
Terakota.id– Belakangan ini ragam buku Emha Ainun Nadjib muncul kembali. Tak hanya “Slilit Sang Kiai”, tetapi juga yang lain-lain mudah ditemukan di toko buku. Kumpulan tulisannya yang relatif baru juga turut hadir, yang diserialkan dalam buku-buku daur. Termasuk serinya yang berjudul “Markesot Belajar Ngaji”.

Kajian yang dilakukan penulis lain juga bertambah. Misalnya, dengan kehadiran buku “Cinta, Kesehatan dan Munajat Emha Ainun Nadjib”, yang ditulis dokter Ade Hashman. Karenanya, tak salah kiranya, manakala kita mengatakan Emha hadir kembali. Di rak-rak toko buku. Kendati, barangkali belum melampaui potongan-potongan gambarnya, videonya, di Youtube.
Emha pasca-buku ialah Youtube. Tapi, kini kita bisa bilang, Emha pasca-Youtube ialah buku. Dan, tentu masalahnya kini bukanlah, bagaimana Emha eksis di jaman “post-truth”, era yang bahkan siapapun bisa dan biasa di-bully di medsos.
Mungkin dia tak butuh eksistensi, tak mau jadi “motivator arus utama” atau sekadar pengisi pengajian di televisi-televisi. Tapi, kita, saya, yang butuh perspektif, justru ketika banjir informasi, entah yang hoaks atau tidak, terus merajalela.
Perspektif Emha, mungkin tak semuanya kita perlukan. Tetapi jelas, dia sengaja atau tidak, mengajak pembacanya, pendengarnya untuk memiliki kesadaran nyata dalam mengambil sudut pandang, mungkin juga ancang-ancang. Sudut pandang dalam kehidupan, yang dalam “dunia Emha” sudut pandang itu ialah cinta segitiga antara manusia, Muhammad SAW, dan Allah SWT.
Sepanjang perjumpaan saya dengan Mbah Nun, sepanjang itu pula shalawat disenandungkan. Tasawuf Emha, biasa saja, yang pandangan dasarnya ialah, segala perilaku kita di dunia ini berdimensi akhirat. Sebagaimana HAMKA, kita juga banyak menemukan perspektif Emha dalam hal “agama ialah cinta”. Dan, bagaimana kita memebaskan dari “sihir-sihir modern”.
***
Sebagai penggemarnya sejak remaja, saya termasuk yang suka. Saya sudah akrab dengan kolom-kolomnya di Majalah Panji Masyarakat sejak sekolah dasar. Jadi saya mengenal melalui tulisan ketimbang ceramahnya di Youtube. Menjadi penulis seperti Emha pun melintas-lintas dibenak saya ketika itu.
Tulisannya mengalir, kadang hiperbolik menerbangkan hal-hal yang dibahasnya lalu membantingnya ke bawah, menggiring pembaca ke kesimpulan yang seringkali tidak jelas, tanpa pembacanya berpikir sejenak.
Dia juga memunculkan tokoh-tokoh. Seringkali, tokoh yang dibicarakan, dirinya sendiri. Seringkali tokoh besar kalau bukan kontroversial, apakah Imam Khomeini, Salman Rusdhie, Sutan Takdir Alisjahbana, hingga Cory Aquino. Tapi juga, Muhammad Ali, Roeslan Abdulgani, Pak Harto, atau yang lain. Tentu semuanya tokoh nyata.
Tapi, apabila kita lacak lagi tulisan-tulisannya yang menyebul prolifik sejak pertengahan dekade 1970-an, kita akan diperkenalkan pada orang-orang biasa yang tak tercatat dalam sejarah. Misalnya, Kang Kanip, ada juga Hasan yang jumlahnya ribuan, dan nama-nama lain yang hadir dalam kumpulan tulisannya “Indonesia Bagian dari Desa Saya”.

Mungkin mereka nyata, tapi mungkin nama yang dimunculkan. Tetapi, nama-nama seperti Kiai Sudrun, Markesot dan kawan-kawannya, jelas rekaan. Mereka adalah sosok-sosok yang akrab dengan para jamaah pembaca Emha, sang penulis pusi “Seribu Masjid, Satu Jumlahnya” ini.
Sebagai orang yang pernah terlibat dalam, kendati sekadar dalam kurun tertentu awal Era Reformasi, “dunia Emha”, bahkan menulis bersama Wawan Susetya dan Prof. Aprinus Salam “Kitab Kententeraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib” (2001, 2014), saya merasakan nuansa nostalgia dalam banyak tulisannya.
Bukan sekadar nostalgia berjumpa “Cak”, atau sekarang sudah banyak yang menyebutnya “Mbah” Nun secara fisik, tetapi lebih jauh dari itu, nostalgia kehidupan. Emha, biarlah saya memakai sebutan ini, sebutan yang populer sejak awalnya, sosok kreatif multidimensi dengan energi berlimpah.
Membaca tulisan-tulisannya pada dekade 1970-an, 1980-an dan 1990-an ialah membaca proses dan dinamika hidup yang nyata, dinamis, absurd. Bahkan sang kiai pun bisa terganjal “slilit”, ketika tanpa sengaja mengambil benda milik orang lain.
Bagaimana hidup terus berproses, menghadapinya, Emha mengajak pembaca pada pentingnya pendekatan, perspektif. Dan, pendekatannya tidak tunggal. Kalau ada pengemis, peminta-minta, ketika engkau duduk-duduk di emperan Malioboro, kata Emha suatu ketika sebagaimana terlintas dalam ingatan saya, apakah engkau mengedepankan akhlak ataukah fikih? Bukankah akhlak lebih tinggi levelnya ketimbang fikih?
Emha memang pribadi yang selalu gelisah dengan banyak hal. Apakah dalam tulisan maupun keseharian, apa yang dikatakan maupun yang dikegiatankan, semua merupakan ekspresi dari kegelisahan itu. Tapi, tak seperti jenis filosof tertentu yang terkesan tenggelam dalam aneka kegelisahan buku harian, jelas Emha manusia produktif.
Tradisinya dalam bersastra, tak luput dari kegelisahannya. Dan karenanya dia “banyak mengadu” kepada Tuhannya. Dalam kumpulan puisi “99 untuk Tuhanku”, Emha seperti tengah melapor kepada Tuhan, ikhwal ragam absurditas perilaku manusia, direfleksikan dengan sifat-sifat ketuhanan. Kegelisahan kreatifnya juga dilejitkan melalui drama dan puisi “Lautan Jilbab” yang fenomenal pada masanya.
Juga yang lain-lain. Juga kepada umat dan bangsa. Gagasan-gagasan Emha tentang ragam masalah sosial, dan politik, tak jarang merepresentasikan pendapat kita yang, kita sendiri tak bisa mengungkapkannya. Jelaslah rekam jejaknya sebagai arus lain yang kritis, di tengah dalamnya situasi masyarakat diam. Kedungombo, “Islam yes, partai Islam yes”, dan aneka lainnya.
Tak usah membandingkannya dengan “guru-guru kehidupan” lain yang mewarnai referensi kita hari-hari ini, Emha termasuk yang tersisa. Tak hanya dari Gus Dur, Cak Nur, Pak Kunto, Kiai Mustofa Bisri, Buya Ahmad Syafii Maarif, yang lain-lain, kita, manusia Indonesia butuh ragam khasanah. Dan, Emha Ainun Nadjib, adalah satu dari sekian “ragam khasanah” itu.**

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS