
Oleh: M. Dwi Cahyono*
Terakota.id– Ada kalimat iklan bertulis “Bikin Hidup Lebih Hidup”. Jika yang dibikin hidup (urip) itu adalah “kampung”, maka kalimatnya bakal menjadi “Membikin Kehidupan Kampung menjadi Lebih Hidup”. Kalimat ini selaras dengan tema “Festival Kampung Cempluk VIII” pada tahun 2018, yakni “Kampungku Uripku”.
Paling tidak, ada dua hal yang terkandung dalam kalimat tematik itu. Yaitu : (1) kampung adalah ajang kehidupan, padanana kebutuhan hidup warga kampung terhidupi oleh pendayagunaan eko-sosio-kultural kampungnya; dan (2) perlu upaya untuk menjadikan kampung menjafi lebih hidup. Bahasan berikut menelaah mengenai dua hal tersebut.
A. Ajang Hidup dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Ruang hidup terkecil dalam permukiman adalah “kampung”. Konon, dalam wilayah administrasi desa, posisi kampung adalah bagian dari dusun (dukuh). Adapun dusun (dukuh) adalah bagian dari desa. Dengan demikian, kampung adalah wilayah administratif terkecil dari desa. Ada pula yang menyamakan kampung dengan dusun (dukuh).
Terlepas dari bagaimana posisi kampung dalam suatu desa, yang terang kampung adalah kesatuan hidup dengan wilayah huniannya terkecil dalam administrasi pemerintahan di negeri ini. Ada anggapan bahwa kampung berada di perkotaan, sedangkan dusun (dukuh) terletak di pedesaan. Dahulu kampung terdapat baik di pedesaan ataupun perkotaan.
Pada Masa Hindu-Buddha, kampung dapat disetarakan dengan apa yang dinamai ‘anak wanua (wanua/wanwa = desa)”. Sejak masa pemerintahan kerajaan Kadiri (abad XII-XIII Masehi), ada sebutan lain untuk desa, yaitu “thani”, sehingga kampung dapat disetarakan dengan apa yang dulu dinamai “anak thani”. Kata “thani” lebih berasosiasi dengan desa-desa pertanian (agraris). Sebagaimana pencaharian hidup dominan masyarakat Jawa kala itu.
Keberadaan kampung ataupun dusun (dukuh) dalam sistem perintahkan desa menghilang dalam sistem kelurahan, khususnya di wilayah perkotaan. Kalaupun sebutan “kampung” dipakai, istilah ini dikonotasikan agak negatif. Dalam arti, “pelosok” (udik), terbelakang (tertinggal, tak maju), bahkan kurang beradab. Suatu anggapan yang perlu diluruskan, dan dibalik konotasinya.
Gambaran desa-desa agraris di masa lalu — termasuk kampung di dalamnya — adalah suatu areal bermukim yang dikelilingi oleh persawahan, tegalan atau perkebunan. Sebagai warga agraris, kebutuhan hidupnya dipenuhi dengan pembudidayaan tanaman, binatang ternak dan kerajinan pedesaan dengan mendayagunakan eko-sosio-kultura setempat. Jika desa itu berada di tepian hutan, semisal desa-desa dari “wong Kalang.” Kebutuhan hidup mereka juga dipenuhi dengan memanfaatkan secara bijak potensi hutan di sekitarnya. Hal serupa berlaku pada desa-desa bahari, yang kebutuhan hidup warganya dipenuhi dengan mendayagunakan potensi baharinya.
Pendek kata, “kampung” atau lebih luas lagi “desa” bukan hanya area bermukim, namun sekaligus area budidaya dengan mana kebutuhan hidup dari sejumlah orang dipenuhi. Hasil budidaya di kampungnya bukan hanya diperuntukkan guna memenuhi kebutuhan sendiri (domistikatif), namun produk lebih (surplus) darinya dapat dikontribusikan untuk memenuhi kebutuhan hidup warga kampung atau desa lain. Kampung ataupun desa dengan demikian adalah penyedia kelangsungan hidup.
Bisa juga dikatakan, kampung nerupakan pilar kehidupan warga kampung. Berkat hasil bumi, hasil hutan ataupun hasil laut di sekitar kampungnya, roda kehidupan warga kampung berputar dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Lantaran itu “dapur pun ngebul“, artinya rasa lapar menjadi terpenuhi, dan karenanya kehidupan berlanjut.
Dalam kehidupan manusia, kampung adalah tempat dimana seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Kampung adalah “tanah tumpah darah”-nya, tempat dimana kehidupannya dimulai. Kampung adalah area padamana bekal untuk menjalani kehidupannya kelak ditimba di tahap mula. Oleh karena itu, kendati setelah dewasa seseorang tinggal di luar kampungnya, namun ada kesadaran bahwa kampung asalnya memberinya kontribusi berharga bagi kehidupannya.
Dengan demikian bisa difahami bila ada perasaan “berhutang” terhadap kampungnya. Setelah sekian lama orang meninggalkan kampung, timbul kerinduan terhadap kampungnya, tumpah darah mikronya. Ada keinginan untuk “tetirah” meskipun sesaat di kampungnya. Malahan, tidak jarang ada orang yang memutuskan untuk “pulang kampung” ketiika memasuki usia senja. Atau paling tidak menginginkan jika kelak meninggal, jasadnya dapat dimakamkan di kampung halamannya.

B. Menghidupkan Kehidupan Kampung
Memang, tidak semua kebutuhan hidup warga kampung dapat dipenuhi hanya dengan membudidayakan potensi yang ada di lingkungan kampungnya. Keterbatasan fisis-alamiah di suatu kampung mendorong orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di luar kampung. Entah dengan mencari pencaharian dengan ulang-alik keluar kampung di pagi hari dan kembali pulang kampung di sore hari — yang dinamai “melaju”, atau bisa jadi meninggalkan kampung untuk sekian lama guna mencari penghidupan ke daerah lain.
Migrasi ke luar kampung, terlebih bila yang bermigrasi tersebut adalah “orang-orang kategori usia produktif”, turut menyebabkan dinamika kehidupan kampung menjadi berkurang. Jika yang bermigrasi itu dalam jumlah besar, maka kampung itu menjadi bernuansa “kampung mati”.
Kematian kampung dapat pula disebabkan oleh keengganan orang kampung untuk kembali pulang setelah menimba pengetahuan dan ketrampilan ke daerah lain. Alasan “apa yang bisa saya perbuat di kampung dengan pulang kampung” adalah faktor lain yang turut mengurangi kegairahan perkembangan kampung. Lantaran warga handal dari kampungnya tak bersedia untuk balik kampung buat membangun kampungnya sendiri. Seolah tak tersedia “ruang kiprah” yang memadai bagi warga kampung yang mengantongi pengetahuan dan ketrampilan tinggi hasil penimbaannya di luar kampung. Padahal, warga kampung sesunghuhnya mengharapkan sentuhan maju dari dirinya.
Tanggung jawab moral untuk memajukan kampung sendiri tak senantiasa dipunyai oleh semua warga kampung. Terbuka kemungkinan ada sikap “tega” untuk membiarkan kampungnya tertinggal asalkan dirinya tak tertinggal dari kemajuan zaman dengan memilih tinggal di daerah lain. Panggilan untuk mau menghidupkan kehidupan kampung tak selalu dimiliki oleh warga kampung. Baik warga kampung yang tetap tinggal di kampungnya ataupun warga kampung yang tengah tinggal di luar kampung.
Dalam hal demikian, kampung hanya diposisikan sebagai ajang hidup pada etape awal kehidupannya. Namun tak untuk sepanjang hidupnya. Kalaupun ada kontribusi dari dirinya, kontribusinya bukanlah untuk kampung asal. Namun dipersembahkan bagi kampung lain tempatnya hidup sekarang.
C. Revitalisasi untuk Menghidupkan Kampung
Kehidupan kampung tak hadir dengan sendirinya. Dibutuhkan ikhtiar oleh warga kampung setempat maupun warga dari luar kampung untuk menjadikan kehidupan kampung menjadi lebih hidup. Perlu upaya terus-menerus untuk dapat menggairahkan kegairahan hidup di kampung. Sesungguhnya, ujung tombak penggairahan dan penghidupan kampung itu adalah warga kampung setempat.
Warga dari luar kampung hanyalah mitra, cuma supporting eksternal. Menggantungkannya kepada orang dari luar kampung untuk menghidupkan kampungnya adalah pengingkaran terhadap kemandirian kampung. Kegairahan hidup kampung di pedesaan yang mengarah kepada kemajuan dapat pula dikondisikan oleh adanya migrasi masuk warga dari perkotaan serta mengalirnya informasi yang kian lancar ke pedesaan.
Salah satu ikhtiar untuk itu adalah dengan “penguatan kembali (revitalisasi) kampung”, dengan maksud untuk meningkatkan “ketahanan kampung’. Ketahanan daerah atau lebih luas lagi ketahanan nasional musti diawali dengan ketahanan di tingkat mikro, yaitu ketahanan kampung’. Spirit Pemerintah Kota Batu “Desa Berdaya Kota Berjaya” adalah suatu gambaran tentang pentingnya upaya untuk memberdayakan desa agar kotanya memperoleh kejayaan.

Revitalisasi kampung dalam lintas bidang mustinya diniati sebagai ikhtiar untuk memberdayakan kampung, untuk lebih menguatkan ketahanan kampung. Bukan sekedar untuk kepentingan terbatas, semisal buat kepentingan kepariwisataan kampung. Mustinya untuk kepentingan yang jauh lebih luas dan lebih kompleks ketimbang sekedar untuk kepariwisataan.
Jika kampung telah kuat, sudah berdaya, maka pihak luar bakal mengalir dengan sendirinya memasuki kampung, termasuk aliran wisatawan dari luar kampung. Dengan demikian, kewisataan kampung hanyalah “bonus (perolehan tambahan)” sebagai dampak positif dari buah keberdayaan kampung.
Festival Kampung, yang meski dilakukan secara periodik, misalnya sekali setahun, namun dapat dijadikan picu untuk mengeksplorai potensi kampung guna meningkatkan derap kemajuan kampung. Atau paling tidak membuka kesadaran untuk selalu melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya kampung, baik sumber daya alam, sumberdaya sosial maupun sumberdaya budayanya.
Kedati demikian, Festival Kampung bukanlah satu-satunya ikhtiar untuk memberdayakan kampung. Perlu ikhtiar-ikhtiar lainnya untuk secara terpisah atau bersama memberdayakan kampung Hasil pemberdayaan itu dapat diekspresikan kepada khalayak manakala Festival Kampung diselenggarakan secara periodik.
Demikianlah, tulisan bersahaja ini sengaja dibuat untuk mengisi makna sasanti “Kampungku Uripku” yang kali ini menjadi tema Festival Kampung Cempluk VIII. Semoga ke depan kehidupan Kampung Cempluk menjadi lebih hidup. Demikian pula dengan kampung-kampung lain yang tengah dan telah mengikhtiarkan keberdayaan kampungnya.
Papakabuktihi. Nuwun.
Griya Ajar CITRALEKHA, Sangkaling, 20 September 2018
*Sejarawan dan Penulis

Sejarawan dan arkeolog. Tinggal di Malang