
Terakota.id–Kethoprak Pati banyak menampilkan lakon-lakon yang mengisahkan cerita tutur pesisir utara Jawa (Jawa Pesisir). Beberapa lakon yang seringkali dimainkan di antaranya adalah tokoh Saridin yang bisa kita saksikan dalam banyak lakon seperti Saridin Lahir, Saridin Andum Waris, Geger Palembang, Ontran-ontran Cirebon, Bedhahing Ngerum, Ondorante, dan Lulang Kebo Landoh. Masyarakat Pati dan sekitarnya mengenal sosok Saridin sebagai seorang yang nyeleneh dan suka berbuat seenaknya sendiri. Namun, ia juga dikenal sebagai seorang yang sakti dan seringkali menerobos logika umum untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan.
Makam sosok kontroversial tersebut terletak di Desa Landoh, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Makam tersebut hingga saat ini masih ramai dikunjungi oleh para peziarah. Tokoh Saridin pada akhirnya nanti dikenal juga sebagai Syeh Jangkung, sebutan bagi sosok yang pernah dikenal sebagai penjahat dan suka menabrak aturan dan hukum yang berlaku saat itu. Sebagaimana yang dikisahkan dalam pementasan Kethoprak Sri Kencono, tanggal 14 November 2017 di Ngrejeng, Gabus, Kabupaten Grobogan, Saridin ditampilkan memiliki tabiat yang berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Tingkahnya konyol dan memiliki keputusan yang seringkali aneh bagi kebanyakan orang.

Dikisahkan bahwa tokoh Branjung yang tak lain adalah kakak ipar Saridin, seorang yang cukup kaya di desanya (Desa Miyono). Namun, Branjung adalah seorang yang memiliki sifat kurang baik. Seorang yang serakah dan gemar meminjamkan uang dengan bunga tinggi kepada para tetangganya. Selain itu, ia juga menguasai sawah dan ladang warisan orang tua Saridin. Saridin yang sedang dalam kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya mencoba berbicara pada Branjung untuk meminta sebagian harta warisan ayahnya. Karena merasa dipersulit, Saridin pun bermaksud akan membicarakan masalah tersebut kepada kepala desa. Sampailah pada satu kesepakatan bahwa Branjung bersedia berbagi waris dua pohon durian yang sedang berbuah lebat. Kesepakatan selanjutnya, Saridin berhak atas buah durian yang jatuh dari pohon pada waktu malam hari dan Branjung berhak atas buah durian yang jatuh pada siang hari.
Tak lama kemudian, terjadilah geger di desa Saridin tentang kematian seorang pencuri durian yang tak lain adalah Branjung. Warga beramai-ramai memperkarakan Saridin. Kepala desa menciduk Saridin justru saat Saridin sedang asyik bertani. Saat itulah Saridin harus mau dibawa ke Kadipaten Pati untuk mendapat hukuman dari Adipati Jayakusuma.
Anehnya, Saridin tidak mengakui kesalahannya. Ia membela diri dengan santai bahwa ia tidak membunuh kakaknya yang semalam mencuri durian, melainkan membunuh seorang harimau. Jika saja yang dilihatnya adalah kakak iparnya, tentu ia tidak mau membunuh dengan menusukkan tombak bambu runcingnya. Yang dibunuhnya adalah seekor harimau meski kakaknyalah yang semalam menyamar menjadi seekor harimau untuk mencuri durian.
Petugas kadipaten pun tetap bersikukuh untuk menciduk dan memenjarakan Saridin. Saridin divonis bersalah telah melakukan pembunuhan. Saridin tetap ngotot tak bersalah dan menolak dipenjara. Bupati saat itu, Adipati Jayakusuma mengakalinya dengan mengatakan bahka Saridin tidak akan dipenjara, tetapi ditempatkan pada sebuah rumah besar yang dijaga oleh para penjaga. Hal tersebut membuat Saridin bersedia dan tidak merasa keberatan.
Tingkah konyol Saridin berlanjut. Kepada sang adipati, Saridin melemparkan sebuah pertanyaan, “Apakah boleh jika nantinya saya keluar dari tahanan untuk pulang menjenguk keluarganya di rumah?” Dengan nada mengejek dan merendahkan, sang adipati menjawab, “Boleh jika kamu bisa?” Lagi-lagi pernyataan tersebut membuat Saridin bersedia dan tidak merasa keberatan.

Dengan kesaktiannya yang seringkali tak disadarinya, Saridin bisa keluar dari tahanan dan pulang ke rumahnya. Satu keanehan karena tahanan sudah dijaga ketat oleh para penjaga dan beberapa pintu juga sudah dalam keadaan terkunci. Hal ini terkuak ketika Kepala Desa Miyono melaporkan kepada sang adipati bahwa ia sudah empat kali melihat Saridin keluar dari penjara dan tampak berada dengan santai di rumahnya.
Para petugas menjadi sangat heran karena Saridin sendiri tampak tidak menyalahi aturan dan hukum yang ada di tahanan. Hal ini membuat sang adipati menjadi marah besar. Martabatnya sebagai penguasa serasa dihinakan oleh Saridin. Ia pun kemudian meyuruh penjaga untuk menghukum Saridin dengan hukuman gantung hingga mati.
Tingkah konyol Saridin berlanjut. Kepada sang adipati, Saridin melemparkan sebuah pertanyaan, “Apakah boleh jika nantinya saya ikut membantu melaksanakan hukuman gantung tersebut?” Dengan nada mengejek dan merendahkan, sang adipati menjawab, “Boleh jika kamu bisa?” Lagi-lagi pernyataan tersebut membuat Saridin bersedia dan tidak merasa keberatan.
Dengan kesaktiannya yang tak disadarinya, Saridin bisa keluar dari hukuman gantung. Satu keanehan karena yang tergantung pada tali justru sang kepala desa. Para petugas dan sang adipati pun menjadi sangat heran. Hal ini membuat sang adipati menjadi marah besar. Martabatnya sebagai penguasa serasa dihinakan oleh Saridin. Ia pun kemudian meyuruh penjaga untuk menghukum Saridin dengan hukuman paksa dimasukkan dalam peti yang tertutup rapat.

Februari 2017 di Ngrejeng, Gabus, Grobogan. (Foto : Sukarjo Waluyo).
Tingkah konyol Saridin berlanjut. Kepada sang adipati, Saridin melemparkan sebuah pertanyaan, “Apakah boleh jika nantinya saya ikut membantu melaksanakan hukuman paksa dimasukkan dalam peti yang tertutup rapat?” Dengan nada mengejek dan merendahkan, sang adipati menjawab, “Boleh jika kamu bisa?” Lagi-lagi pernyataan tersebut membuat Saridin bersedia dan tidak merasa keberatan.
Dengan kesaktiannya yang tak disadarinya, lagi-lagi Saridin bisa keluar dari hukumannya. Satu keanehan karena yang berada dalam peti sang kepala desa. Para petugas dan sang adipati pun menjadi sangat heran. Hal ini membuat sang adipati menjadi marah besar. Lagi-lagi martabatnya sebagai penguasa serasa dihinakan oleh Saridin. Ia pun kemudian meyuruh penjaga dan rakyatnya untuk mengerubut Saridin. Saridin yang pun pada akhirnya bisa lolos dan melarikan diri ke arah Kudus.

Cerita tutur tentang sosok Saridin mengakar kuat hingga kini dalam masyarakat Pati dan sekitarnya. Sosok Saridin yang lugu dan konyol, tetapi sakti masih terasa dekat dalam kehidupan mereka. Kesenian kethoprak yang masih menjadi tontonan populer hingga saat ini masih banyak mengisahkan sosok Saridin tersebut.
Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang aturan dan hukum masih menjadi maslah, cerita tentang sosok Saridin bisa menjadi satu bahan perenungan. Saridin yang lugu dan konyol masih bisa menjadi bahan belajar yang cukup relevan. Sosok yang jujur dan apa adanya dalam berbicara dan bertindak. Ia menceritakan segala hal yang ia lihat dan hadapi tanpa ditambah atau dikurangi. Ia membunuh harimau tanpa rasa bersalah meski ternyata harimau tersebut adalah Branjung, kakaknya sendiri yang sengaja menakuti Saridin untuk mendapatkan durian yang bukan haknya.
Sosok Saridin seakan menyadarkan kita bahwa hukum seringkali masih bermasalah dan rumit. Sementara itu, sosok Saridin melukiskannya dengan sangat gampang dan sederhana untuk melihat mana yang benar dan mana yang salah. Di balik keluguan dan kekonyolonnya yang seringkali kita remehkan dan kita pandang sebelah mata, ternyata tersimpan makna kebenaran sejati.

Penulis adalah dosen dan peneliti pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang