Membersihkan Sepakbola dari Rasisme

Iklan terakota

Terakota.idRasisme menjadi persoalan yang pelik dalam peradaban manusia. Begitu pula dalam sepakbola. Serangan bernada rasis masih terjadi kepada para pemain sepakbola, baik yang dilakukan oleh sesama pemain maupun oleh penonton yang berada di tribun penonton. Padahal otoritas tertinggi sepakbola, FIFA telah mengkampanyekan slogan say no to racism hingga black lives matter yang digaungkan di berbagai kompetisi.

Di masa pandemi Covid-19, ketika pertandingan sepakbola harus dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat dimana penonton tidak boleh datang ke stadion, serangan rasis bergeser ke media sosial. Salah satu kasus yang memprihatinkan terjadi pada pemain PSM Makassar, Patrick Wanggai, yang mendapatkan ujaran rasisme di media sosial Instagram yang dimilikinya. Salah satu yang paling memprihatinkan adalah adanya warganet yang mengunggah gambar monyet dan kata-kata yang bernada rasis.

Serangan rasis kepada Patrick Wanggai melalui media sosial terjadi pasca laga PSM Makassar vs PSM Makassar digelar pada Senin (22/3/2021) di Stadion Kanjuruhan, Malang. PSM Makassar berhasil mengalahkan Persija Jakarta dengan skor 2-0. Patrick Wanggai mencetak 1 gol bagi PSM dalam pertandingan pertama Piala Menpora yang dijalani kedua klub.

Media sosial kini telah menjadi bagian penting dalam perilaku komunikasi manusia. Media sosial sebagai bagian penting dari media baru, memungkinkan para penggunanya untuk mengunggah konten yang bisa diakses oleh audiens. Siapapun yang memiliki akun media sosial bisa mengunggah konten maupun memberikan komentar terhadap unggahan yang dilakukan oleh pengguna yang lain.

Critical Race Theory

Kajian tentang persoalan rasisme dalam komunikasi telah menjadi perhatian penting para akademisi. Critical race theory  (CRT) atau yang bisa kita terjemahkan sebagai teori ras kritis  merupakan studi penting tentang ras dan rasisme. Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam bukunya Encyclopedia Of Communication Theory (2009) menyebutkan bahwa CRT berlandaskan pada gagasan kompleks tentang ras sebagai konstruksi sosial yang secara simultan dan sangat material, setidaknya dalam pengalaman hidup dan efeknya, CRT menawarkan studi historis dan dinamis tentang ras dan rasisme yang menelusuri akar pemikiran rasial dan praktik rasis saat itu yang juga dengan cermat melacak wacana dan praktik kontemporer ras dan rasisme.

CRT berpendapat bahwa pemikiran dan praktik rasis spesifik secara historis dan kontekstual. Sebagai gambaran adalah ketika pemisahan rasial secara de jure adalah illegal karena undang-undang melarangnya, namun pemisahan rasial secara de facto  terus berlanjut. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di Amerika Serikat, negara yang mengklaim sebagai negara paling demokratis. Di negara adidaya ini rasisme secara de facto terus terjadi.

Black lives matter yang menjadi isu global dimulai dari peristiwa rasisme yang menyebabkan kematian George Floyd, seorang keturunan Afro-Amerika. Floyd meninggal tidak lama sesudah ditangkap oleh polisi di kota Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat. Tuduhan membeli rokok di toko kelontong memakai uang palsu, pada 25 Mei 2020 digunakan oleh polisi untuk menahan George Floyd.

Dalam kasus George Floyd, media sosial menjadi medium yang mengunggah kesadaran publik tentang bahaya rasisme. Sebuah video yang viral di media sosial menunjukan polisi bernama Derek Chauvin sempat melakukan kekerasan dengan menindih leher George Floyd memakai lutut salah satu kakinya, selama hampir 9 menit. Sehari setelah meninggalnya George Floyd, aksi unjuk rasa besar meletup di Minneapolis. Unjuk rasa menentang kebrutalan polisi Minnesota kepada George Floyd kemudian berubah menjadi kerusuhan besar.

Ilustrasi : FIFA

Dalam sepakbola, kematian George Floyd memberikan dampak besar. Kampanye black lives matter disuarakan dalam berbagai bentuk, mulai di jersey pemain, ad board di pinggir lapangan, bumper dalam siaran langsung televisi, dan bahkan penghormatan yang dilakukan pemain sebelum pertandingan dimulai.

Belum selesai luka akibat rasisme yang dialami George Floyd, serangan rasis kembali terjadi di Amerika Serikat. Sasarannya adalah orang-orang keturunan Asia yang dituduh sebagai pangkal penyebab virus Covid-19. Serangkaian aksi penembakan mematikan terjadi pada hari Selasa (17/03/2021) di tiga panti pijat di Cherokee County di daerah Atlanta. Setidaknya delapan orang tewas akibat luka tembak.

Serangan yang berujung pada kematian George Floyd dan warga keturunan Asia  yang terjadi di Amerika Serikat menunjukan kepada kita tentang bahaya rasisme. Menganggap ujaran rasis di media sosial sebagai hal yang biasa adalah hal yang berbahaya. Ujaran rasis di media sosial bukanlah persoalan yang biasa, namun persoalan yang berbahaya.

Dari sepakbola, rasisme harus dilawan dengan serius. Sepakbola seharusnya menjadi lapangan dimana keragaman dirayakan. Gerakan memerangi rasisme sudah harus menjadi program penting dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), klub sepakbola, media massa, dan tentu saja fans sepakbola.

Ujaran kebencian bernada rasis kepada pemain sepakbola maupun kepada fans sepakbola tidak boleh lagi terjadi dalam sepakbola kita. Rivalitas sepakbola adalah rivalitas yang sehat, rivalitas yang bersih dari ujaran rasisme. Saatnya kita membersihkan sepakbola dari rasisme.