Memperingati Hari Tani Nasional: Bertani sebagai Guru Kehidupan  

memperingati-hari-tani-nasional-bertani-sebagai-guru-kehidupan
Ilustrasi (Foto : ypi.or.id).
Iklan terakota

Oleh : Frida Kusumastuti*

Terakota.id–Kamis, 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Sekelompok mahasiswa yang bergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional (GMNI) melakukan aksi di depan Gedung DPRD Kota Malang dan Balai Kota Malang. Isu yang mereka angkat adalah soal agraria dan terbatasnya kesediaan pangan dalam krisis ekonomi dunia..

Anak-anak muda memang harus tetap bersuara terhadap persoalan-persoalan bangsa. Saya secara pribadi berterimakasih mereka angkat suara tentang petani. Saya sendiri  sebagian dibesarkan dalam kultur pertanian. Kakek dan nenek saya petani, begitu juga dengan adik ibukku.

Kehidupan masa kecil juga banyak berinteraksi dengan keluarga kakek nenek sebab Bapak belum punya rumah sendiri waktu itu hingga usiaku lima tahun. Setelah punya rumahpun, berdekatan dengan rumah kakek nenek. Maka saya mengamati dan merasakan kehidupan petani saat itu hingga usia masuk Sekolah Menengah Atas..

Ketika sudah dewasa, saya baru perhatian bahwa nasib petani banyak dibicarakan oleh kalangan elit. Entah itu para aktivis pemberdayaan masyarakat, maupun para akademisi dan mahasiswa. Topiknya ada yang gembira atau optimis, yaitu potensi pertanian yang luar biasa sebagai soko guru pembangunan. Namun tidak sedikit juga yang melihat dari sisi yang pesimis. Petani dikatakan kalah oleh sistem apapun. Sungguh menyedihkan.

Pada suatu hari yang lain, di sebuah grup yang saya ikuti, sebuah grup dosen sedang membicarakan nostalgia masa kecil. Mereka para dosen ternyata juga banyak yang dari keluarga petani. Hari itu kami bernostalgia tentang “ngasak” alias kegiatan mengais sisa-sisa hasil panen di sebuah sawah atau ladang. Pengalaman tersebut tentunya hanya dialami oleh “orang desa” dan terutama yang berasal dari keluarga petani.

Pada masa lalu dimana tehnologi pertanian belum semaju sekarang, pertanian lebih mengandalkan tenaga manusia dengan teknologi sederhana. Saat memanen, selalu masih ada komoditas yang tersisa. Misal panen kentang, dan kacang tanah dimana produknya tertimbun tanah dan cara memanennya dicabut, selalu saja ada umbi yang tertinggal dalam tanah (tidak ikut tercabut).

Begitupula saat panen bawang misalnya, ternyata ada saja biji bawang yang tidak terangkat hanya dengan sekali cabutan. Bahkan dalam batang pohon bawang kadang masih bisa ditemukan biji bakal bawang yang tetap layak untuk digunakan sebagai bumbu masak. Nah, sisa-sisa itulah yang kemudian menjadi sasaran para “pengasak” untuk dikumpulkan kembali dan akhirnya bernilai guna maupun bernilai tukar.

Namun, bukan soal “ngasak” semata yang ingin saya sampaikan. Saya merenungi bagaimana di masa lalu keluarga petani menanamkan nilai-nilai kehidupan melalui pekerjaan bertani?

Saat itu kakek-nenek memiliki kebun apel dan sawah di tempat yang berbeda. Kebun apel adalah arena bermain bagi kami para cucu dan anak-anak. Berbagai tanaman menjadi pemagar kebun Apel. Terdapat pohon apokat, pohon pisang, pohon jambu, pohon pepaya, dan beberapa pohon kopi. Semua itu semacam fasilitas “out bond” bagi anak-anak. Sedangkan sawah yang lebih luas ditanami selang-seling antara padi, jagung, bawang, dan kacang tanah. Bahkan dipinggir-pinggir lahan utama ditanami pula dengan sayur-sayuran seperti kacang panjang, kacang merah, terong, dan seterusnya.

Pernah juga kakek menerapkan pola bertani sembari budidaya perikanan. Saat menanam padi, kakek menyebar benih ikan di pematang sawah. Sama halnya dengan kebun apel, sawah juga tempat kami bertamasya. Bedanya, di sawah kami para cucu dan anak-anak yang masih kecil juga dikenalkan bagaimana menjadikan sawah sebagai pusat ekonomi produktif keluarga. Tidak ada komoditas yang tidak bernilai ekonomis di sawah. Juga tidak ada tenaga yang gratis jika kami ke sawah.

