Asia. Singapore:National University of Singapore Press
Harvey, D. 2014. Seventeen contradictions and the end of capitalism. London: Profile Books
[1] Burkitt, I. (2004). The time and space of everyday life. Cultural studies, 18(2-3), 211-227.
[2] Hall, D., P. Hirsch and T. Murray Li. 2011. Powers of exclusion: land dilemmas in Southeast Asia. Singapore:National University of Singapore Press
[3] Harvey, D. 2014. Seventeen contradictions and the end of capitalism. London: Profile Books
[4] Ibid, Harvey

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi