Foto : Ali Ahsan Al Haris
Iklan terakota

 

Oleh : Ali Ahsan Al Haris*

 

Judul                : Kopi, Pagebluk, dan Kota

Penulis             : Pipit Anggraeni & Aisyah

Cetakan           : Pertama, 2021

Penerbit           : Beranda

Jumlah halaman: xvi + 118

 

Semerbak Harum Kopi

Terakota.idSelepas tandas membaca buku Kopi Muria, tak lama berselang buku yang saya nanti sudah bisa didapatkan. Tidak terlalu tebal, ditulis oleh dua orang, terbagi menjadi tiga bab besar yang saling berkaitan. Berjudul Kopi, Pagebluk dan Kota. Membaca buku ini seperti berada di lorong waktu. Jika buku sejarah cenderung mengangkat satu tema dan dibatasi pada periode tertentu, tidak demikian yang terjadi di buku ini. Perbedaan tema dan periode menjadikan buku ini seperti potongan puzzle yang sangat cadas. Penulis berhasil menyuguhkan ke pembaca keterkaitan tema satu dengan yang lain.

Di awali suguhan kondisi Malang yang masih hutan belantara. Sebuah kawasan pedalaman yang awalnya tidak dilirik sama sekali oleh Bangsa Eropa. Namun kemudian keadaan itu berbalik, Malang berkembang menjadi area yang banyak dicari lantaran dikenal dengan hasil perkebunannya. Hasil perkebunan yang menjadi jembatan luas dikenalnya Malang se-antero negeri  berupa produsen terbaik tebu dan kopi di Jawa Timur.

Malang diapit gunung aktif Semeru dan Kelud. Dialiri sungai Brantas, Amprong dan Bango. Sehingga Malang memiliki lahan yang subur dan potensial untuk perkebunan Kopi dan Tebu.

Anugerah alam itu yang kemudian membuat Malang dikenal sebagai penghasil Kopi berkualitas. Ditanam di perkebunan pedalaman Malang, yakni dikenal sebagai kawasan Amstirdam (Ampelgading, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo dan Dampit) bahkan hingga lereng gunung Bromo dan Arjuno produksi kopinya menembus pasar internasional.

Tanaman Kopi mulai dikenalkan di Malang pada 1830-an yang masa itu Malang masih menjadi bagian Karesidenan Pasuruan yang membawahi delapan distrik: Penanggungan, Turen, Ngantang, Karanglo, Pakis, Gondanglegi, Sengguruh (Kepanjen), dan Kota Malang. Hingga pada 1887-1889 Malang tercatat sebagai daerah penghasil Kopi terbesar di Jawa Timur mencapai 143.173 pikul (satu pikul setara dengan 62 kilogram). Kebanyakan kopi yang ditanam di Malang saat itu adalah jenis kopi robusta, arabika dan liberika.

Dulu Kota Malang sepi dan tidak banyak penduduk yang tinggal. Perkembangan produksi kopi berpengaruh atas peningkatan jumlah penduduk, jumlah perkebunan, serta ekonomi masyarakat. Bahkan diikuti dengan perkembangan transportasi.

Pada  1879 rangkaian Trem yang ditarik dengan lokomotif uap mulai beroperasi di Malang dengan rute Stasiun Trem Jagalan dan Stasiun Trem Bululawang. Fungsinya selain untuk mengangkut manusia, juga diperuntukkan mengangkut hasil panen kopi ke Surabaya yang merupakan pelabuhan Internasional. Trem  dimanfaatkan Pemerintah Kolonial Belanda mengirimkan hasil perkebunannya ke luar negeri.

Menariknya, pengaruh Pemerintah Kolonial yang sangat kuat dan mengakar ini dimanfaatkannya untuk memberi gelar kehormatan ke para bupati yang awalnya bergelar Notoadinegoro berubah menjadi Raden Tumenggung, lalu pada perkembangannya berubah menjadi Raden Adipati Aryo ini disematkan sebagai gelar tertinggi para bupati yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi. Naas, meski saat itu kesuksesan perkebunan kopi di Jawa tak terkecuali Malang, tak berpengaruh banyak terhadap kehidupan perekonomian masyarakat bumiputra.

Kenangan Jalur Trem

Malang yang sebelumnya dikenal sebagai kota pedalaman dan terisolasi berangsur dikenal banyak orang karena masuknya jalur Trem. Selain untuk mengangkut manusia dan hasil panen perkebunan, jaringan Trem yang menghubungkan Malang dan Surabaya berdampak atas minatnya orang Eropa membangun rumah di Malang. Kemudian menjadi tonggak Malang sebagai kota tujuan  urbanisasi.

Perekonomian terus menggeliat, kemudian dibangun jalur kereta api rute Surabaya-Pasuruan-Malang secara bertahap pada 1876-1879 oleh Staatspoorwegen (SS). Sebagai daerah yang dikelilingi pegunungan, sejak dahulu jalanan Malang memang sangat tajam dan berkelok. Dokumen sejarah mencatat beberapa jalur trem yang dibangun ketika itu tak main-main. Menggunakan pertimbangan yang sangat tajam dan matang dengan memperhatikan topografi Malang.

Dampak lain dari pembukaan jalur kereta selain berpengaruh pada perekonomian dan perkebunan di Malang, juga memberikan banyak manfaat di antaranya pembukaan daerah-daerah pedalaman yang sulit dijangkau agar lebih mudah didatangi. Mengingat banyaknya modal yang harus dikeluarkan Pemerintah Kolonial, demi laju percepatan perekonomian pihak swasta dirangkul. Swasta yang berencana membangun pabrik gula di Malang harus mempersiapkan infrastruktur seperti kebun dan lori untuk mengangkut hasil tebu ke pabrik gula.

Di era VOC, pernah diberlakukan kebijakan penataan permukiman berdasarkan kelompok etnis. Pertama, permukiman bagi pribumi atau penduduk asli setempat. Kedua, warga Timur Asing seperti Tionghoa, Arab, Italia dan orang asing Non Eropa lainnya. Ketiga, permukiman bagi warga Eropa, Belanda, dan Indo peranakan. Aturan tersebut dikenal sebagai wijkenstelsel. Jika kita teliti lebih lanjut, kampung pecinan yang ada saat ini bisa jadi adalah bukti peninggalan dari sistem wijkenstelses itu sendiri.

Buku Kopi Pagebluk dan Kota

Sistim tersebut hilang saat VOC juga dinyatakan bubar. Namun tidak pada kebijakan rasial pada pembagian kelas penumpang trem. Jika kereta api sekarang membagi kelas tiket berdasar harga tiket. Kebijakan pembedaan gerbong trem pada masa kolonial berdasar ras dan etnis. Terjadi pada kurun waktu 1901-1930 khususnya di Malang.

Kelas satu adalah kelas eksklusif untuk orang-orang Eropa. Tersedia gerbong dan tempat duduk yang nyaman tanpa harus berdesakan. Tarif yang dipatok perusahaan MSM untuk kelas eksklusif sebesar f 1,16 – f 1,84 per orang. Kelas dua diperuntukkan untuk warga Timur Asing seperti Tionghoa, Arab, India dan orang asing Non Eropa lainnya. Yah meski tempat duduknya tidak senyaman kelas satu, gerbong kelas dua tidak ada yang berdesakan dan berdiri. Tarif yang dikenakan berkisar f 0,50 – f 0,73 per orang. Terakhir, kelas tiga yang dikhususkan bagi warga bumiputra. Jumlah gerbong yang disediakan cukup banyak, meski begitu penumpang tetap berdiri dan berdesakan berebut menggunakan moda transportasi massal tersebut. Tarif karcis yang dikenakan sebesar f 0,09 – f 0,20 per orang. Meski begitu, ada keistimewaan bagi warga bumiputra dari kalangan keluarga priyayi. Mereka diperbolehkan naik gerbong kelas dua bersama etnis Timur Asia lainnya. Sistem pembagian gerbong kereta berdasarkan ras dan etnis berakhir saat Indonesia merdeka dan semua aset dikelola negara.

Wabah PES yang Mematikan

Kesalahan pemerintah Belanda, harusnya menjadi pelajaran semua pihak. Termasuk pemerintah Indonesia maupun Kota Malang dalam menangani pandemi Covid-19. Kenyataannya kita tidak belajar dari sejarah, tidak memperbaiki tata kelola dan penanganan wabah penyakit. Kesalahan komunikasi dan edukasi kesehatan kepada masyarakat kembali terulang sehingga masyarakat tidak waspada dan saling curiga dalam menghadapi wabah.

Kondisi Malang di awal 1900-an mungkin tak jauh berbeda dengan kondisi pada 2020 saat awal pandemi Covid-19 melanda, karena sekitar tahun 1911 hingga 1916, Malang diserang pagebluk pes yang cukup mematikan. Penyakit menular ini bermula dari kutu yang ada pada tubuh tikus. Wabah tersebut pernah menyerang Eropa pada abad ke-14 yang lebih dikenal dengan nama black death. Seperti halnya Covid-19, kemunculan pes di Hindia Belanda tak digubris oleh Pemerintah Kolonial. Pemerintah menyangkal jika yang menyerang penduduk di Malang bukanlah pes, hingga beberapa bulan kemudian Pemerintah Kolonial baru menyatakan jika itu adalah wabah pes setelah ratusan nyawa menjadi korban.

Sebelum menyerang wilayah Hindia Belanda, wabah pes pada tahun 1910 akhir lebih dulu melanda wilayah Myanmar dan di saat yang bersamaan, Pemerintah Kolonial mengimpor beras dari Myanmar lantaran saat itu kebutuhan pangan cukup tinggi, sementara ketersediaan bahan baku tidak mencukupi karena saat itu Jawa mengalami gagal panen.

Kasus penyakit pes meledak di Malang, saat kereta yang membawa ribuan ton beras dari Myanmar transit di stasiun Malang lantaran kawasan Blitar dan Kediri dilanda banjir. Beras disimpan di gudang-gudang beras yang berada di beberapa desa yang berdekatan dengan stasiun (Turen). Tak lama ditemukan banyak bangkai tikus mati di dalam beras impor tersebut. Sedangkan tikus yang hidup masuk kedalam perkampungan sehingga dalam waktu singkat banyak yang terinfeksi pes. Akhir 1911 dilaporkan sebanyak 2.300 orang meninggal di Malang akibat wabah pes.

Berbagai upaya dilakukan Pemerintah Kolonial untuk membendung wabah yang dibawa dari kutu hewan pengerat ini. Mulai memberlakukan karantina wilayah, melarang warga keluar masuk Malang yang cukup lama sehingga membuat ekonomi terpuruk. Menginstruksikan warga memburu dan membakar tikus dan membuat barak khusus pasien yang terjangkiti.

Namun anehnya, masyarakat Malang saat itu mempercayai bahwa apa yang sedang terjadi adalah gangguan roh jahat. Sebab tak sedikit warga satu kampung yang tewas serentak. Tampak jika masyarakat Indonesia masih percaya dengan klenik senada dengan apa yang Muchtar Lubis tulis pada buku ‘Manusia Indonesia’ yang kontroversial itu.

Proses penanganan wabah pes yang sangat lamban itu membuat Pemerintah Kolonial membentuk Gemeente atau Kotamadya Malang di tahun 1914. Salah satu tujuan pembentukan Kotamadya adalah menyerahkan tanggung jawab pemberantasan wabah pes dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal.

Saat itu luas Kota Malang 1.503 hektare. Penduduk terdiri atas Pribumi kurang lebih 40 ribu jiwa, penduduk Eropa kurang lebih 2.500 jiwa dan penduduk Timur Asing kurang lebih 4 ribu jiwa. Perubahan status Malang menjadi Gemeente juga mengubah tata kota dan arsitektur bangunan. Jika sebelumnya bergaya Indische Empire Style berubah dengan gaya art deco.

Kelebihan buku ini selain membahas sejarah Malang yang sangat luar biasa, pihak penerbit juga memberikan kode Quick Response (QR) pada tiap akhir tulisan yang ada dibuku ini. Nantinya, pembaca akan terhubung ke video jurnalistik yang di unggah ke kanal youtube Terakota.

Kopi, Pagebluk, dan Kota – Pipit Anggraeni & Aisah

*Karyawan Swasta, Coffee Holic & Pembaca Buku