Masa bercocok tanam, kami para cucu dan anak-anak akan dikerahkan membantu sesuai dengan kemampuan tenaga dan keterampilan masing-masing. Saya sering mendapat tugas menancapkan bibit pada petak-petak yang sudah disiapkan oleh tenaga terlatih. Kakek-nenek memberi contoh sederhana soal cara menancapkan bibit tersebut dan mengatur jarak.

Bahkan jarak-jarak itu kadang sudah diberi tanda oleh kakek, sehingga memudahkan kami. Saat masa tanam ini agak serius. Keterlibatan kami tidak sebanyak pada tahapan selanjutnya. Mungkin pada masa ini, kakek nenek lebih banyak berdo’a sebagai harapan keberhasilan di masa selanjutnya. Maka masa tanam, tidak banyak dilakukan dengan bercanda. Membutuhkan kecermatan dan keterampilan khusus. Benih harus baik dan diperlakukan dengan tepat.

Saat memelihara tanaman, kadang kami dilibatkan dalam pemberian pupuk disamping tanaman-tanaman jika pestisida tersebut tidak membahayakan. Namun jika pestisida dalam bentuk cair, maka itu dikerjakan oleh tenaga terlatih dan  kami anak-anak harus menjauh supaya tidak terpapar percikan dan baunya. Jika tanaman sudah mulai tua, kami bergiliran menjaganya dari predator.

Misal, tanaman padi akan kami jaga dari burung-burung yang kerap mencuri buliran padi. Masa ini sangat menyenangkan, karena rasanya lebih banyak bisa dilakukan sambil bermain. Kami membuat orang-orangan sawah. Bergantian memainkan orang-orangan tersebut untuk memberi tipuan pada burung-burung.  Disela-sela menjaga tanaman padi, kami bermain layang-layang dengan gembira.

Lalu tibalah masa panen. Tentu kakek-nenek akan menggunakan orang yang telah terlatih untuk memanen tanamannya. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir kesalahan sehingga hasil panen bisa optimal. Namun, seperti diawal saya ceritakan, para petani selalu memprediksi adanya human error. Maka terciptalah budaya “ngasak” yang menjadi ide awal tulisan ini. Saya dan para anak-anak yang sejak awal terlibat dalam kegiatan bertani , penuh dengan gembira menjalankan peran “ngasak” alias mengais sisa-sisa panen.

Setapak demi setapak kami korek tanah bekas tanaman yang dipanen untuk menemukan umbi kentang atau umbi kacang yang tertinggal. Kami kupas batang-batang tanaman bawang yang bonggol bawangnya sudah dipotong untuk menemukan butir bakal bawang.

Kami sibak kembali jerami-jerami untuk menemukan bulir-bulir padi yang tertinggal. Semua temuan itu kami kumpulkan satu persatu kedalam suatu wadah. Lalu kami ke “kasir” yang biasanya diperankan oleh nenek. Temuan kami ditimbang, dan kami menerima bayaran dengan harga yang telah disepakati di awal. Saat itulah, kami merasakan pengalaman utuh menjadi petani.

Entah mengapa, saya dan saudara-saudara saya di masa kecil pada akhirnya tidak ada yang menjadi petani. Namun, pengalaman bertani yang diberikan oleh kakek nenek itu begitu membekas. Kami belajar melakukan pekerjaan dengan cara yang menyenangkan.

Kami belajar tentang kolektivitas, kolaborasi dalam pekerjaan bertani. Kami belajar bahwa dari “sampah” kita masih mendapatkan sesuatu yang bernilai. Dan yang lebih penting, kami belajar bahwa tiada kenikmatan dalam mendapatkan sesuatu jika tidak melibatkan diri dalam proses. Bertani ibarat  guru bagi saya memahami nilai-nilai kehidupan.

Jadi, apakah petani selalu kalah dengan sistem?  Sebenarnya ditengah sistem yang besar itu, kehidupan petani itu memelihara “sistem”  yang lain. Kultur yang sangat baik dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan yang luhur.  Membincang pertanian, mungkin harus juga lebih sering membicang nilai-nilai kehidupan petani atau keluarga petani.

Tidak hanya membicang kekalahan mereka dnegan sistem sehingga mempresentasikan kehidupan petani yang selalu muram. Jika hanya hal-hal yang muram yang dinarasikan, bagaimana mungkin anak-anak muda yang potensial, anak-anak muda yang cerdas, anak-anak muda yang memiliki visi akan tertarik menjadi petani.

*Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang