
Terakota.id–Warga Dusun Sumberjo Desa Kalisongo Kecamatan Dau Kabupaten Malang berkutat menghias kampung. Beragam ornamen khas kampung mewarnai permukiman warga. Mereka tengah menyiapkan Kampung Cempluk Festival (KCF) ke 9. Warga RW 2 Kalisongo mulai berbenah menampilkan suasana baru di kampungnya.
Kampung yang terkenal dengan Kampung Tukang ini menata kampung menyambut hari raya kampung KCF#9. Mereka renovasi dan menata ruang mendesain dengan beragam instalasi seni yang menarik.
Ketua RT 7 Sirin menggerakkan warga mempercantik gang-gang kampung. Warga iuran swadaya menghias kampung. Tahun ini, kampung cempluk diselenggarakan di gang kampung cempluk seperti KCF pertama hingga ke tiga.
Romansa gang sempit tersaji menjadi ruang alternatif menorehkan karya seni warga kampung. KCF#9 bertema Kampung sebagai Serambi Utama Indonesia. “Disesuaikan dengan tema HUT Kemerdekaan Indonesia,” katanya.
Festival dilangsungkan 22-28 September 2019. Dimulai dengan Sarasehan Budaya serta arak-arakan pawai budaya. Ditandai dengan menghidupkan lampu cempluk oleh tokoh masyarakat.
Tak lupa aneka kuliner khas kampung hadir menjadi suguhan pengunjung. Sejumlah gerai bakal memamerkan produk kuliner, dan kerajinan lokal masyarakat setempat. Sejarawan Universitas Negeri Malang M. Dwi Cahyono mengatakan kampung cempluk bakal tampil beda.

Pada Festival Kampung kali ini Kampung Cempluk bakal tampil lebih ngampungi. Diselenggarakan di lorong sempit, di halaman dan teras rumah warga kampung. Warga bhakti kampung menghadirkan nuansa kampung jadul serba bambu. “Luwih ndesani” kata Dwi dalam siaran pers yang diterima Terakota.id.
Memasuki Kampung Cempluk serasa menelusuri lorong waktu. Bak suasana sebelum 1980-an, ketika Dusun Sumberejo masih terisolir. Harus memutar jauh menuju Kota Malang. Akses menuju kampung yang terletak di seberang barat aliran Kali Metro sulit. Tak ada jembatan, jalan curam dan sempit.

Aliran listrik terlambat hadir, malam hari mengandalkan lampu minyak bernama cempluk. Sehingga nuansa itu dihadirkan kembali di kampung ini. Kampung cempluk memiliki sasasti bersahaja “kampungku, ekspresi diriku”.
Semestinya, kata Dwi, model pembangunan negeri menempatkan kampung pada posisi depan. Seperti posisi serambi dalam suatu kompleks rumah tinggal. Kampung bukan sekadar pagersaren, yang berada di belakang rumah. Tidak tampak dari depan dan tak jadi prioritas dalam pembangunan.
Padahal, kuat atau lemahnya suatu desa bergantung pada kedayaan kampung. Desa yang kuat merupakan modal internal untuk kuatnya Kota. Kota yang kuat menjadi pilar kokoh bagi kekuatan negeri. Ketahanan negari semestinya bertitik tolak dari ketahanan desa beserta kampung.

Jalan, baca dan makan